"Hei, Hilya!!" suara cempreng Yasmin membuyarkan lamunan panjang Hilya.
"Asrarfirullahel'adzim, Yasmin,"
"Lagian, aku panggil dari tadi gak nyahut-nyahut,"
"Kira-kira apa yang membuat ustadzah muda ini melamun pagi-pagi,"tanya Yasmin, yang jiwa keponya mulai keluar
"Kepo banget anda, udah ah aku mau ke kamar," Hilya berinjak dari duduknya meninggalkan sahabatnya itu, tapi bukan Yasmin namanya jika rasa keponya tida terjawab.
"Cerita dong, aku gak rela ya sahabatku ini meyembunyikan sesuatu pada Yasmin yang cantik jelita ini" pinta Yasmin dengan wajah memelas, mencoba menyeimbangkan jalannya dengan Hilya. Meskipun berbadan pendek, tapi siapa sangka langkahnya membuat Yasmin ngos-ngosan.
"Gak ada yang aku sembunyikan kok, kamu aja yang terlalu posesif, mendingan kamu balik deh ke dalem, nanti masakannya pada gosong tuh," ucap Hilya yang pandangannya langsung tertuju pada sotel yang Yasmin pegang di tangan kirinya.
"Tenang aja udah ada dua santri di sana yang ikut bantu aku, ya meskipun mereka sering membuat masakan gosong sih, tapi aku bersyukur masih ada yang membantu. Karena ustadzah ini udah gak pernah ke dapur lagi, padahal masakannya itu sangat dirindukan keluarga dalem,"
"Yah, maaf, kamu kan tahu sendiri aku harus mengawasi para santri. Di zaman yang sudah tua ini semuanya hampir sama dengan i'rob," mereka duduk diteras, rumah khusus para ustadzah.
"I'rob?" tanya Yasmin bingung, menatap sahabatnya itu
"Perubahan, ya kalau barubah baik sih tidak masalah, tapi ini sebaliknya. Para santri sekarang kalau dinilai jauh dengan santri di zaman kita, aku jadi sedih, kalau mengingat perbuatan mereka di belakang dewan asatid astidzah. Mereka kira, kita ini bodoh, padahal kita juga pernah ada di posisi mereka, menjadi santri, merasa tidak betah, huh,"
"Lanjut dong Hil," pinta Yasmin karena Hilya tiba-tiba diam.
"Kalau aku cerita, yang ada keluarga dalem bisa sarapan makanan gosong nih,"
"He he he , iya ya, ya udah lah lain kali aja. Sebnarny aku juga udah tahu soal itu. Meskipun kerjaan aku hanya masak di dalem, jarang ketemu santri putri, tapi telingaku ini bisa diajak kerja sama," beritahu Yasmin dengan kekehannya.
"Oh iya, aku jadi lupa. Kata bu nyai, nanti pas santri pulang semua kamu di suruh tinggal di dalem selama para santri dan para ustadzah pulang. Mengingat selama ini kamu gak pulang meski liburan, tapi kalau kamu mau pulang itu lebih bagus, nanti kita pulang bareng."
"Aku tetap disini aja Yasmin,"
Inaya Zea Hilya Farah, seorang gadis yang berumur 20 tahun, tumbuh di lingkungan pesantren dan tanpa orang tua, membuat iya tumbuh menjadi gadis dewasa, meskipun tidak pernah menempuh pendidikan dibangku kuliah, tapi ilmunya tidak bisa diragukan. Iya memang tidak pernah berkeinginan untuk belajar dibangku kuliah, iya gadis muslimah yang ingin selalu memperdalam ilmu agama. Inaya Hilya Zea Farah, itulah nama lengkap gadis itu. Inaya, adalah sebuah panggilan di masa lalu, Inaya gadis yang lemah lembut, penurut, penakut, dan gadis muslimah yang selalu haus akan ilmu agama. Namun, setelah iya memutuskan untuk memasuki gerbang pesantren lagi, iya mengubah nama panggilannya menjadi Hilya, iya tanpa bosan mengingatkan orang di sekelilingnya untuk mengubah panggilannya dari Inaya menjadi Hilya, itu bukan hal yang mudah, tapi jika Allah yang berkehendak maka jadilah.
Hilya berusaha untuk ikhlas, menerima ketentuan allah, tapi tidak dengan penghianatan dan luka di hatinya yang Fauzi selaku ayahnya dibuat. Luka itu membuat Hilya berubah 80 persen, iya tidak lagi menjadi Inaya yang lemah, iya sudah menjadi Hilya yang tegas, tidak semua orang bisa melihat lemah lembut dan senyumnya yang manis, itu hanya iya tunjukkan pada keluarga dalem dan sahabatnya Yasmin. Nama panggilan yang berubah seakan merubah kepribadiannya.
Setelah Hilya kembali kepesantren iya belajar dengan giat, mengulang kitab-kitab yang sudah dipelajari, dan hafalannya sudah tiga puluh jus, tidak pernah iya meluangkan waktu untuk sekedar mencari hiburan seperti teman sebayanya, seakan iya sudah mengabdikan dirinya untuk agama. Sudah tiga lelaki yang datang untuk melamar Hilya, tapi iya menolak dengan alasan umurnya masih muda dan belum siap, salah satunya ustad Ali, salah satu ustad di pesantren Nurul Jannah. Padahal alasan sebenarnya karena Hilya selalu dhantui dengan rasa takut akan penghianatan, iya takut ada Inaya kedua yang akan merasakan luka di masa lalu.
Hingga tiga tahun yang lalu, nyai Rusydah mengangkat Hilya sebagai ustadzah, karena Hilya sudah pantas untuk menerima gelar mulia itu meskipun umurnya yang masih muda tapi ilmunya tidak bisa diragukan. Hilya diamanahkan untuk mengurus santri putri untuk menggantikan tugas ustadzah Sakinah, yang memilih mengundurkan diri dari tugas itu mengingat iya sudah berkeluarga, dan takut tidak bisa membagi waktu antara pesantren dan rumah tangganya. Dari situlah perubahan Hilya sangat terlihat, tidak ada yang menyangka Hilya yang awalnya lemah lembut, menjadi gadis yang tegas, jarang sekali para santri yang bisa melihat senyumnya, semua itu membuat para santri merasa segan kepada ustadzah muda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HILDAN
Fiksi Remaja"Setidaknya katakan sesuatu pada saya gus," ucapan Hilya bagaikan angin lalu, Gus Aydan mulai mengotak atik ponselnya. "Gus, saya tahu, ada sesuatu yang terjadi di sini, jangan hanya diam gus saya butuh penjelasan," pinta Hilya tapi dengan respon y...