Luka Tak Berdarah

1K 40 1
                                    

"Orang yang selalu diam bukan berarti dia lemah, hanya saja ucapannya terlalu berharga untuk dikeluarkan"
By: Zaidhiya

Kamipun memutuskan untuk membawa bunda pulang, bersyukur bang Lukman adalah bagian dari keluarga kami karena kalau tidak siapa yang akan menguatkan kami dan mengurus pemakaman bunda. Sedangkan ayah dan paman saudara bunda tidak bisa untuk diharapkan.
Sesampai di rumah, kami di sambut oleh para tetangga dan juga teman bunda. Meskipun hari sudah malam, tapi rumahku penuh dengan orang melayat, dari tokoh masyarakat, teman bunda, rekan kerja bunda dan para anak buah bunda di kantor. Aku akui bunda memang terkenal sebagai orang yang baik, tapi sayangnya saudara bunda satu satunya itu seakan menyimpan benci pada bunda, entah aku tidak tahu alasannya.

      
Keesokann hari, tepat jam 06. Pagi, bunda sudah dimakamkan, meskipun tanpa kehadiran ayah, entah aku tidak tahu kemana perginya laki-laki itu, yang jelas aku berharap beliau, eh apa kata terhormat itu pantas untuk laki-laki penghianat sepertinya. Aku sangat berharap dia tidak menampakkan wajahnya di sini karena kalau dia datang, aku yakin, emosi  mbak Kamila pasti tidak akan terkontrol, mengingat dia sangat membenci laki-laki itu.

            Di depan pusara bunda yang di penuhi dengan daun pandan dan tiga jenis bunga, aku, mbak Kamila, bang Lukman, dan Amel duduk dengan bacaan yasin yang kami lantunkan, eh maksudnaya mereka, karena aku hanya duduk diam tanpa suara sedangkan masyarakat mulai bubar. Tidak berapa lama pandanganku tertuju pada dua manusia, berjalan dengan berpegangan tangan, sungguh pasangan yang manis, pikir seseorang jika tidak mengetahui siapa mereka. Ayah, dan perempuan paruh baya, itulah yang menjadi penyebab akan hancurnya kelurgaku yang harmonis.

            “Berhenti di sana, “ bukan suara lantang mbak Kamila tapi suaraku, ternyata akulah yang tidak bisa mengontrol emosi ini.

            Teriakanku membuat tiga manusia itu diam, pandangannya tertuju padaku, dadaku terasa panas melihat wajah mereka tanpa dosa,

            “Nak,” panggil perempuan paruh baya itu padaku dengan wajah sedih, aku yakin mimik itu hanya dia buat-buat.

            “Siapa kau, jangan sebut aku dengan panggilan itu, karena hanya bunda yang berhak atas panggilan itu,” tuturku dengan ketus.

            “Aku , ibu sambungmu Inaya,”beritahunya, membuatku langsung memandang ayah, kulihat matanya berkaca-kaca di sana dengan melihat makam bunda, tapi aku tidak peduli, kebencian itu sudah tertanam dalam tubuhku.

            “Hebat,” ucapku dengan lantang sembari bertepuk tangan, tanpa kuhiraukan semua mata yang tertuju padaku. “ sungguh luar biasa ayah, di hari kepergian bunda kau mambawa keluarga barumu dan melupakan keluargamu di sini, sungguh manusia yang tidak punya hati,” lanjutku dengan pandangan yang berpindah pindah, antara ayah dan  perempuan itu.

            “Diamlah Inaya, jangan merusak suasana, homati kami sebagai orang tuamu,” pinta ayah dengan suara pelan.

            “Aku tidak bisa menghomati seseorag yang tidak menghomati bunda,” tuturku, yang ternyata aku 80 persen berubah dari gadis yang lemah lembut menjadi gadis yang kasar.

Ya allah, biarkan aku egois untuk hari ini, gumamku dalam hati

“Pergilah kalian dari sini karena aku yakin jika bunda yang melihat perempuan tidak tahu malu ini di sini, bunda pasti juga akan marah sepertiku. Dasar pelakor,”

Cplas...

            Satu tamparan mendarat di pipi kananku membuatku tersungkur ke tanah, ini adalah kali kedua ayah menyakitiku secara fisik.

HILDAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang