Escape Plan

12 2 2
                                    

Itu sebuah petak kamar pada kondominium di tengah kota yang tidak berjendela. Seingat Nou itu bukan kamar tamu rumah Ian. Itu juga bukan ruangan yang pernah Ian tunjukan. Namun ada dinding kaca setinggi tubuhnya yang cukup menunjukkan kamar ini berada di lantai sepuluh—setidaknya itu benar jika Nou menghitung dengan pasti jendela gedung seberang yang selaras dengan bangunannya.

Nou bangun lima belas menit lalu dengan tidak berada di rumah Ian. Ini gila. Semalam Nou menyambut Jen dengan makan malam mendadak di sekitar jajaran resto daging di Melawa. Ian ikut, dia menyetir di depan sedang Nou duduk di bangku penumpang dengan sungkan.

“Kau seharusnya membiarkan Nou menunjukkan bakat masaknya,” kata Ian menatapku dari kaca spion depan.

“Kenapa mama harus merepotkan temanmu?”

“Aku baik-baik saja, Bibi. Ian benar. Setidaknya aku harus mengucapkan terima kasih.”

“Jangan hiraukan Ian, Nou. Dia hanya malas disuruh menyetir.” Aku terkekeh sebentar.

Mereka memesan banyak hidangan yang Nou lahap karena semuanya enak. Terlebih, mengapa brokoli bisa begitu manis seperti ada suntikan madu di dalamnya?

“Ceritakan tentangmu, Nou.”

Dan aku menceritakan hampir semua yang kulewati setelah badai malam itu. Ian menganga, kehabisan lusinan kata-kata yang seharusnya mampu menjadikannya alasan untuk menolong gadis aneh dari pulau. Namun, air muka Jen tidak banyak berubah, sepertinya ia sudah tidak tahu mau bicara apa, atau justru sering mengalami hal ini karena suaminya pelaut dan bekerja di departemen pertahanan laut.

“Lalu apa yang bisa kubantu untukmu?”

Wajahnya melembut. Setelah kehilangan begitu banyak kesempatan, aku sangat ingin menemukan Gil dan pulang.

“Kau yakin bisa membantunya?”

“Tentu, meski harus meluangkan banyak waktu, tapi itu bukan masalah,” sahut Jen.

Aku senang bukan main, sepertinya Tuhan mengirim terlalu banyak orang baik untukku. Bahkan sampai detik ini, Ian mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir lagi. Jika aku ingat, Gil menyuruhku untuk sembunyi di mobil, dia mengantarkan aku ke tempat yang tepat. Selalu begitu. Dia hampir tidak pernah mengecewakanku.

Setelah hidangan penutup, pramusaji mengantarkan tiga martini glass dengan koktail isi buah semangka dan melon. Ian terkejut memandang ibunya sendiri sedangkan Nou tidak tahu apa yang diturunkan dari nampan.

“Ian, kau tahu makan malam tidak akan menyenangkan tanpa alkohol, kan?”

“Bagaimana dengan Nou?” Ian berganti memandang Nou yang tersenyum melihat gelasnya berwarna-warni.

“Tenanglah, itu mocktail.” Lalu semalam itu dihabiskan dengan cerita bagaimana Ian tumbuh menjadi anak tunggal yang dibanggakan orang tuanya. Masa kecilnya di Itya, sampai perjalanan karier Jen hingga bisa bekerja di kantor administrasi.

Lalu di sinilah Nou berada, di tempat asing yang membuat sakit kepalanya tidak kunjung reda. Gadis itu memeluk lutut di sisi ranjang, rasanya ingin menangis sampai ia tertidur lagi, dan ketika bangun, semuanya hanya mimpi.

“Nou!”

Ia terperanjat, membayangkan dirinya sekarang sudah memasuki fase sakit jiwa karena mendengar namanya dipanggil-panggil.

“Nou, di sini. Ini aku.”

“Aku tidak percaya hantu, tapi ini menyeramkan.”

Buru-buru Nou naik ke atas kasur, bersembunyi dibalik selimut.

“Nou, ini aku Gil. Hei lihat ke sini. Sebelah kirimu, arah jam tiga lubang dekat nakas.”

“Gil? Kau di sana? Sejak kapan? Bagaimana bisa? Apa yang kau lakukan di sana?” Nou mendekat ke arah lubang tak rata yang Gil buat seukuran jam saku. Dari dalam sini, mereka hanya bisa saling melihat bola mata masing-masing.

“Bagaimana kau bisa melubangi tembok?”

“Aku beruntung, ini bukan semen. Ini sejenis papan gipsum. Kau tau, patung lukis yang sering Zex bawa untuk belajar mewarnai. Ini material yang sama.” Suara Gil samar, tetapi masih jelas.

“Bagaimana kau bisa di sini?”

“Kau pasti sudah bertemu dengan Jen, kan?” Tebak Gil sambil terus membuat lubang di dinding semakin besar dengan obeng.

“Sebenarnya apa yang terjadi, Gil. Aku sama sekali tidak mengerti.”

“Tidak ada waktu untuk dongeng gadis kecil. Kita harus keluar dulu dari sini. Jen bukan orang baik.”

“Tapi...bagaimana?”

“Nou, kau harus percaya padaku.”

Tiba-tiba Nou ingat soal Ian, apa laki-laki itu tidak menyadari jika dirinya hilang, atau Jen berbohong padanya, apa yang dia lakukan kepada Ian, dan juga kepada Nou?

“Bagaimana cara kita keluar, ini lantai sepuluh, Gil. Kau jangan gila.”

“Nou, ini gipsum jadi dia tidak tahan air. Meski begitu kulihat papan ini cukup tebal. Tapi kita bisa menjebolnya dengan air dari kamar mandi.”

“Ini sudah siang, setidaknya orang gendut itu tidak akan kemari sampai waktu makan malam, kita punya banyak waktu Nou. Kau bisa menampung air dengan pot tanaman hias. Menyiramnya seperti kau memandikan babi paman Sam. Lalu memukulnya dengan keras. Kau bisa Nou?”

Gadis itu mengangguk. Mereka berpisah dari lubang dan bergegas menuju kamar mandi. Itu adalah rencana sederhana yang bagus meski Nou juga tidak tahu tingkat keberhasilannya. Meski begitu, ia akan memercayai Gil.

Aku bangkit, membuang tangkai tanaman hias ke sembarang arah. Membuang juga tanahnya ke pojok ruangan, bergegas menuju ke kamar mandi, mengisinya dengan air. Sebelum itu, aku sudah menutup lubang pot dengan gumpalan tanah yang tadi.  Terkesan sia-sia memang, tapi itu membantu.

Entah sudah pot ke berapa aku memboyong air karena membuat partisi gipsum itu melunak. Aku bisa merasakannya di tanganku. Teksturnya seperti bubur kertas padat.

Aku memutuskan untuk mengintip Gil dari lubang. Mencoba memberitahunya soal perkembangannku. “Gil, sepertinya aku berhasil.”

“Teruslah mengguyur Nou. Waktu kita sebentar lagi.”

Jadi setelah pot ke lima puluh lima—serius aku menghitungnya dengan cermat—aku berhasil. Aku keluar. Kami berhasil ke luar.

“Tempat apa ini?”

“Aku tidak tahu, terakhir aku berada di perpustakaan kota Kulipa. Jika kau bilang kita ada di lantai sepuluh, kupikir ini bukan tempat yang sama.”

“Sekarang kita ke mana?” Alih-alih menjawab pertanyaanku, Gil justru memelukku.

“Nou, bagaimana aku bisa kehilanganmu dua kali,” katanya parau.

“Kau merindukanku, ya?” aku mengalungkan tanganku ke tengkuknya.

“Kau tidak?” Tanyanya pesimis. Aku menggeleng, sambil mengelap air mataku yang sedikit ke bahunya.

“Tidak pernah sebesar ini.”


***


Ian bangun terlambat. Setelah makan malam selesai, dirinya tidak langsung tidur. Masih ada beberapa bagian dari tugas filmnya yang harus disunting. Ian baru bisa tidur ketika Jen masuk ke kamarnya dengan membawa nampan sarapan yang terlalu pagi. “Hey, ini baru pukul lima, Ma.”

“Kau bekerja semalam suntuk. Makan ini dan pergi tidur. Mama akan kembali ke Kulipa pagi ini, jadi jangan biarkan dirimu sakit. Jaga dirinu oke?”

“Bagaimana dengan Nou? Kau akan membantunya?”

“Tentu saja. Setelah pekerjaanku selesai.”

Setelah sedikit kecupan kering di kening, Jen pergi. Seperti biasa dengan dua asisten dan sekretarisnya si jangkung berambut lada dan si pendek gendut. Ian menyadari mobil mereka menghilang di pertigaan kompleks sambil menguap. Ibunya benar, tubuhnya sekarang terasa lelah.

Pukul tiga sore, waktu yang amat terlambat untuk pergi ke dapur dan mengisi perutnya yang keroncongan. Dengan setengah sadar, Ian menyebut Nou dengan payah. “Nou, kau ingin makan sesuatu?”

Lima menit berselang, Ian hanya mendengar kesepian merajai rumahnya seperti biasa. Tidak ada hawa keberadaan Nou yang kamarnya berada di paling ujung dekat ruang kerja Jen.

“Apa dia masih tidur?”

Jadi ia berjalan dengan perlahan, takut membangunkan Nou jika benar gadis itu sedang tidur. Namun ketika Ian menyembulkan kepalanya di celah pintu yang sedikit itu, kamarnya berisi kekosongan.

“Nou?!”

Ian bergegas menuju kamar mandi, barangkali Nou memang gemar mandi. “Nou?”

Nihil.

Sore itu juga, Ian keluar dengan sepeda motornya. Terlalu berisiko dipakai di luar, tetapi sangat efektif untuk mencari keberadaan Nou. Ia pikir Nou mungkin saja berjalan-jalan, karena ia tidur seperti orang mati, jadi Nou memutuskan pergi sendirian. Jika benar begitu Ian akan mengutuk dirinya sendiri.

Ian hampir menghampiri setiap tempat dari separuh kota yang ia ketahui. Ian juga pergi ke kampus dan resto cepat saji, atau ke mana saja tempat yang terlintas di pikirannya bahwa Nou mungkin saja pergi ke sana. Tetapi nihil, sampai lewat pukul delapan, Ian tidak mendapatkan apa pun. Nou menghilang.

Berkali-kali Ian mencoba menghubungi Jen, hasilnya tidak jauh berbeda. Jen tidak menjawab panggilannya.

“Kau ke mana Nou!”

Tora : The Thief & The Lost PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang