PROLOG

232 34 3
                                    

Keempat kaki kecil berlari ketakuan melewati gang sempit dan gelap. Kucing tersebut menabrak tembok kasar di depan membuat sebagian wajahnya terluka. Telinga kecilnya mendengar langkah kaki lain di belakang, ia berbalik melihat tubuh manusia menjulang tinggi menggunakan pakaian serba hitam. Kilatan benda tajam yang digenggamnya memantulkan cahaya bulan.

"Jalan buntu ya?"

Suara berat itu membuat si kucing bergetar ketakutan. Ia mengeong kencang berharap ada yang menolongnya. Namun sayang, gang ini jauh dari pemukiman warga. Kucing itu mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri, tapi pergerakan manusia tersebut sangat cepat membuat badan berbulu putih itu sudah ada digenggaman dengan sebilah pisau.

"Sini papa bantu kamu nyusul teman-teman yang lain. Gak sakit kok, hahahaha!"

"Miaaaw." Mata kecil berwarna biru itu melebar kala mata pisau siap menghujam tubuh mungilnya.

JLEB!

~0~

"Anjing!"

"Miaaaw!"

Seorang gadis terjengkal ke belakangan setelah melihat potongan kejadian masa lalu dari kucing yang kini menatapnya. Gadis itu bergidik ngeri dicampur bingung. Selama ini ia hanya bisa melihat masa lalu manusia pada umumnya, tapi momen aneh justru terjadi kala ia menatap mata kucing yang tengah kesakitan itu.

"Oh sorry, iya iya gue tahu lo kucing bukan anjing." Gadis itu memutar bola mata malas melihat kucing yang sepertinya kesal karena ia menyebut umpatan tadi.

"Finola, ngapain lo di situ?" 

Muncul gadis lain membuat gadis yang disebut Finola itu berbalik. Menggunakan almamater yang sama, jelas itu teman Finola yang baru saja menyelesaikan jadwal kelas.

"Elis, liat deh." Finola menunjuk ke arah kucing yang lemas tak berdaya di atas rumput.

"Astaga, Finola. Lo apain ini kucing?!" Mata Elisa membulat dan mendekati kucing malang itu.

"Ini kucing gue temuin juga udah kayak gini. Coba lo periksa, kasihan dia kesakitan gitu."

Kebetulan sekali Elisa adalah mahasiswa jurusan kedokteran, mungkin saja temannya itu bisa menolong.

"Miaaaw."

Suara kucing itu sangat lirih membuat Elisa ingin menangis. Setelah Elisa cek, ada luka tusukan dangkal di sekitar perut, darah masih mengalir dari sumber luka.

"Gimana?" tanya Finola.

"Kita bawa ke rumah sakit hewan dulu, darahnya terus ngalir. Gue takut kalau dibiarin kelamaan dia malah mati kehabisan darah," jawab Elisa. 

Finola mengangguk setuju. "Ya udah ayo."

"Tapi, Fin. Gue masih ada kelas jam 2 nanti, lo aja yang bawa ya," kata Elisa seraya menyengir tanpa dosa membuat Finola memutar bola mata malas. Finola pikir Elisa sudah benar-benar pulang, nyatanya masih ada jadwal.

"Sialan!" umpat Finola. 

Mau tak mau Finola harus membawa kucing itu ke rumah sakit hewan sendirian, ia juga tak mungkin memaksa Elisa untuk menemaninya dikarenakan ada jadwal kelas yang harus diikuti.

CAT CURSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang