1

41 8 1
                                    


Dia muncul seperti benang aksara yang terurai dengan sempurna!  

Merebut segala perhatianku tatkala mendapatinya tengah berdiri di depan pintu ruang kesehatan sekolah. Dia tidak tersenyum, tidak pula mengucap salam, namun pantulan cahaya mentari pagi pada tubuhnya merayuku agar segera menyambut gadis itu dengan simpul penerimaan nan menyenangkan. Lalu mengapa kamu belum melangkah masuk untuk menemuiku, sayang? Mungkinkah kamu masih betah dengan romantisme angin di bulan januari ataukah justru ragu pada apa yang akan kamu hadapi sebentar lagi? Sungguh menggemaskan! Membuatku bertanya-tanya sampai sejauh mana dia akan bertahan.

Namanya Paras Michelle Zeta. Aku sudah tahu itu. Bahkan sebelum para guru mendengar informasi tentang kedatangannya sebagai murid baru dari negeri seberang, selembar catatan lengkap berisi riwayat hidupnya sudah aku kulik dalam-dalam. Lumayan menarik, sangat menarik sampai-sampai aku memilih meninggalkan ruangan kepala sekolah untuk segera menunaikan tugasku di kamar ini, kamar penyiksaan calon jenazah--ah--tidak! Tentu saja bukan! Maksudku, aku hanyalah seorang biasa yang pada siang hari ditugaskan sebagai dokter jaga di sekolah milik pengusaha tajir Sastrawijaya. Menjadi dokter selalu menyenangkan.

Dua detik, tiga detik, senyumanku menghilang, dia akhirnya melangkah masuk mendekati.

Rambut panjang bergaya beach waves nan chic terlihat semakin manis dengan warnanya yang serupa permen coklat, tebal, juga sedikit berombak pada ujung-ujungnya. Aku suka gaya rambut itu dan segera saja menjadi hal pertama yang kutemukan tatkala sinar mentari yang menelusup dari dedaunan tidak lagi membias pada tubuhnya yang teguh. Mengapa dia masih saja diam membisu? Apakah pelembab bibir yang merona lembut itu terlalu berat untuknya merangkai kata?

"Selamat pagi?" aku menyapanya.

"Pagi, dok!" Rupanya benar, suaramu pun sedingin kelakuanmu.

'Murid baru?"

'Iya."

"Silahkan duduk!"

Langkahmu tenang, kaos kakimu lebih putih dari marmer yang tengah kau pijak. Begitu berada tepat di hadapanku, sebuah amplop putih kamu letakkan dengan perlahan. Aku kembali memperhatikanmu yang kini turut memperhatikanku. Lamat-lamat dalam waktu yang bergerak senyap, kita saling melempar gelagat layaknya pasangan namun bibir berkata kita ini adalah lawan. Yang lucunya lagi, pandangan kita pun sesekali saling mengabaikan lalu kembali lagi berhadapan seolah tak ingin terbakar tapi tetap mencari hangat.

Yang benar saja!

Aku adalah dokter. Jaga wibawa, please! "Jadi benar murid baru," ujarku melepas kecanggungan.

Kira-kira apa perihal dia pindah sekolah? Satu pertanyaan yang sejak awal bermain di area penasaranku lantaran tidak aku dapati alasan itu pada data profilnya. Dan apa pula alasan untuk diriku sendiri sampai-sampai aku bisa setertarik itu pada dirinya? Demi Tuhan! Ngapain aku ini? Kok bisa-bisanya meluangkan waktu di jam ujian!

Aku mengerutkan dahi sejenak sebelum pada akhirnya amplop putih itu dibuka. Surat pengantar keterangan berbadan sehat sepertinya.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan yang kami lakukan," isi surat itu aku baca, "Dengan ini kami menyatakan bahwa--saudari Paras Michelle Zeta tidak sedang mengidap penyakit tersebut yang terinci di bawah." melirik matanya sekilas, "Oke, baiklah! Kamu sehat. Tertanda dokter Samsuddin---"

Surat itu ku letakkan kembali.

"Berarti sisanya hanya pemeriksaan formal. Sudah pernah disuntik?" aduh! Lagi-lagi pusat iris kita bertemu. Aku berkedip agar tidak ketahuan salah tingkah, sementara irismu cepat teralihkan ke arah amplop putih. Fiuh hampir saja tengsin. Kenapa sih aku ini?! "Pernah disuntik?"

Rumah KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang