JALUR PERTAMA

52 3 0
                                    

Bukan hanya mata, mulut Zea pun ikut tidak percaya. Pada apa yang baru saja telinganya dengarkan, "Maaf, maksudnya bagaimana Pak?"

"Kamu jangan cuti dulu, pekerjaan lagi numpuk banget ini!"

Kakinya lemas, persendian Zea mendadak lemah. Bukan karena apa yang Pak Susanto katakan, tapi bagaimana dengan reservasi tiket yang sudah di pesan.

Ya, jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan ramadhan. Kegiatan yang sudah menjadi rutinitas Zea selama hampir tiga tahun itu, selalu memiliki persiapan secara matang. Rencana mudik yang disusun sedemikian rupa, guna mendukung kepulangannya ke kampung halaman, demi merayakan hari raya idul fitri bersama keluarga. 

Sebagai anak rantau, Zea tidak bisa melewatkan lebaran tanpa sanak keluarga di kampung. Mengingat tradisi, juga tentunya momen lebaran mengharuskannya untuk berkumpul dan silahturahmi dengan keluarga juga tetangga. Maka dari itu, persiapan dari mulai membeli tiket kereta api lebih awal menjadi kunci bagi gadis itu dalam berlebaran.

Dalam ingatan Zea, kejadian menunda kepulangan menjelang lebaran seperti ini belum pernah terjadi. Tentu saja Zea tidak pernah menyangka akan ada ekstra pekerjaan menjelang lebaran.

Karena sejak bergabung dengan perusahaan tempatnya bekerja, Zea jarang melakukan aktivitas lembur. Alasan utama sebab kecekatan para karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan.

Lagipula kalau ada lembur, jam sembilan sudah pada pulang. Karena memang divisi keuangan tidak pernah menerapkan sistem kebut dalam bekerja. Faktor utama ya karena harus teliti dan jeli.

"Pak, tapi saya udah pesen tiket!"

"Aduh, gimana Ze? Saya bener-bener gak bisa handle sendiri, Hambar sama Sawo aja gak dukung banget!"

Bukan Zea bermaksud bangga mendengar perkataan Pak Susanto barusan, tapi Hambar dan Sawo yang merupakan rekan kerja sekaligus temannya itu, menghadapi bulan puasa seperti ini, mereka menerapkan aturan wajib untuk diri mereka sendiri, yaitu menyempatkan waktu tidur pada siang hari.

Meski pekerjaan keduanya selesai di waktu mendekati magrib, pada waktu itu meski menjelang sore mereka harus tidur.
Salah satu dari mereka memberikan alasan pada Zea. "Tidurnya orang puasa, ibadah Zea. Kalau gak tidur bisa-bisa pahala gue kurang!" Ini Sawo yang mewakili. 

Karena sudah se-frekuensi, dengan mudahnya otak Hambar terpedaya. Begitu hari terus bergulir, Zea mengenal dan menjadi akrab dengan mereka berdua yang tidak lepasnya memberikan kejutan dari setiap tingkah lakunya.

"Dias sama Wowo udah izin gak bisa kalau cutinya mundur. Cuma kamu yang saya harapkan."

"Bilang aja karena gue belum berkeluarga, Pak! Pakai ngalus segala!" gerutu Zea dalam hati.

Dua nama yang tadi Pak Susanto sebut adalah dua karyawannya yang sudah berkeluarga. Memiliki anak dan tentunya mertua.

Masing-masing dari mereka berasal dari kota Jawa Tengah. Sedangkan Hambar dan Sawo anak asli Jakarta. Zea sendiri anak rantau dari kota Jawa Timur.

"Ya udah, saya undur cutinya!"

Pak Susanto berubah ceria dari yang tadinya wajah itu nampak gelisah. Zea tidak menyalahkan pekerjaan tambahan ini yang tiba-tiba. Kata Ibunya, "Pekerjaan itu berkah. Bagaimanapun cara datangnya."

Tapi dengan menunda hari libur yang sudah di depan mata, apakah juga termasuk berkah?

"Tenang, bonus kamu lebih banyak!"

Zea mengiyakan, tidak sempat lagi loncat-loncat kegirangan mendengar kata bonus di ucapkan. Pikiran Zea sudah berkecamuk dengan bagaimana caranya dapat tiket di waktu yang sudah sangat dekat di hari raya seperti ini.

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang