PART 04
Nara cemberut sekilas. Karena nyatanya, salah satu orang yang datang bertamu ke rumah mereka memang ingin dikenalkan dengan dirinya. Padahal ia sudah memiliki firasat ini sejak awal, bahkan sejak ibunya ngotot menyuruhnya pulang. Tetapi, tetap saja, meskipun ia sudah memprediksi hal ini, ia tetap merasa kesal. Karena lagi-lagi dirinya tidak bisa menolak. Sehingga ia pun berakhir di sebuah cafe hits ibu kota untuk duduk-duduk di sana sembari bertukar cerita.
Untungnya, pria itu baik dan sopan. Jadi, ia pun cukup nyaman untuk meladeninya.
Mereka bertukar cerita mengenai hobi, makanan kesukaan, sampai kesibukan masing-masing, dan lain sebagainya.
Namun, tiba-tiba saja pria itu mendapatkan sebuah panggilan telepon, entah dari siapa. Tetapi, mimik mukanya langsung terlihat sangat panik, dan Nara berakhir ditinggal seorang diri.
Sial. Nara mengumpat dari dalam hati. Karena pria sopan tadi malah pergi meninggalkannya tanpa pamit. Padahal ia sudah mencoba untuk menginterupsi, tapi percakapan pria itu di telepon sepertinya sangat menyita perhatian, sampai-sampai dia pun lupa kepada sosok Nara.
Nara lantas menatap minuman serta camilan mereka yang masih tersisa di atas meja dengan pandangan nelangsa. Sesungguhnya Nara sama sekali tidak keberatan untuk membayar semua pesanan mereka. Tetapi, masalahnya, ia tidak sempat membawa dompet saat tiba-tiba saja Kalvin meminta izin kepada orang tuanya untuk membawanya pergi ke luar sebentar. Karena saat itu posisinya mereka semua baru selesai makan malam di rumahnya, dan para orang tua masih mengobrol dengan santai di halaman belakang rumah.
Nara terlihat panik dan mencoba untuk berpikir dengan jernih. Ia lantas beranjak, mendekati seorang perempuan yang berjaga di balik meja kasir.
“Permisi ... Mbak ....” Nara tampak menyapa dengan ragu sembari sesekali memperhatikan keadaan di sekitar. Sesungguhnya ia malu, karena bisa saja percakapannya ini nanti akan menarik perhatian beberapa pengunjung.
“Iya? Ada yang bisa dibantu, Kak?” tanya pegawai itu dengan nada ramah. Name tag di dadanya bertuliskan nama Lusi.
“Enggg ... saya mau minta tolong, Mbak,” kata Nara lagi, dengan suara pelan, tapi masih bisa didengar.
“Iya, minta tolong apa?”
“Boleh saya pinjam handphone sebentar? Handphone saya ketinggalan di rumah,” pinta Nara. Dari raut wajah serta gelagatnya, perempuan itu terlihat panik dan gelisah.
Lusi, si penjaga kasir, tak lantas menjawab. Melainkan menatap wajah perempuan cantik di hadapannya dengan penuh pertimbangan. Tampak menelisik, dan mungkin sedang merasa curiga. Kira-kira modus apa lagi yang sedang dilakukan oleh para pengunjung yang datang. Ia lantas menatap ke beberapa tempat. Mencoba untuk mencari kamera pengintai. Tetapi, ia tidak berhasil menemukan apa-apa. Semua orang tampak sibuk dengan urusan mereka.
Sementara itu, Nara sudah semakin merasa gelisah. Karena ada sepasang anak muda yang ikut mendekati kasir dan sepertinya ingin segera membayar.
“Ya udah deh, Kak. Nih, handphone-nya. Tapi, jangan lama-lama ya?”
Nara segera menganggukkan kepala dan menerima benda yang disodorkan oleh si penjaga kasir itu ke atas meja. Ia lantas melipir dan membiarkan sepasang anak muda tadi maju ke depan kasir.
Nara lantas mengingat-ingat nomor telepon ayahnya, kemudian ia pun berbalik badan lagi ke arah si mbak-mbak penjaga kasir tadi. “Mbak, saya izin ke situ ya?“ katanya sembari menunjuk ke arah sebuah meja yang terletak tepat di samping dinding kaca. Penjaga kasir itu hanya menoleh sekilas sebelum menganggukkan kepala. Karena dia pun sedang sibuk melayani beberapa pelanggan. Lantaran beberapa pengunjung sudah semakin berdatangan. Dan Nara pun jadi semakin tidak enak untuk berdiri di sekitar kasir lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinara
RomanceSemua berawal dari busana biru pastel, ciuman terdesak, serta aksi yang dipergoki oleh ibunya, hingga membuat Nara harus terjebak bersama pria berengsek seperti Martin dalam kurun waktu yang lama. Entah sampai kapan, tapi mampukah Nara mengatasi ini...