37. Di Ruang Tamu

0 0 0
                                    

Tangisan Cahya tiba-tiba datang dari arah pintu masuk rumah. Gue yang lagi video call Topan sambil menyiapkan power point untuk sidang skripsi gue lusa segera berdiri dan menghampirinya.

Melihat keluar rumah, gue tidak menemukan keberadaan bocah laki-laki itu. Bukankah suara tangis tadi milik Cahya?

"Ra!" Suara Mamak memanggil, gue masuk langsung ke dalam mencari Mamak. "Ra!"
Kali ini suara Mamak di kamar mandi, gue segera menghampiri dan berhasil melihat Cahya dan Mamak di dalamnya.

Dari depan pintu kamar mandi, gue masih bisa mendengar Cahya menangis sesenggukan. Terlihat wajah marah Mamak, gue siaga bersiap.

"Ambilkan handuk dan pakaian Cahya. Apapun, cepat!"

Sekali tarik, gue tidak memilih pakaian mana untuk saling di padukan. Setelah mengambil handuk juga celana dalam milik Cahya, gue bergegas kembali.

Dari sebelum mendekati kamar mandi saja, gue sudah bisa mendengar omelan dari Mamak.

"Sudah mamak bilang, kalau main terus Mamak akan bilang ke Ustad kalau kamu tidak menjalankan ibadah di rumah dengan benar! Setelah itu, kamu pasti di beri hukuman sama Ustad. Mau di hukum, Ya?"

Gue gak paham, apa masalah sebenarnya. Tapi sekarang, Mamak sedang menyirami tubuh Cahya yang di penuhi lumpur. Memang, sejak pagi tadi Cahya sudah keluar rumah.

Gue dengar, ada suara temannya yang memanggil. Kemudian, suara Cahya berpamitan buat main.

Baru setengah jam dia pergi, sekarang Mamak memandikannya.

"Handuknya, Ra!" Setelah itu Mamak keluar, napas Mamak menunjukkan bahwa ia letih. Entah karena marah atau yang lain.

Begitu Cahya keluar sudah pakai baju lengkap, gue menatap wajahnya dan memahami kalau Cahya masih menangis.

"Kenapa?" Baru berani tanya, setelah Mamak pergi.

"Aku dilarang Mamak mandi di sungai sana, tapi aku tetap mandi!" Seumuran Cahya memang masih nakal-nakalnya. Gue tau, karena dulu gue juga sering berbuat nakal mesti batas wajar.

Seperti diam-diam tidak menghabiskan makanan dan malah memberikan sisanya ke ayam. Gue sering dulu, tapi semakin gue bertambah usia. Gue tau bagaimana mencari uang itu susah, gue lebih menghargai apa yang gue terima.

"Ra, handphone kamu bunyi!" Mamak teriak dari depan, gue meminta Cahya buat istirahat saja di kamar.

Sedangkan gue menuju ruang tv dimana handphone gue berada. "Kakak, Mak."

Mamak sedang menonton TV, mungkin juga sedang mengendalikan emosinya supaya tidak marah-marah lagi.

Gue mengangkat panggilan, me-loudspeaker dan duduk di dekat Mamak.

"Ra, ini kerang yang Mamak mau lagi gak musim. Mau di ganti apa?" Kakak pergi ke pasar, maunya tadi gue ikut tapi kakak larang.

"Ganti udang aja, Kak." Mamak menjawab sendiri, "Kalau ada jagung manis, beli sekalian ya kak! Dua kilo aja."

"Iya."

Kemudian panggilan di tutup, gue memandang Mamak sambil meletakkan handphone ke atas meja.

"Mak," panggil gue takut, Mamak fokus sekali menatap layar TV.

"Keluarga Topan sudah sepakat, tanggal pernikahan kalian di bulan November tahun ini."

November? Masih satu setengah bulan lagi.

"Mamak gak pengen tau, gimana hubungan Kak Anri dan Bang Fahmi sekarang?"

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang