6; wife out!

406 48 8
                                    

Beberapa kali, aku dan Queen masuk ke sesi pemotretan Danendra, dan sesuai ungkapannya, dia memang payah dan amatir. Beberapa foto kami blur, walau ada beberapa yang bagus, dan aku paling suka saat Queen memeluk Boggie anjing milik Danendra.


"Maaf, aku sepertinya masih perlu banyak belajar," katanya, cengengesan seraya menggaruk belakang kepala.

"Tak apa, kok. Ini sudah bagus sekali. Boleh aku menyimpannya?" Dia memang langsung mengeluarkan foto sejenis polaroid.

"Tentu, simpanlah, dan kalau mau difoto lagi aku selalu di taman ini setiap Minggu, oh ya aku baru melihat kalian berdua, apa kalian baru pindah?" Kalau dia bilang begitu, sebenarnya keliru, aku dan Queen memang jarang sekali bersama, apalagi ke taman, sepertinya Danendra sudah lama di sini. "Itung-itung aku latihan, aku terlalu malu mengajak seseorang menjadi objek fotoku, kalau-kalau hasilnya jelek."

"Sebenarnya, aku sudah lama di sini, cuman jarang keluar, tapi mungkin setiap Minggu aku dan Queen akan terus jalan-jalan bersama, tapi tak janji ke sini." Aku menjelaskan seadanya sambil menatap anakku yang tampak memeluk usai aku mengatakan itu, dia pasti sangat bahagia kala tahu ibunya yang payah ini akhirnya berubah.

"Oh, baiklah, dan um itu ...." Aku mengerutkan kening, ada apa berondong ini, dia bergumam dengan gestur kikuk. "Apa ada yang marah kalau aku ... itu."

"Aku itu?" Aku mengerutkan kening bingung.

"Yah, bertukar nomor telepon, maksudku kali saja kamu mau menyewa jasa payahku, maksudku yah, itu."

Oh, bertukar nomor.

Victor mana peduli sepertinya. "Sure, why not?" Mungkin Danendra akan menyangka aku janda setelah ini. Dia menyerahkan ponselnya dan aku menuliskan nomorku di sana. Terlepas si berondong ini ingin dekat dengan alasan apalah, aku tak terlalu peduli, tetapi tak ada salahnya menambah teman.

Toh, Queen tampaknya menyukai pria ini dan anjing kecilnya Boggie.

"Kalau begitu, aku pergi duluan." Danendra ingin beranjak, tetapi Queen menghentikannya.

"Uncle, tunggu sebentar, ini." Dia menyerahkan kue yang dibungkus untuk pria itu. "Uncle dan Boggie bisa makan ini, tidak ada cokelatnya, kok."

"Ouh, terima kasih, Ratu Kecil." Danendra mengusap puncak kepala Queen--arti nama anakku memang ratu--dan Boggie tampak menggonggong kecil seakan berterima kasih. Mereka sungguh manis.

"Terima kasih juga fotonya, Uncle. Dadah!"

Danendra mengangguk, pun berbalik dan pergi bersama Boggie yang terpasang tali penuntunnya. Kami melambai-lambai ke arah pria itu sampai akhirnya dia hilang dari hadapan kala berbelok. Danendra bilang dia tinggal beberapa blok dari taman ini jadi tak heran jika dia akan berjalan kaki. Profesinya utamanya katanya guru muda. Kami banyak berbincang hal random.

"Mom, apa setelah ini kita ke pasar malam?" tanya Queen, aku menatapnya.

"Tentu saja, ayo." Pasar malam sudah buka pukul lima, meski wahana tak sebanyak malam nanti, tetapi cukup untuk sedikit bersenang-senang dan melupakan masalahku sejenak.

Entah bagaimana nasib Victor di rumah, ponselku dalam keadaan senyao dan tak akan bisa dia lacak, tetapi mana mungkin sih pria itu peduli. Lebih baik fokus ke anakku, dan menaikkan ragam skill lain yang harus aku punya sebagai pertahanan diri.

"Mom, sepertinya tempat jualan yang aku cari belum ada," kata Queen, memang kami sedari tadi berkeliling dan belum menaiki wahana mana pun.

"Kalau begitu, kita tunggu saja sambil bermain yang lain, oke?" Queen mengangguk.

"Mommy, andai Daddy ada di sini, mungkin lebih seru ...." Tiba-tiba Queen berkata demikian, yah dia anak kecil yang memang haus kasih sayang, tetapi dari kesenduannya dia pasti memahami ayahnya pria bagaimana.

"Tak usah memikirkan dia, Sayang. Kan ada Mommy. Kita ini bukan perempuan sembarangan, kita kuat, oke?" hiburku, memegang kedua pipi dan menangkupnya.

Queen tersenyum semringah. "Baiklah, Mommy."

"Oh ya, sebenarnya apa yang ingin kamu beli, Queen? Mommy penasaran," kataku, karena dia bilang hanya hadiah untukku, tanpa keterangan spesifiknya.

"Ada, deh. Nanti Mommy tau!" Queen menyengir lebar, menampakkan deretan giginya.

"Baiklah, beri Mommy kejutan, dan Mommy juga akan memberimu kejutan."

"Apa itu, Mommy?!" Queen melompat begitu antusias.

"Eits, masa kejutan dikasih tau? Harus rahasia dong, kan? Queen aja rahasia sama Mommy." Kami berdua tertawa gelak. "Ya udah, mau main yang mana? Komidi putar?"

"Mau, Mom!"

Kami bermain puas bersama malam itu, tanpa memikirkan konsekuensi apa pun setelahnya, toh siapa yang peduli. Selepas bermain cukup lama, hari mulai semakin larut.

"Mom, itu!" Queen menunjuk seseorang, pelukis jalanan, yang terlihat asyik menggambar sepasang insan yang sepertinya kekasih di sana dengan lihai, meski cepat hasilnya sungguh bagus. Jadi, yang Queen ingin berikan untukku, berupa lukisan.

Manisnya, dia sungguh tahu hal yang pantas diabadikan.

Kami pun menghampiri pria pelukis itu, yang bertepatan telah selesai membuatkan lukisan untuk keduanya.

"Uncle, bisakah kamu menggambar aku dan Mommy?" tanya Queen tersenyum manis pada sang pelukis.

Pelukis itu balik tersenyum. "Tentu saja, Nyonya dan Tuan Putri. Duduklah, pose apa yang Tuan Putri Kecil ini inginkan?"

Queen dan aku pun duduk. "Kejutan untuk Mommy!"

"Baiklah, segera dilaksakan." Bersama kuas usangnya, tangan yang dipenuhi ragam warna cat itu mulai menciptakan garis demi garis di kanvas kosong, pelukis itu tampak amat serius melakukannya, seakan menyatukan jiwa raga demi sebuah seni jalanan begini. Sayang dari penampilan agak dekil itu, karya seninya sepertinya tak dihargai sepadan.

Karya seni padahal hal yang sangat pantas dihargai tinggi, tak mudah membuatnya.

Omong-omong, aku baru sadar satu hal. "Queen, bagaimana kamu tau ada pelukis di pasar malam? Apa Nani pernah mengajakmu ke sini?" tanyaku, tapi itu hal mustahil, sih. Nani tak pernah mengajak Queen tanpa seizinku, termasuk ke pasar malam. Aku dan Victor pun tak pernah melakukannya.

"Oh, aku melihat lukisan Aunt Romansa dan Uncle Arjuna bersama Adik, mereka bilang mereka membelinya dari pelukis di pasar malam. Aku juga ingin punya lukisan aku, Mommy, dan ... Daddy." Ouh, Queen-ku.

Dia terlihat terluka kala mengatakan hal terakhir, sang ayah. Dia anak yang masih haus kasih sayang dari orang tuanya, tetapi Victor jelas tak akan peduli soal itu selain ambisi semu mengejar orang-orang yang mustahil dia kejar. Rela melakukan apa saja, demi menginjak orang lain, bahkan menginjak istri dan darah daging kami, yang sudah membantunya menjadi tangga pula.

Dari sini mataku rasanya semakin terbuka akan perlakuan semena-mena Victor, ternyata memang semengerikan ini ingatan seorang wanita kala mengingat minus suaminya. Apalagi, kalau dilihat sekali lagi, Victor tak pernah menunjukkan kasih sayang, seperti Arjuna ke Romansa.

Mungkin patokan romantismeku akan berada pada pasangan yang sangat Victor benci itu.

"Oh, kalian di sini."

Chapter lengkap tersedia di karyakarsa

Total sampai 28 chapter ;) dan cuman perlu bayar Rp. 6.000 saja (masing2 harga Rp. 2000 saja)

Muraaaaah :D

Silakan ke sana ya guys^^

Wife Out! [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang