Pukul 08:30 WITA Novi sudah tiba di halaman upacara kampus. Mobil-mobil BNPB, mobil rental, bus-bus kampus sudah terparkir berjejer menanti para mahasiswa yang akan melaksanakan KKN 102 yang terbagi mulai dari kabupaten Donggala, Sigi, hingga ke Parigi. Bahkan saat Novi mendaftar KKN di website kampus ada desa yang nyaris sampai ke Sulawesi Selatan, itu jalur paling jauh dan syukurnya saat itu dia sudah lebih dulu masuk ke sistem dan mendapatkan tempat yang hanya berjarak kurang lebih dua jam dari kota.
Ia diantar adiknya dengan motor sehingga bawaannya tidak banyak. Hanya tas punggung, satu tas tangan dan satu koper ukuran sedang. Lagipula mereka masih termasuk sebagai angkatan pandemi corona 2020 kemarin, jadi hanya melakukan KKN selama 26 hari.
Sebelumnya para mahasiswa KKN sudah saling bertemu ketika pembekalan selama tiga hari, minggu lalu, jadi mereka hanya tinggal saling mencari di grup untuk mengetahui dimana letak anggota lainnya, atau mobil yang akan mereka gunakan.
Sekian banyak mobil bertebaran di halaman luas ini, Novi kesulitan mencari mobil dengan nama desa tempatnya menuju. Dua temannya yang sudah tiba lebih dulu hanya menyuruhnya mencari mobil dengan nama desa mereka, tak mau repot menjemputnya di bagian keluar masuk.
Koper diseret berat akibat rumput yang masih sedikit basah. Kesana-kemari kehilangan arah mencari anggotanya, bertanya ke kelompok lain tapi jawabannya juga sama dengan kelompoknya "coba dilihat di kertas depan mobil" atau jawab lainnya "tidak tau, coba tanya ke orang sebelah sana".
"Kau dimana? Kami tunggui dari tadi. Sudah mau berangkat mobil nanti"
Novi menggeram mendengar suara diujung sana, ingin sekali berkata kalian itu yang dimana, kenapa tidak coba bantuin.
"Santai saja kenapa sih, satu orang lagi juga belum sampai kan? Coba fotokan tempat kalian, sekarang"
Setidaknya ia sudah coba yang terbaik untuk tidak mengeluarkan emosinya. Ia bukan penyabar, jadi ini sudah usaha terbaik dari yang terbaik.Setelah foto terkirim, Novi hanya menghela nafas melihatnya yang lebih menonjolkan estetika langit biru sementara lokasinya jadi tidak terlihat jelas. Seharusnya yang difoto itu mobilnya, atau setidaknya tempat mereka duduk saat itu bukan pemandangan depan mereka. Semua bus itu terlihat sama dari ujung ke ujung, mirip labirin.
Maka dengan petunjuk minim informasi itu ia coba zoom bagian kaca depan bus-bus yang tampak mungil tertindas panorama langit, melihat nama desa di bus tersebut untuk dicocokkan dengan bus-bus yang ia lewati. Setelah 10 menitan berputar ia pun menemukan kedua anggota yang menunggunya di samping mobil BNPB.
Senyum Novi mencair, ia sudah tak lagi merasa kesal. Yang penting sudah ketemu. "Oh hei!"
"Berarti tinggal tunggu Tesya, soalnya pak Marji mau dokumentasi dulu sebelum kita berangkat" ujar Anita sembari mengangkat telefon dari Tesya. Keningnya berkerut mencoba mencari anggota satunya lagi di tengah matahari yang menyilaukan. "Saya sudah kirim fotonya di grup, sudah disini Novi hanya tunggu kau lagi"
Sementara satu anggota mereka Eka hanya sibuk sendiri mengobrol dengan sopir. Tidak ada inisiatif mengurus anggota yang masih belum terkumpul.
"Kalian disini saja, biar saya yang jemput Tesya di depan. 20 menit lagi pelepasan." Novi berjalan setengah lari mencari keberadaan Tesya yang katanya baru sampai di parkiran pengantar. Kondisi yang ramai membuat Novi sempat menabrak bahu orang, koper yang bergerak, dan terakhir ban motor yang kali ini ngilunya bukan main.
Tesya berteriak memanggil Novi, melambaikan tangan. "Novi disini!!"
Terengah-engah ia mendekati Tesya yang tercium masih wangi segar khas baru mandi. Tidak seperti dirinya yang sudah tersengat matahari, keringat, tanah becek, kondisinya sedikit payah.
KAMU SEDANG MEMBACA
HILIR KE HULU
Horrorselama 26 hari keempat mahasiswa melakukan KKN di Kec. Bana Tengah, di desa dengan aliran sungai yang membentang jauh membelah antara desa tersebut dengan kec. Bana pusat. Semua proker berjalan dengan baik hingga suatu hari desa dikejutkan dengan pe...