Double up nih...
***
PART 10
Sore itu Nara turun dari taksi dengan mengenakan midi skirt yang dipadukan dengan kaus berlengan pendek sambil menenteng nylon hobo bag berwarna hitam di tangan. Ia terpaksa datang karena Ben terus memohon-mohon kepada dirinya. Padahal, rencananya sore ini ia akan menghabiskan waktu di tempat spa. Ia ingin sekalian massage di sana. Menghabiskan sisa weekend-nya dengan memanjakan diri sebentar. Tetapi, rencana itu harus diundur dulu untuk sekarang, karena Ben memintanya datang ke salah satu cafe yang telah pria itu tentukan.
Nara lantas mendorong pintu kaca di hadapannya. Ia mengedarkan pandangannya sebentar, lalu melihat sosok Ben yang tengah melambaikan sebelah telapak tangan. Sehingga ia pun segera melangkahkan kaki menuju ke arah sana.
“Aku udah pesenin smoothies mangga buat kamu,” ucap Ben sembari tersenyum saat Nara sudah menarik sendiri salah satu kursi kosong. Ia sengaja memesankan smoothies mangga untuk gadis itu, karena Nara memang sangat sering mengonsumsinya sejak dulu.
Namun, Nara hanya melirik sekilas gelas jar berisi minuman yang dimaksud, karena sesungguhnya ia sedang tidak tertarik dengan minuman itu. Hanya saja, Nara tetap menggumamkan kata ‘thanks’ sebagai bentuk sopan santun, yang membuat Ben tampak kembali tersenyum.
“Mau ngomong apa kamu?” tanya Nara yang langsung to the point. Karena seingatnya, seharusnya sudah tidak ada lagi hal yang perlu mereka bicarakan saat ini. Semuanya sudah benar-benar clear. Hanya saja, saat di telepon tadi, Ben mengatakan jika ada hal yang sangat penting. Itu juga alasan kenapa Nara akhirnya bersedia untuk datang ke sini.
Pria itu tampak menghela napas pelan, terlihat sedikit gusar. Nara yang tidak mengerti, hanya mampu menampilkan raut wajah heran. Dahinya mengernyit samar.
“Aku enggak rela kalau akhirnya kamu malah jadian sama Martin.”
Kening Nara tampak semakin mengernyit.
“Kamu boleh menjalin hubungan dengan siapa pun. Bebas. Terserah kamu. Asalkan orang itu bukan Martin. Karena aku enggak rela kalau kamu sama Martin.”
“Sori? Hak kamu apa buat ngomong kayak gini?” tanya Nara yang mulai merasa tidak habis pikir.
“Aku cuma enggak mau kalau nanti kamu malah disakitin.”
Nara tertawa kecil. Terdengar sumbang sekaligus miris. “Aku juga enggak mau disakitin,“ ujarnya dengan sangat jujur. “Tapi, bisa gak kamu ngaca dulu sebelum ngomong kayak gitu?”
“Lucu ya?” kata Nara yang langsung menyambung pertanyaannya saat itu. “Kamu enggak mau aku disakitin orang lain, tapi kenyataannya kamu duluan yang udah nyakitin aku. Sampe separah ini.”
“Kamu pikir aku baik-baik aja karena udah nyia-nyiain hubungan aku dengan Jeandra, dan tetep milih kamu meskipun orang tuaku gak suka? Kamu pikir aku baik-baik aja setelah ngorbanin banyak hal, termasuk melewatkan laki-laki sebaik Mas Jeje demi kamu, tapi pada akhirnya kamu malah main gila sama Marissa?
“Marissa, Ben,” sambung Nara dengan penuh penekanan. “Orang yang dari dulu enggak suka banget sama aku, padahal aku aja nggak tahu aku udah bikin salah apa ke dia. Dan aku juga enggak pernah ngerasa kalau aku udah buat salah. Tahu-tahu DIA selalu nunjukkin rasa enggak sukanya ke aku, selalu nyari-nyari kesempatan buat ngatain aku, ngejelekin aku, tapi kamu ...,“ telunjuk Nara menuding ke arah Ben dengan suaranya yang semakin tajam dan sedikit meninggi, sementara kedua bola matanya sudah terlihat memerah. Hampir menangis. Tapi, tenang saja, ia tidak akan menangis sekarang. Apa lagi di hadapan Ben, si pria bajingan. “ ... cara kamu ngebuang aku, dan lebih milih dia, seolah-olah kamu lagi ngasih bahan ke dia, supaya dia bisa lebih leluasa buat ngejelek-jelekkin aku. Aku enggak ngerti di mana pikiran kamu saat kamu tega ngelakuin itu.“
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinara
RomanceSemua berawal dari busana biru pastel, ciuman terdesak, serta aksi yang dipergoki oleh ibunya, hingga membuat Nara harus terjebak bersama pria berengsek seperti Martin dalam kurun waktu yang lama. Entah sampai kapan, tapi mampukah Nara mengatasi ini...