Part 7 - Di Balik Tirai

6 1 1
                                    

Silau Cahaya Dari Jendela

 Setelah mengetahui rahasia Febri, aku merasa seperti ada tembok penghalang yang sangat tinggi yang menghalangi ku. Sekarang aku tak dapat berdekatan lagi dengannya, setelah rahasia nya terbongkar. Namun setelah di lihat-lihat wajah nya sangat lah imut, tapi tetap masih terasa ada sesuatu yang menganjal saat melihat nya.

 "Kak Dika,  kok kamu liatin aku mulu sih?" Tanya Febri, sambil memiringkan kepala dengan ekspresi penasaran.

Aku tersentak kembali ke realitas saat mendengar suaranya. "Oh, maaf Febri. Aku nggak sengaja," ujarku berusaha tersenyum. "Aku cuma berpikir tentang sesuatu."

"Ada yang salah, Kak Dika?" Febri bertanya dengan suara lembut, seolah-olah dia bisa merasakan kebingunganku.

"Hmmph, seperti nya nggak jadi." 

Febri menatap ku dengan tajam. "Ihh apa-apaan sih Kak Dika? Jangan main rahasia-rahasian dong..."

"Gak usah di pikirin, biar lah berlalu." ucapku sembari mencoba mengalihkan perhatian.

"Ihh Kak Dika mah gitu..." Febri masih terus mencoba menggali informasi dariku, namun aku lebih memilih untuk tetap merahasiakan sesuatu padanya.

******************

  Sebelum pulang sekolah, aku masih ada tugas yang belum di selesai kan. Jadi mungkin aku akan telat ke cafe hari ini, karena tugas ini memang harus di selesaikan hari itu juga. Tugas itu adalah mencari sebuah pendapat seorang ahli tentang HAM dari buku atau pun koran, karena tugas itu aku jadi pergi ke perpustakaan sendirian.

  Setibanya di perpustakaan sekolah, aku segera mencari buku yang relevan untuk tugas itu. Aku tahu aku harus fokus pada tugas, tetapi pikiranku terus melayang ke perasaanku terhadap Safira. Bagaimana aku bisa mendekatinya tanpa merusak hubungan kami? Aku pun bingung terhadap pemikiran ku sendiri.

 Saat aku tenggelam dalam pikiran-pikiran ini, aku mendengar suara lembut di sebelahku. Aku menoleh dan kaget melihat Safira berdiri di sana. 

"Dika, apa yang kamu cari?" tanya Safira dengan senyuman manisnya.

Aku tersentak, kaget melihatnya di sini. "Oh, Safira, aku mencari buku untuk tugas."

Safira mendekat dan melihat tumpukan buku di meja. "Tugas apa sampe pergi ke Perpustakaan?"

"Tugas PKN, tadi kelas ku di suruh untuk mencari sebuah pendapat dari seorang ahli tentang HAM nih." Ucap ku bingung sembari mencari buku.

Safira tersenyum. "Aku bisa membantumu mencarinya, jika kamu mau."

Aku merasa terharu oleh tawarannya. "Benarkah? Terima kasih, Safira. Aku akan sangat berterima kasih jika kamu bisa membantuku."

 Kami mulai mencari buku bersama-sama, dan dalam prosesnya, kami berbicara tentang berbagai topik. Selama beberapa menit, perasaan kebingungan dan ketidakpastian terhadap Safira seolah menghilang. Aku merasa nyaman bersamanya, seperti di dunia ini hanya ada kami berdua.

 Di perpustakaan yang sepi dan damai ini, di temani suara angin dari jendela yang di buka dan tirai yang bergoyang di hembus angin. Aku dan Safira berdua tenggelam dalam percakapan kami yang semakin akrab. Waktu terasa berjalan lebih cepat daripada yang saya sadari, dan seiring dengan itu, perasaan canggung yang pernah menghantui hubungan aku dengan nya serasa mereda.

"Dika," ucap Safira dengan lembut, "aku sangat senang bisa menghabiskan waktu bersamamu hari ini."

Senyuman muncul di wajahku. "Aku juga merasakan hal yang sama, Safira."

"Dika, aku pengen nanya deh. Sehabis pulang sekolah kamu biasa nya ngapain?" Tanya Safira kepada ku dengan penasaran.

"Hmm Aku? Kalau aku pulang sekolah biasa nya aku ke Cafe," Jawab ku lembut kepadanya.

"Cafe? Selera mu tempat boleh juga." 

"Bukan, maksud ku ke cafe untuk bekerja sampingan di sana." Ucap ku memperjelas keadaan.

"Owh, jadi kamu kerja sampingan ya." 

"Ya, begitulah..."

Safira penasaran lebih lanjut. "Oiya, cafe nya dimana tuh? Kalau ada waktu aku bisa mampir kesana..." 

"Dekat kok, kalau kamu keluar di jalan utama ke dua sebrang jalan nya kamu bakal ngeliat cafe nya." Ucap ku menjelaskan dimana cafe itu berada.

"Oh cafe itu, memang apa yang membuat mu tertarik magang di sana?" Tanyanya

"Ya, aku melakukannya untuk mendapatkan uang dan pengalaman." Jawab ku.

 Kami tersenyum satu sama lain, dan suasana hati kami terasa semakin ringan. Terlepas dari segala pertimbangan sebelumnya, sepertinya hubungan antara aku dan Safira semakin dekat dan lebih nyaman. Kami berdua merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara kami, meskipun belum sepenuhnya dapat dijelaskan.

"Safira, terima kasih ya udah nemenin aku sampe selesai. Sekarang Aku mau taro buku ini ke ruang guru. Kamu mau ikut gak?"

Safira tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, Dika. Aku bisa ikut."

Kami berdua meninggalkan perpustakaan dan menuju ruang guru untuk mengumpulkan tugas yang sudah selesai. Saat kami berjalan bersama-sama di koridor sekolah, aku merasa seperti ada ikatan yang semakin kuat antara aku dan dirinya. Walaupun aku masih merahasiakan perasaanku terhadap Safira, aku merasa bahwa waktu yang aku habiskan bersamanya adalah waktu yang berharga.

 Kami tiba di ruang guru, menyerahkan tugas kami kepada guru yang sudah siap menilai hasil pekerjaan kami. Setelah menyelesaikan tugas ini, kami kembali ke koridor sekolah. Di sana, Safira menatapku dengan senyuman ramah.

"Hari ini sangat menyenangkan, benar bukan Safira?" Ucap ku.

"Ya kamu benar Dika..."

"Jadi gini Safira sebenernya ada sesuatu yang ingin aku bilang sama kamu..." Ucapku dengan perasaan canggung. 

"Hmmph? Apa yang kamu mau bilang ke aku Dika?" 

 Aku merasa jantungku berdegup lebih cepat, tidak yakin apakah aku siap untuk berbicara tentang perasaanku. Namun, aku juga tidak ingin menyembunyikan sesuatu dari Safira yang telah begitu baik kepadaku. Aku bernapas dalam-dalam sebelum menjawab.

"Sebenernya, Aku..." ucapku dengan ragu.

Dia menatapku dengan penuh perhatian, mendukungku untuk melanjutkan. "Apa itu, Dika?"

Aku menggelengkan kepala, mencoba untuk tidak terlalu canggung. "Sebenarnya, aku... aku punya perasaan suka padamu. Sejak pertama kali aku melihatmu, aku merasa ada sesuatu di dalam hati ku. Aku ingin mengenalimu lebih baik dan aku merasa nyaman saat bersama mu." 

Safira terkejut dengan pernyataan cinta ku kepada nya, lalu ia tersenyum lembut. "Dika, itu sangat manis. Terima kasih telah menyatakan itu kepada ku, belum ada pria lain yang mengatakan itu kepada ku karena aku terkenal galak. Jadi terima kasih ya..."

Perasaan lega melanda hatiku. Aku tidak perlu lagi merahasiakan perasaanku terhadap Safira. Kami berdua tersenyum satu sama lain, dan aku merasa beban yang selama ini kuemban sekarang telah terangkat.

"Safira, aku ingin kita lebih dari sekedar teman biasa. Bisa kah itu terjadi?" tanyaku dengan hati yang berdebar.

Aku menunggu jawabnya dengan tangan yang bergetar dan keringat di dahi ku menetes sedikit demi sedikit. Sekarang aku merasa waktu seakan berhenti untuk menunggu jawaban dari Safira, jika aku di tolak aku akan sedih sekali. Namun bukan itu permasalahan ku, yang masalah adalah bagaimana aku menemui nya lagi tanpa membawa perasaan.

Safira tersenyum kepada ku, lalu ia berbalik badan dan berkata. "Hmmph seperti nya, kamu harus tunggu jawaban itu..."

 Lalu ia pergi meninggalkan ku, ia berjalan menjauh dari ku menuju ruangan Komdis. Disaat ini aku berpikir bahwa ia menolak ku, aku jadi menyesal menyatakan perasaan ku kepada nya. Aku tak tahu harus bagaimana sekarang, aku berpikir sudah tamat lah kehidupan percintaan ku. Lalu aku pergi ke cafe saat bel pulang berbunyi, lemas dan lesu aku berjalan menuju cafe tempat magang ku. 

 Namun dari belakang ada suara yang memanggil ku kencang...

Until You Look At Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang