Bertemu

713 24 0
                                    

Tepat jam 10.00 pondok pesantren Nurul Jannah sudah terlihat sepi, tidak ada keriuhan, santri putri dan putra semuanya pulang ke kampung halaman, begitupun para ustadz dan ustadzah yang mukim di pesantren Nurul Jannah. Tapi tidak dengan Hilya, ia duduk di bawah pohon mangga yang terletak di samping pesantren dengan lincah ia menulis di buku diary nya, sebuah buku yang menjadi tempat curhat ternyaman setelah Yasmin.
Pagi menjelang siang, diary
Saat ini aku duduk dengan tenang, tanpa keriuhan tapi dengan kesepian. Aku datang menepati waktu seperti satu tahun yang lalu, tempat ini kembali menjadi tempat ternyaman untukku merangkai kata membagi cerita pada alam.
Dunia ini memang keras, menakutkan, mengerikan dan banyak lainnya. Dan aku sebagai insan masih diberi kesempatan untuk mengenal dunia lebih lama lagi. Kata mereka, hidupku tidak ada asik-asiknya, hidupku datar. Tapi aku menikmati semua ini, meski tanpa sadar air mata yang selalu kusembunyikan mulai menetes. Mungkin, dia sudah tidah tahan di tempat persembunyiannya karena sudah tidak mampu untuk menampung.
Ya allah, sang pencipta, yang berkehendak atas semua yang terjadi pada diriku.
Aku datang di tempat yang selama 5 tahun ini  kududuki, suasanya masih seperti dulu, aku kembali membuat pengaduan.
Aku takut ya allah, aku takut dengan berjalannya waktu seakan aku ingin menghentikan waktu, agar aku tidak bertemu dengan orang yang datang dengan niat baiknya padaku. Aku takut dengan laki-laki yang akan mengkhitbahku nanti. Aku tidak tahu bagaimana lagi aku harus beralasan untuk menolak niat baiknya.
Ayah, ya dialah yang menjadi alasan akan ketakutan dihati ini, memori dua tahun yang lalu masih jelas diingatanku, penghianatannya, teriakannya, pukulannya, aku takut bertemu dengan laki-laki sepertinya.
Ya allah, aku bukan bermaksud berburuk sangka akan takdir yang belum ku jalani, tapi bolehkah aku katakan. Jika aku sangat membenci kaum Adam yang datang mengkhitbahku. Aku tahu tidak semua orang memiliki kepribadian seperti ayah, tapi ketakutan itu selalu menghantuiku.
“Nak Hilya!” penggilan nyai Rusydah membuat Hilya menutup buku diarinya
“Enggi umi,”
“Boleh umi minta sesuatu pada ustadzah Hilya,” pinta nyai Rusydah yang sudah duduk di sampingnya.
“Sepertinya kalau udah bawa-bawa ustadzah, permintaan umi akan sangat susah ni,” kata Hilya dengan senyumnya yang ayu.
Ibu nyai dan ustadzah muda itu memang sangat dekat, semenjak Hilya kembali lagi ke pesantren keluarga dalem menyambut ramah kedatangannya, nyai Rusydah, yang mengerti akan keadaan Hilya, mencoba untuk mendekatkan diri memberikan kasih sayang seorang ibu pada Hilya, dan beliu sudah menganggap Hilya sebagai putrinya. Dan soal panggilan umi, beliau meminta Hilya untuk memanggilnya dengan sebutan umi dari pada bu nyai.
“Astarfirullaheladzim, jangan suudzon nak,”
“He he he ... maaf umi, kalau Hilya bisa pasti akan  diusahakan, insya allah,”
“Pulang ya nak, tadi malam mbak mu nelpon umi, katanya dia kangen banget sama adiknya,” nyai
Rusydah mulai memegang tangan Hilya dengan lembut seakan memberi kekuatan pada gadis yang masih terluka itu. Sedangkan Hilya hanya menunduk tanpa merespon.
“Sudah dua tahun, kamu tidak pulang ke rumahmu, apa kamu tidak ingin berziarah di makam bundamu, umi tahu apa yang kamu rasakan nak, tapi sampai kapan kamu akan menyiksa mbakmu dengan kerinduan. Pulanglah, umi tahu kamu gadis yang kuat,”
“Saya tidak sekuat itu umi, jika saya pulang saya akan kembali menjadi Inaya yang lemah, lima tahun ternyata belum cukup untuk menyembuhkan luka itu, saya sudah ikhlas akan kepergian bunda, tapi saya masih belum ikhlas atas perlakuan ayah pada bunda umi, saya takut, “ tutur Hilya, yang mulai meneteskan air mata.
“Umi hargai keputusanmu,  semoga allah melapangkan hatimu nak,”
“Umi, apa Hilya boleh minta sesuatu pada umi,” pinta Hilya dengan wajah memelas
“Katakan nak,”
“Jangan meyuruh Hilya pulang ke rumah, karena saya tidak enak untuk menolak permintaan umi, saya pasti akan pulang, tapi nanti, setelah  sudah merasa siap,” pinta Hilya dengan air mata yang semankin deras, membuat nyai Rusydah tidak tahan dan langsung memeluknya.
“Sudah jangn menangis, umi mau ikut abah, ada acara di luar, kamu segera ke dalem ya,”
Nyai Rusydahpun pergi meninggalkan Hilya, karena harus ikut suaminya menghadiri acara. Di situ Hilya membuang nafasnya, menghapus air matanya dan kembali pada dunianya sendiri, yaitu buku diarynya. Belum sempat iya membuka buku, suara cempreng Yasmin kembali mengganggunya.
“Ayo ke dalem, bantu aku masak , barusan kata bu nyai gus Aydan nanti akan pulang, beliau akan buka puasa di sini,”
“Gus Aydan, siapa dia?”
“Aku juga tidak tahu, tapi menurut aku gus Aydan itu putra dari kiai dan nyai, karena aku pernah melihat foto anak kecil laki-laki yang umurnya sekitar 10 atau 12 tahun, foto itu diambil pada tahun 2002 kalau ngak salah sih, itu ada di kamar ning Luli waktu aku kemas-kemas. Tapi selama aku di pesantren dan jadi pengabdi dalem aku gak pernah mendengar keluarga dalem berbicara tentang putranya. Aku kira ning Lulu itu hanya anak tunggal,”
“Hush, kamu ini, itu aja di fikirkan, kita tidak boleh ikut campur urusan keluarga dalem, terkadang kepo mu itu harus ada batasannya ya Yasmin” jelas Hilya, membuat Yasmin garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Ikut aku dulu yuk, aku mau keliling pesantren,memastikam semua santri udah pulang,”
“Baiklah ustadzah Hilya,”
Dua sahabat itupun berjalan mengelilingi pesantren, sambil bercengkrama berbagi cerita hingga terdengar tawa mereka, seakan dunia hanya milik mereka berdua.
“Hei berhenti!” suara tegas Hilya menghentikan langkah seorang pemuda yang ingin masuk ke lingkungan pondok putri. Wajahnya terlihat tampan begitupun dengan pakaiannya, pemuda itu menggunakan baju koko, sarung dan peci hitam ciri khas seorang santri.
“Ya allah, Hilya! Bisa ngak kamu tidak teriak-teriak,” kata Yasmin sambil memegang dadanya yang terkejut karena suara lantang sahabatnya itu.
Hilya tidak menghiraukan ocehan yasmin, dia mendekati pemuda yang ada di gerbang pondok putri, terlihat pemuda itu menatap Hilya.
“Kenapa kamu belum pulang? Dan ada maksud apa kamu ingin memasuki kawasan pondok putri?” tanya Hilya dengan suara tegasnya. Namun, tidak terlihat raut ketakutan di wajah pemuda itu membuat Hilya dan Yasmin heran melihat satu santri itu, fikir mereka.
“Kenapa kamu hanya diam, apa suara saya tidak sampai ke gendang telingamu. Saya sudah terbiasa menghadapi santri nakal sepertimu. Apa saya harus melaporkanmu pada kiai.”
“Hil, diamlah, dia tidak seperti seorang santri, aku tidak pernah melihat wajahnya, perhatikan kumisnya yang tipis dia sangat tampan, dia seperti seorang aktor,” Beritahu Yasmin berbisik tepat ditelinga Hilya, tapi masih didengar oleh pemuda itu.
“Jangan percaya dengan fisik Yasmin, wajahnya memang terlihat tua, tapi aku yakin umurnya masih bocil,” balas Hilya dengan bisikan pula, membuat Yasmin menepuk jidatnya, perasaanya mulai tidak enak. Sedangkan pemuda itu semakin menatap Hilya ternyata bisikan itu masih terdengar di telinganya.
“Jaga pandanganmu! Apa kamu tidak tahu santri laki-laki tidak boleh masuk di kawasan santri putri meskipun Waktu libur dan yang melanggarnya akan mendaptkan hukuman, pulanglah! Saya masih berbaik hati untuk memaafkan kesalahan yang akan kau lakukan, mengingat sekarang bulan ramadan,”
Perkataan tegas Hilya tidak membuat pemuda itu merasa takut sedikitpun, iya dengan tenang mendengar ocehan Hilya tanpa membalas perkataannya.
“Ayo Hil, kita harus segara ke dapur dalem, nanti kita bisa telat,”
Yasmin dan Hilya pergi meninggalkan pemuda itu yang masih betah dalam kebisuannya, sebelum pergi Hilya menatapnya dengan tatapan tajam, senjata yang selalu digunakan di saat memarahi santri.
“Gadis yang aneh” singkat dan jelas kalimat yang keluar dari lisan pemuda itu dengan gelengan kepala, tapi tidak di dengar oleh dua sahabat itu.
“Lulu! Kemana kakakmu?” tanya kiai Rusydah pada putrinya yang duduk di ruang tamu
“Tadi katanya mau lihat-lihat lingkungan pesantren abah, tidak tahu kok sampai sekarang belum kembali juga,” Jawab ning Lulu.

Alhamdulillah, hari ini author update 2 bab.

Siapakah pemuda berkumis tipis itu, duh dia sangat meresahkan.
Next??

HILDAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang