Lorong rumah sakit itu sepi. Kenzie sempat melirik jam di tangannya, waktu menunjukkan pukul 22.15. Sejam yang lalu, teman-temannya memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Hanya dia sendiri yang memutuskan untuk tinggal.
Pria manis bermata bulat, hidung bangir dan rambut hitam legam gaya under cut itu memandangi sosok tampan di hadapannya. Sorot matanya masih berbinar seperti biasa walau kulitnya pucat pasi.
"Ayo, tunggu apa lagi?"
Kenzie masih saja ragu, mulutnya terkatup rapat, kakinya tak bergeser sesentipun dari tempatnya berdiri.
"Ayolah Ken, masa hanya karena aku sakit, trus kamu berpikir aku gak boleh have fun?"
Dulu Kenzie tak begitu menyadari bahwa di balik suara yang selalu terdengar riang itu, ada sesuatu yang menggetarkan jiwanya. Kenzie memang pernah dibuat merinding oleh suara itu, tapi hanya sekali, yaitu: pada saat sosok di hadapannya ini menyatakan cinta lima belas bulan lalu. Lima belas bulan yang detik ini terasa begitu berharga. Kenzie dulu selalu mengingatkan dirinya sendiri bahwa saat kita akan kehilangan, maka sesuatu itu akan menjelma menjadi hal yang sangat berharga. Akankah ini berarti Kenzie akan kehilangan Farrel yang dicintainya?
"Ken, kok kamu jadi bengong?"
Suara itu lagi. Suara yang setiap saat berputar-putar dalam benak Kenzie selama dua minggu belakangan ini.
Suara yang resonansinya mampu membuat hati Kenzie gemetar karena rasa takut kehilangan yang sangat besar."Gak kok. Aku cuma lagi mikir aja. Ngapain sih kamu mesti keluar dari lingkungan rumah sakit ini?" ucap Kenzie setelah berhasil mengatasi kegugupannya.
Farrel menggapai tangan Kenzie. Sesaat Kenzie merasa kejutan listrik merambat ke seluruh tubuhnya. Kenzie bisa merasakan panas tubuh Farrel yang berlebihan. Kali ini sentuhan Farrel tak membuat Kenzie nyaman. Sentuhan yang biasanya mengantar kehangatan ke rongga hati Kenzie, sekarang malah membuatnya galau.
Farrel menatap tajam Kenzie tepat kearah kedua matanya, seolah sedang menyelami apa yang sedang dirasakan Kenzie. Kenzie bertambah gugup, tak ingin jika Farrel bisa menerka dasar hatinya. Kenzie tak ingin Farrel tahu apa yang sedang dirasakannya.
"Ken, aku cuma ingin kembali ke masa dulu. Saat aku nge-date sama kamu, hangout sama kamu, seneng-seneng sama kamu. Aku..."
Kenzie langsung mengangkat telunjuk tangan kanannya, lalu meletakkannya tepat di bibir Farrel. Kenzie tak sanggup jika Farrel melanjutkan perkataannya. Kedua mata Kenzie sudah berkaca-kaca.
"Aku akan turutin apapun yang kamu mau. Apapun..." suara Kenzie bergetar.
Air mata itu tak lagi bisa dibendung. Menetes dan mengaliri pipi Kenzie.Farrel tertegun. Dengan gerakan yang lemah, Farrel tiba-tiba berdiri dari kursi rodanya. Jari tangan kanannya menghapus air mata Kenzie.
"Jangan menangis sayang. Waktuku tak banyak. Aku tak ingin menghabiskan waktuku yang sempit ini dengan kesedihan."
Ucapan Farrel tak membuat air mata Kenzie terhenti. Kenzie menatap Farrel sambil menggeleng, tak bisa menerima kenyataan.
"Kamu jangan ngomong begitu. Kamu akan hidup lebih lama. Kita akan menghabiskan begitu banyak waktu indah bersama. Aku dan kamu, selamanya."
Farrel tersenyum, lalu mengangguk. "Pastinya. Lihat aja, aku kan segar bugar begini."
Kenzie tersenyum melihat Farrel yang tiba-tiba berpose bak seorang binaragawan, memperlihatkan otot bisep-nya yang tak seberapa besar. Kenzie tahu, tadi pagi Farrel baru saja mendapatkan transfusi darah yang membuatnya merasa segar sesaat, seperti handphone yang baterainya baru di-charge, yang akan kembali menyusut seiring waktu. Berat tubuh Farrel menurun drastis sejak penyakit itu bersarang dengan liar di dalam tubuhnya. Meskipun hatinya pedih, namun Kenzie akan berusaha sekuat hati untuk tersenyum, menghilangkan ruang hampa di dalam hatinya demi melihat Farrel bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenzie, Jangan Menangis
Storie d'amoreDISCLAIMER !!! Tidak ada adegan sexual dicerita ini, ini pure drama karena Author belakangan ini sedikit down dengan beberapa masalah yang hadir. Bawaannya overthingking dan mellow akhirnya kepikiran aja buat cerita ini. "Kamu tahu Ken, kenapa aku n...