"Azam...."Aku tersentak dan membuka mata kala suara merdu milik istri ku mengalun diiringi Isakan pilu. Ada apa dengan Asmara-ku? Dia mencari-cari ku, apa dia ketakutan lagi?
Dengan segara aku berdiri, meskipun belum sempat mengumpulkan nyawa, tapi yang terpenting aku harus memastikan keadaan istriku dahulu.
Aku berjalan menuju ke arah tangga, tapi langkah ku terhenti. Sosok yang aku cari tengah berdiri di depan meja televisi, sembari bertumpu pada sisi meja dan menjambak rambutnya sendiri. Bahunya bergetar. Isakan nya dapat lebih jelas ku dengar. Asmara-ku... menangis kah kamu?
"Asmara...." panggil ku pelan tanpa berani menghampiri.
Isakan itu berhenti. Dia berbalik, hingga dapat ku lihat wajah sembab nya dengan mata yang basah dan bibir bergetar. Asmara-ku benar-benar menangis. Tanpa aba-aba, Asmara berlari ke arah ku dan memeluk diri ini. Hampir-hampir membuat ku limbung, namun untungnya masih bisa ku tahan.
Aku terkejut karena Asmara mendekap tubuh ku begitu erat, seolah takut kehilangan. Aku balas pelukan itu tak kalah erat. Hatiku cemas merasakan tubuh dalam dekapan ku ini bergetar hebat, sebab tangisnya kian kuat.
"Ada apa, sayang? Kenapa kamu menangis?" tanya ku kebingungan.
"Kamu kemana? Aku mencari mu, tapi kamu tidak ada dimana-mana. Aku takut, Zam..." keluh Asmara di sela tangis nya
"Aku tertidur di sofa semalaman. Maaf aku tidak menemani mu tadi malam, karena takut mengganggu istirahat mu. Takut membuat mu marah lagi," terang ku padanya.
Entah kenapa Asmara malah semakin sesenggukan. Sehingga membuat tanda tanya di kepala ku semakin mengambang tanpa kejelasan.
Asmara membenamkan wajah nya di pundak ku semakin dalam. Isakan nya begitu lirih terdengar. "Maafkan aku, Zam. Aku terbawa emosi tadi malam, maaf...."
Ah, kini aku paham. Oh tuhan, dia sedang di liputi rasa bersalah rupanya. Asmara-ku, kamu begitu lugu, sayang.
"Aku tak marah, sayang. Sungguh, aku tidak marah lagi." Ku usap lembut surai halus istriku untuk menenangkan tangisnya, lalu ku cium pipinya yang berlinangan air mata. Berharap sapuan bibirku bisa menghapus jejak air mata disana.
"Berjanjilah padaku. Jangan pernah berkata begitu lagi, ya?" pintaku pula. Aku rasakan anggukan kepala nya di pundak ku begitu kuat, seolah bersedia memegang sumpah setia kami.
"Aku janji. Aku tidak akan berkata begitu lagi, aku tidak mau berpisah dengan mu." Asmara mengeratkan pelukannya pada ku, seperti nya dia benar-benar ketakutan. Kasihan Asmara-ku.
Aku pun menyandarkan kepala ku di pundaknya sambil menghirup aroma wangi dari istriku.
"Aku mencintaimu, Asmara-ku. Aku sangat mencintaimu," bisik ku dengan begitu tulus dan serius.
Ku tangkup wajah cantik itu demi menyelami mata indah yang aku puja. Sayangnya, mata itu kini basah dengan air mata. Ku hapus jejak air mata di pipi seputih kapas milik Asmara. "Jangan menangis lagi, sayang. Aku tidak akan pergi, aku tak akan kemana-mana."
Lagi-lagi bukannya berhenti. Tangis Asmara terulang kembali, dia sedu-sedan dan kembali mendekap erat tubuhku. Menenggelamkan diri di dadaku untuk menumpahkan air mata disana. Aku menghela nafas sembari tersenyum ikhlas, tampaknya Asmara tau apa yang berlaku padaku semalam suntuk.
Aku pun tak menampik itu, karena mau di tutupi bagaimanapun juga pasti akan ketahuan olehnya. Asmara-ku sangat cerdas secara emosional dan sangat peka. Sehingga dia begitu merasa berdosa dan menangis sepanjang pagi di dadaku.
Cukup kewalahan menenangkan nya, tapi kemudian aku bisa menepis segala kesedihan Asmara dengan lantunan bait lagu penuh rayu, serta canda ria. Hanya dengan cara itu Asmara ku bisa tertawa, walaupun dia sempat mengejekku karena terlalu melankolis. Aku tak mengapa, asalkan Asmara-ku tidak menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓
RomansaAku umumkan pada dunia, bahwa kisah ini tentang mereka yang mengikat cinta dengan sebuah ikatan suci di depan tuhan. Sayang, tuhan pulalah yang menarik raga salah satunya, hingga yang tersisa hanya secercah cinta dalam genggaman. Cinta yang akan men...