34. Argabia, Remedy, Bet On Me

93 16 0
                                    

Suara pintu terbuka tidak membiarkan seorang laki-laki itu berpaling dari secangkir kopinya, tentu saja dia tahu kalau adiknya yang masuk ke sini.

"You look better today," suara Theo menginterupsi—sebuah kebiasaannya, ketika Sena sedang duduk seperti biasanya menghadap ke jendela besar yang memperlihatkan kusutnya ibu kota saat ini. Tepat beberapa jam serta berganti hari setelah kepulangannya untuk menemui putra keduanya, Sena justru menyesap kopinya dengan tenang.

Hanya lirikan yang ia berikan pada Theo, "You must be having a lot of talks with my son." Sahut santai dari Sena tanpa menghiraukan kalimat Theo tadi.

"Ya cuma ngobrol dikit di telepon." Jawab Theo masih tenang meskipun agak terkejut, karena bagaimana kakaknya ini bisa tahu kalau Theo mencoba menghubungi Changbin.

"I've taken care of Wondi, my apologies." Ujar Theo masih merasa bersalah, Sena hanya menghela nafas panjang dan berat.

"I've been taking care of it too, sekaligus ngurus orang-orang yang bikin artikel jelek tentang Leo dan kita."

Kita, maksudnya keluarga yang namanya udah tercoreng.

"Moving on, ngomong-ngomong, gue mau minta tolong sama lo buat cari siapa anak itu." Ujar Sena mengubah topik karena sedang tidak mood membahas Wondi, "Gue kepikiran sampe sekarang, karena Wira gak pernah bales pesan gue meskipun gue udah telpon kantornya."

"Nanti gue bantu." Balas Theo dengan informal karena kakaknya juga melakukan hal yang sama, tanda tidak masalah untuk melakukan hal serupa. Ia melangkahkan kakinya ke dalam ruang kerja Sena sampai akhirnya ia duduk di sebuah sofa dengan warna kulit hitam di dekat meja sang kakak, masih memperhatikannya dari jauh. Seolah menunggu sesuatu keluar dari mulutnya yang masih terkunci rapat.

"Do you think Leo will forgive me?" Celetuk Sena tiba-tiba.

"I don't know, he is your son after all." Theo mengedikkan bahu, hanya kekehan kecil yang dapat diberikan oleh Sena.

"Setuju," Sena sedikit menelan rasa kepahitan itu sendiri.

"Tapi.." Potong Theo seolah tahu apa yang dirasakan kakaknya itu, "Gue yakin, apa yang gak bisa dimaafin udah bisa dia tutup rapat-rapat di belakang karena lo dateng kemaren." Ada jeda sejenak menyeruak di antara obrolan mereka.

"Sayang lo gak bisa gitu juga ke Cakra," Theo membuat Sena menoleh seketika, memberikan ekspresi dongkol, "But, bet you will do the same once he get home sooner or later."

Kemudian hening panjang lagi.

"Felix bilang, Leo gak pernah bisa tidur nyenyak selama ini." Celetuk Sena ingat cerita di telpon saat itu. Membayangkan itu saja Sena tidak sanggup, perasaan bersalah itu datang lagi seperti hujan.

Sena melanjutkan, "Jadi, gue pikir.. apa dengan kedatangan gue kemarin bisa membantunya sedikit untuk bisa tidur nyenyak.." Kepadatan ibu kota di hadapan Sena mengganggunya, sama seperti isi kepalanya yang padat.

"That's very thoughtful of you." Theo mengangguk-angguk, mengingat masa kecilnya dengan Sena sebelum kembali berujar, "Tenang aja, gue yakin sekarang dia udah bisa tidur lebih nyenyak lagi daripada sebelumnya. Meskipun lo juga tahu dia bakal lebih milih gak tidur."

Sena mengernyitkan alisnya dalam, "Maksudnya?"

"Yah, gak semua orang yang bekerja keras bisa tidur nyenyak kan?" Mata Theo memindai seluruh ruangan milik Sena, sebuah bukti kecil dari banyaknya kerja keras kakaknya selama ini.

Kali ini Sena menelan ludahnya ketika mendengar perkataan adiknya lagi, "Soalnya Leo itu pekerja keras, Sen." Mata tegas Theo menatapnya dalam seakan berbicara semua akan baik-baik aja.

Palette [Changlix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang