Awan gelap membumbung tinggi, membungkus langit malam kota. Hujan gerimis turun tepat setelah keretaku memasuki perbatasan kota. Aku duduk di gerbong paling belakang dekat jendela. Sepi. Hanya tersisa aku dan seorang ibu-ibu penjual susu kesehatan yaa cult di gerbong ini. Begitulah kondisi gerbong kereta dengan jadwal kedatangan paling akhir. Tidak banyak orang yang turun di stasiun ini. Apalagi kota tujuanku adalah kota pemberhentian terakhir kereta sebelum akhirnya petugas KAI me-reset jadwal untuk keesokan harinya.
Aku melakukan hal ini total 4x dalam seminggu. Menghabiskan 5 jam perjalanan duduk di kursi dengan posisi punggung tegak. Maklum, hanya ada kereta dengan kelas ekonomi yang tersedia ke stasiun kota asalku. Sebenarnya kebagian tempat duduk pun sudah menjadi suatu kebahagiaan tersendiri. Terkadang aku harus berdiri selama hampir 3 jam sebelum akhirnya mendapat tempat duduk. Itu pun saat kereta sudah mendekati kota tujuanku.
Sebenarnya aku pun malas untuk melakukannya berulang kali. Singkat cerita, aku adalah seorang mahasiswa tua yang menuntut ilmu di universitas yang terletak di ibukota provinsi. Salah satu syarat kelulusan yang di tentukan oleh pihak universitas adalah magang. Ibuku menyarakan untuk mengambil magang yang tersedia di kota asalku. "Biar ga keluar biaya lagi." Katanya. Dengan kondisi ekonomi keluargaku yang serba kekurangan, aku pun menerima tawaran ibu. Meskipun itu artinya aku harus Pulang-Pergi setiap minggunya. Senin sampai dengan Kamis adalah jadwal untuk kuliah, sedangkan untuk magang, jadwalnya di hari jumat sampai dengan minggu.
Lamunanku buyar oleh suara TUTTTTT keras lokomotif kereta. Tak berselang lama, suara masinis kereta terdengar melalui pengeras suara. Tanda bahwa kereta akan tiba di tujuan. Aku bergegas bersiap untuk turun. Kulihat ibu-ibu tadi tertidur dengan sangat lelap. Satu yang tidak kusadari adalah ada seorang anak kecil yang juga sedang tidur di pangkuannya. Ia meringkuk, berselimutkan jaket si Ibu.
Kubangunkan Si Ibu dengan perlahan sambil menggoyangkan kakinya. "Bu..., Nganpunten, sampun dugi."
"Oh, Iya, Mas. Terimakasih." Kata Si Ibu
Setelah kupastikan Si Ibu terbangun, aku berjalan menuju pintu keluar. Hujan turun makin deras. Kupercepat langkahku. Payung-payung mengembang. Senyum terlukis tipis di mulutku. Di antara kerumunan orang terdapat satu payung yang dapat kukenali dengan baik. Payung berwarna kuning terang dengan logo sebuah bank milik pemerintah. Payung yang kami menangkan dari undian jalan sehat tahun lalu.
Manusia bergigi kelinci itu adalah partnerku melakukan ritual. Tidak sembarang orang bisa melakukan ritual ini. Kami hanya dapat melakukannya 2 sampai 3 kali selama sebulan karena kesibukan masing-masing. Aku dengan jadwal kuliah dan magangku dan dia yang tengah belajar, berjuang untuk memasuki universitas impiannya. Ritual kecil kami adalah makan. Iya, Makan. Setelah perjalanan yang panjang, meletakkan semua masalah untuk sementara, lalu pergi makan adalah hal yang sangat menyenangkan. Biasanya, kami akan bercerita tentang "Top 5 Kejadian Ga Penting." Yang telah terjadi selama seminggu kebelakang. Berebut tentang siapa yang ceritanya layak untuk jadi No 1. Tentu saja, aku selalu kalah.
Lihat, ia saat ini berdiri tepat dibawah plang tulisan kedatangan. Pakaian yang dipakainya sangat sederhana. Jaket hoodie dan celana training. Sangat sederhana memang. Tapi, entah kenapa aku selalu menyukainya apa adanya. Tangannya melambai-lambai berusaha mendapatkan perhatianku. Ia tersenyum manis, menampakkan dua gigi kelinci yang menjadi ciri khasnya. Aku berlari kecil menghampirinya. Memegang tangannya yang dingin.
"Terimakasih sudahbekerja sangat keras. Ayo, Kita pergi makan."
