ONESHOT ㅡ Unrequited.

42 5 2
                                    

Kageyama sering khawatir pada Hinata tentang apapun. Mulai dari kebiasaan buruk Hinata begadang, hingga masalah kecil soal Hinata yang suka melupakan tempat di mana ia meletakkan kaos kaki terakhir kali.

Kageyama menyukai apapun soal Hinata, mulai dari suara dengkuran Hinata saat tidur, hingga aroma lembut vanilla dari sabun mandi Hinata.

Ya, Kageyama benar-benar jatuh cinta.
Maka dari itu hal ini berbahaya bagi Kageyama.

Suga, Sang Pakar Cinta, berkata, Kageyama harus menyatakan perasaannya pada sobat karibnya itu. Tapi, bukannya itu sangat beresiko? Kageyama tau persis Hinata tengah menyukai seorang wanita cantik berkulit putih. Benar, Hinata sendiri yang bercerita soal itu. Dan masalah terbesarnya, hati hinata itu sudah lama sekali menjadi milik wanita itu.

Hujan turun begitu derasnya akhir-akhir ini, begitu juga dengan sore ini. Kageyama yang tengah asik bermain gitar di ruang tamu mulai terusik dengan suara hujan yang makin deras.

"Hinata," pikirnya.

Sejak tadi pagi Hinata berpamitan padanya untuk berkencan dengan gadis pujaannya ㅡYachi, namanyaㅡ dan Kageyama ingat persis jika pemuda mungil itu tak membawa payung maupun jas hujan yang bisa melindunginya dari air hujan.

Ini Prefektur Miyagi, teman. Dimana setitik air hujan bisa terasa sangat menyebalkan dan bahkan dapat menjadi sumber dari segala penyakit.

"Hey, Suga-san. Apa Hinata menghubungimu?" Kageyama bertanya pada seseorang di sebrang telepon.

Orang itu mendengus. "Kamu sudah bertanya ribuan kali, Kags. Kenapa tidak coba susul dia ke mall saja? Lagi pula kita punya kelas yang dimulai pukul 6 dan artinya jika ia belum kembali sebaiknya kamu khawatir tentang jadwal latihannya."

Suga benar. Hinata sudah terlalu sering membolos latihan akhir-akhir ini, bisa-bisa ia harus tetap duduk di bangku cadangan.

"Terima kasih omelannya, Pak Tua. Aku segera menyusulnya," ujar Kageyama kesal lalu menutup sambungan teleponnya.

ㅡㅡㅡㅡㅡ

Ditemani motor biru tua milik Daichi yang ia pinjam secara paksa, Kageyama dan jaket kulit hitam miliknya dengan nekat menerobos derasnya hujan. Berkat motor itu pula pemuda yang napasnya menderu akibat perasaan khawatir berlebihan itu akhirnya sampai di tempat tujuan lebih cepat dari seharusnya.

Pandangannya menyisir setiap tempat yang ia datangi, mencari keberadaan Sang 'Sahabat' dengan teliti. Hingga ekspresi tegang di wajahnya berubah menjadi tersenyum pahit saat berhasil menemukan sosok Hinata yang tengah berpelukan dengan seorang gadis.

"Aku tak pernah sekalipun terpikirkan soal resiko jatuh cinta pada teman dekatku sendiri," gumam Kageyama. Netranya menatap ubin lantai mall dengan tatapan sendu. "Tolong, maafkan aku yang dengan lancangnya memberikan seluruh tempat di hatiku untukmu, yang bahkan tidak membutuhkan hal itu." Kakinya melangkah menjauh.

Beberapa langkah menjauh, tanpa diduga ponsel Kageyama tiba-tiba berdering. Nama Hinata tertera di sana. Ia hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Apakah ini asli atau hanya halusinasi?

Tidak, Bodoh.
Ini panggilan asli.

"AㅡAh, ya halo?"

"Kageyama-kun?" Aneh. Suara Hinata terdengar serak dan rendah sekali.

Kageyama mengerjap. "Ya? Kenapa?"

Suara Hinata menghela napas terdengar menyakitkan di telinga Kageyama. Mungkin Hinata ingin memberi tahu Kageyama berita tentang hubungan resminya dengan Yachi.

"Hey, Kageyama-kun, kau bisa jemput aku? Maaf kalau terlalu mendadak." Hinata terkekeh.

"Hah?"

"Hm?"

"KㅡKenapa? Jemput?"

"Iya. Maaf memintamu tiba-tiba menjemput, tapi aku sudah tidak tahan lagi. Aku ingin cepat pulang." Aneh. Hinata yang seharusnya bahagia, kenapa jadi begini?

Antara lega dan perasaan khawatir beraduk dalam hati Kageyama. Seharusnya Kageyama bahagia, 'kan?

Kageyama terdiam. Membuat Hinata merasa tak enak. "Maaf, tapi kalau kamu tidak mau aku tidak akan memaksa," ujarnya.

"Ah, aku ke sana. Aku hanya melamun tadi, maaf," kata Kageyama.

Ia berbalik badan, mendapati sosok Hinata yang tadinya berdiri tegap dengan senyum sumringah kini tengah berjongkok, menenggelamkan wajahnya pada kedua lengannya yang ia tekuk.

"Apa yang diperbuat Yachi sampai ia jadi seperti ini?" gumam Kageyama.

Suara dari detak jantung tak beraturan akibat mengkhawatirkan pujaan hatinya itu beradu dengan suara langkah kakinya yang terburu-buru menghampiri Hinata.

Derapan langkah kaki Kageyma membuat Hinata mendongak. "Hey, aku hafal suara langkahmu," katanya sembari tersenyum tipis.

Ia membuat Kageyama ikut tersenyum.

"Kenapa ingin pulang?"

Wajah Hinata berubah sendu. "Akan kuceritakan nanti saja," tukasnya. "Oh ya, kenapa kamu bisa sampai secepat itu?"

Kageyama salah tingkah. Harus ia jawab apa kalau sudah ditanya begini? Khawatir karena Hinata tidak bawa payung? Jangan konyol. Ini kan sebuah mall dengan atap.

"Kageyama?"

"EㅡEh anu, tiㅡtidak."

Bagus. Jawaban bagus Kageyama Tobio.

"Hm?" Hinata menatap Kageyama bingung, membuat Kageyama gemas setengah mati ingin memeluknya.

"Butuh pelukan?" tanya Kageyama secara spontan. Sedikit menyimpang dari topik yang ditanyakan.

"Pelukan? Di tempat umum?" Hinata menoleh ke kanan dan ke kiri. "Um, Baiklah. Aku tidak peduli kata orang. Kurasa aku sedang sangat butuh hal itu."

Pertanyaan dadakan dan jawaban tak terduga. Jadi Kageyama harus senang atau apa?

Kageyama menarik Hinata ke pelukannya, mengusap punggung Hinata agar ia merasa nyaman dalam pelukannya. Ini lucu, karena Kageyama yang labelnya adalah orang yang jarang menyampaikan kasih sayang dan kepeduliannya secara terang-terangan tiba-tiba menawarkan pelukan seperti ini. Tidak apa, yang penting ia bisa memeluk Hinata, kurang bersyukur apa lagi?

Si Pendek tidak menolak pelukan Kageyama, yang ada malah ia yang semakin mendusel pada Kageyama, mencari perasaan nyaman yang sedari tadi ia butuhkan untuk menenangkan diri.

"Kamu berhutang satu cerita padaku," bisik Kageyama, hanya ditanggapi anggukan oleh Hinata.

"Aku akan cerita jika kamu mau menginap di rumahku malam ini, Kageyama-kun." Hinata berkata sembari mengeratkan pelukannya.

Kageyama salah tingkah, pipinya terasa panas. Entah sudah seberapa merah warnanya sekarang. "Baiklah, Tuan Muda. Tapi yang terpenting, ayo kita pergi dari tempat ini dulu."

Hinata hanya mengangguk menurut tanpa bergeming. Menikmati elusan tangan Kageyama yang modus memainkan rambutnya.

Gawat. Apa seharusnya sepasang teman laki-laki melakukan hal ini? Kenapa Hinata diam saja dan tidak menendangnya ke selokan untuk hal ini? ㅡhal ini, maksudnya memainkan rambut Hinata tanpa izin dari sang pemilik rambut sendiriㅡ

Kageyama sudah jatuh terlalu dalam dan sekarang malah menjadi lebih dalam. Hinata, kenapa kamu memberi Kageyama harapan kepada sesuatu yang kemungkinan terjadinya hampir nol persen?

Unrequited ㅡ KagehinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang