32. Senyum Palsu✔️

118 13 1
                                    


Hallo semua pembaca setia Senyum dari Saguna. Aku mau kasih tau terlebih dahulu kalau cerita ini sudah selesai di rombak ulang. Maaf kelamaan karena ada 80% mungkin isi cerita yang aku ganti, tapi intinya masih sama seperti sebelumnya. Aku pilih rombak karena banyak yang gak masuk akal setelah aku riset.

Sejujurnya ini terlalu ngaret karena prediksi sebulan selesai, ini ada 2 bulan lebih 😭 maaf yaa, ada di beberapa waktu moodku jelek gak bisa diajak nulis.

Bagi yang pernah baca, saran aku kalian baca dari awal agar paham sama alurnya. Bagi yang baru baca, hai salam kenal 👋

Oke itu aja 😊

Happy Reading~

Jangan lupa komentar dan votenya ❤🙏

Terima kasih untuk yang sudah baca cerita ini.



••••




Televisi dengan ukuran 24 inci yang menempel di dinding menayangkan sebuah acara hiburan. Saguna yang telah sadar dari semalam kini sedang duduk bersandar di ranjang sembari menikmati buah apel yang sedang dikupas oleh sang ibu. Cowok itu tampak serius menonton acara di televisi.

“Ibun ingin ngomong serius sama kamu,” ujar Wulandari yang fokus pada buah dan pisau di tangannya.

Saguna yang memegang garpu dengan potongan apel itu menoleh ke samping, “ngomongin apa, Bun? Ngomong aja.”

Wulandari meletakkan pisau dan meraih piring berisi apel. Ia memindahkan piring itu ke pangkuan Saguna. Wanita ini juga ikut duduk di pinggir ranjang.

“Sebenarnya, Ibun sama Ayah sudah diberitahu oleh Dokter Heru tentang penyakit kamu.” Saguna meremas gagang garpu di tangan kanan, “kenapa kamu nggak pernah cerita? Ini penyakit yang serius Saguna.”

Dari mimik muka yang Wulandari tunjukan, Saguna bisa menebak kalau penyakitnya benar-benar berat.

Awal terbangun Saguna sudah berada dalam kamar rawatnya. Cowok itu sudah pasrah kalau nanti ia ketahuan memiliki penyakit. Maka dari itu sekarang ia tidak terlalu terkejut kalau orang tuanya telah mengetahui semuanya.

Pagi tadi saat Saguna bertanya mengapa ia berada di rumah sakit, Andreas membohonginya dengan menyebut kalau Saguna kelelahan dan jatuh pingsan. Meski tidak semuanya salah, tetapi Saguna bukan sekedar kelelahan.

“Maafin Guna, Bun.” Saguna menundukkan pandangan, “Guna memang sudah periksa dan kemarin akan mendengar hasil dari pemeriksaan itu, tapi Guna belum tau apa penyakit Guna.”

Saguna memberanikan dirinya untuk menatap sang ibu yang ada di hadapannya. Kini Wulandari yang tertegun, ia bergeser lebih dekat. Menggenggam dan mengusap salah satu punggung tangan Saguna.

Saguna tersentak saat air mata ibunya mengalir begitu saja. Tangan lain yang masih bebas, ia gunakan untuk mengusap wajah Wulandari yang basah. Perlakuan Saguna juga membuat ibu tiga anak ini terkejut. Ia tidak sadar telah menangis di depan anaknya.

“Apa kata Dokter, Bun? Guna sakit apa?”

“Kanker otak.” Tangis Wulandari pecah setelah memberi tahu fakta yang ada. Ia benar-benar tidak kuat menahan kesedihan ini. Ia sangat takut kehilangan anak laki-lakinya.

Senyum dari SagunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang