"Je, apa kabar?" Sapa orang yang tadi membukakan pagar sesaat setelah aku dan Mas Je keluar dari mobil.
"Baik banget, Diq. Lo apa kabar, bro?" Mas Je bersalaman dan memeluk temannya.
Sedangkan aku berjalan menyusul dan berdiri di samping kiri Mas Je. Membuat Mas Je menoleh ke arahku.
"Ini istri gue, Diq. Namanya Shayla. Dan Shay, ini Shiddiq temen kuliah aku."
"Oh iya, Mas. Shayla." Aku mengulurkan tangan terlebih dahulu dan disambut dengan cepat oleh Shiddiq diiringi senyumannya. Atau Mas Shiddiq?
"Shiddiq. Salam kenal ya, Mbak," ucap teman Mas Je sambil sedikit membungkukkan badannya.
Aduh, sangat sopan sekali. Aku jadi tidak enak. "Panggil nama aja, Mas. Umurku sama Mas Je beda lima tahun."
"Dih, Shay, gak usah bawa-bawa umur kali." Saat aku menoleh, wajah Mas Je terlihat sedang marah yang dibuat-buat.
Tapi Mas Shiddiq tetap tertawa. "Elah, Je. Gak terima amat lo udah tua. Yuk, ah, masuk. Yang lain udah pada nunggu di dalem."
Tangan kiri Mas Je langsung menggenggam tangan kananku dan tentu aku membalas genggamannya. Kemudian kami berjalan mengikuti langkah Mas Shiddiq.
"PAGI WARGA. JHERIEL GANTENG DATANG MEMBAWA ISTRINYA YANG CANTIK," teriak Mas Je. Baru dibukakan pintu saja dia sudah berteriak seperti itu. Tapi aku perlu acungkan dua jempol untuknya. Dia sangat pandai sekali menutupi rasa gugup yang bercampur rasa takutnya dengan baik. By the way, aku sedikit salah tingkah mendengar kata terakhir yang diucapkan Mas Je tadi.
"BUSET GEMBEL DARI MANA TUH. DATANG-DATANG KE RUMAH ORANG MALAH TERIAK-TERIAK." Terdengar sahutan dari dalam sana.
Bukannya tersinggung, Mas Je malah tertawa. Begitu pula dengan Mas Shiddiq.
"Lagi pada sarapan di ruang makan. Kalian udah sarapan?"
Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mas Shiddiq.
"Udah, lah. Gila aja mereka baru sarapan jam segini." Mas Je berbicara seraya menarik aku pelan untuk mengikuti langkah Mas Shiddiq yang sepertinya berjalan untuk pergi ke ruang makan.
"BANG JE!" Sapaan itu Mas Je dapat saat kita baru sampai di ruang makan rumah ini.
"Oy, Tono. Agak kegemukan ya lo sekarang."
"Dih, lo gak ngaca? Berisi banget sekarang, Bang." Yang tadi dipanggil Tono langsung bertos dengan Mas Je. Kemudian menoleh ke arahku.
Seakan mengerti Mas Je langsung memperkenalkan aku pada laki-laki itu. "Istri gue, Ton. Shayla. Dan ini Tono, Shay."
"Nama gue Witton ya, bangke."
"UHUK UHUK UHUK UHUK. Buset panggilan kesayangannya say."
Laki-laki di hadapanku langsung mengulurkan tangan kanannya. Membuat aku melepaskan genggaman Mas Je dan membalas uluran itu. "Shayla, Mas."
"Gue Witton. Bang je emang ngada-ngada manggil gue Tono. Oh ya, panggil gue nama aja. Kayaknya umur kita gak jauh beda. Gak kayak sama bang Je. Beda umurnya jauh ya?" Witton tersenyum mengejek ke arah Mas Je yang sudah siap memukul kepala laki-laki itu.
"Sialan emang, si Tono."
Aku hanya tersenyum. Apalagi saat Mas Je dengan paksa melepaskan jabatan tanganku dengan Witton. Dan sekarang aku ditarik untuk duduk di kursi terdekat. Kita duduk di hadapan seorang pria yang sedang sibuk dengan semangkuk serealnya.
"Heh bocil, gak kangen lo sama gue?"
Orang itu mendongak. "Buat apa? Lo aja gak pernah nemuin ke sini. Gue kira lo udah lupa sama kita-kita," ujarnya dengan ekspresi yang sangat julid. Tapi itu malah terlihat lucu di mata aku. Dan sepertinya di mata Mas Je juga. Buktinya dia tertawa terbahak melihat itu.
"Dia Darpa, Shay. Kelakuannya emang masih kayak bocil."
"Oh ini yang namanya Syahla?"
Duh, kok tatapannya yang satu ini cukup berbeda ya.
"Shayla, Dar. Bukan Syahla."
"Hadeuh, ini warga pagi-pagi udah berisik aja sih."
Aku mengalihkan perhatianku ke arah pria yang baru saja datang ke ruang makan dengan masih menggunakan setelan tidurnya dan rambut yang acak-acakan. Mengenai baju tidur, ketiga teman Mas Je yang lain juga masih menggunakan baju tidurnya.
"Hadeuh, ini manusia masih aja nyebut jam sebelas tuh pagi."
"Elah mirip Bang Je lo. Eh?" Yang tadinya pria itu berjalan dengan masih mengucek kedua mata, kini buru-buru mendongak dan membulatkan mata saat melihat Mas Je yang duduk di sebelahku. "Buset, Bang, masih inget arah jalan pulang lo. Apa kabar, bro?"
Mas Je berdiri untuk memeluk lelaki tadi. "Baik banget. Badan lo makin besar aja, Bri."
"Hasil olahraga lah, Bang. Wajah lo juga makin cerah aja. Ah iya, pengantin baru sih ya? Jadi auranya masih bisa nyaingin matahari."
"Ini Brian, Shay. Bri, ini Shayla. Istri gue." Mas Je memperkenalkan aku setelah mereka melepas pelukan. Dan aku segera bangkit serta mengulurkan tangan.
"Shayla, Mas."
Laki-laki yang dikenalkan sebagai Brian itu tersenyum hingga memperlihatkan jajaran giginya yang rapi. "Wah akhirnya bisa ketemu Syahla."
"Shayla, Bri."
Mas Brian melepaskan jabatan tangan kita, lalu menatap Mas Je. "Enak manggil Syahla, Bang."
"Tapi namanya Shayla."
"Gak bisa ganti nama aja jadi Syahla?" Tanya Mas Brian.
Aku tertawa pelan. "Gak bisa, Mas. Semua dokumen udah tercantum pake nama Shayla. Tapi kalau manggil Ayla juga gapapa, Mas, biar lebih simpel."
"Gak. Gak boleh. Udah manggil Shayla aja lo semua,' sahut Mas Je cepat.
"Dih, Shayla aja ngizinin kok."
"Gue ngga."
"Idih, emang lo siapanya?"
"Suaminya lah."
"Dih, males. Bubar, bubar."
"Ya deh, si paling suami."
"Keren amat yang udah jadi suami."
"Gue kapan ya jadi suami?"
"Sampe sekarang aja lo belom punya pacar, Dar. Gimana caranya jadi suami?"
"Hati-hati loh, Dar. Kalau hati lo kelamaan kosong nanti diisi gerai mixue."
"Sialan."
"ANJIR NGAKAK."
"Sabi-sabi."
"BANGKE HAHAHAHAHAHAHAHA."
KAMU SEDANG MEMBACA
Here With Me
ChickLitPerasaan kosong, kesepian, takut, dan ingin hilang dari Bumi adalah hal yang selalu ingin aku lupakan. Tapi nyatanya, mereka selalu kembali datang. Lagi dan lagi. Kadang kala ingin menyerah, namun aku masih waras untuk tidak mengakhiri hidup dengan...