*Antara Ada dan Tiada*

18 0 0
                                    

Sebagian energi yang tersisa telah kukerahkan untuk dapat menahan kepala dari posisinya tapi keadaan saat ini tidak berbaik hati kepada tubuhku. Rangkaian tubuhku meringis tidak berdaya di sudut ruangan di antara deretan sofa panjang dengan cover berwarna abu-abu yang usang. Seribu pisau telah merajam tubuhku dan membiarkan darahnya mengalir ke seluruh penjuru bumi. Hingga tinggallah tulang-belulang dengan nyawa menyatukan rangkaiannya.

Sebuah eksistensi.

Tidaklah penting.

Sendirian.

Bahkan jika nyawa itu melepaskan diri dari rangkaian tubuh yang terkulai, saat ini tidak akan ada yang bakalan peduli. Polisi tidak akan mencari. Tidak ada berita kehilangan. Tidak satupun tangis menyesali kepergian. Pada dasarnya tubuh ini hanya milik diriku sendiri. Bukan milik siapa-siapa.

Perlahan, aku mulai melepasakan rasa kepemilikan pada tubuh ini dengan memberi ruang pada rasa sakit seluas-luasnya. Aku siap untuk melepas nyawaku. Dimana dia biasanya melepaskan diri? Di ujung kaki? Atau di atas ubun-ubun? Aku menunggu saat itu tenang dan siap menyambut kedatangan malaikat (terserah malaikat yang mana) dengan jubah yang berkelebat membutakan padangan.

"Jika ini adalah akhirku, Aku menyerah!"

Segala hiruk pikuk dunia tidak penting bagiku sekarang, kerjaan, anak-anak seperjuangan, kerabat entah kerabat yang mana dan semuanya, apalah arti itu semua dibandingkan rasa sakit yang merajam tubuhku saat ini. Rasa gigil yang tidak mampu kulawan. Ketika seluruh pertahanan yang tidak juga mampu membalikkan keadaan, apakah ada jalan lain selain menyerah?

"Siapakah yang peduli? tidak ada" gumanku lirih.

Ah sudahlah, kubiarkan gelap membungkus mata dan rela meninggalkan apapun yang terjadi saat ini. Detik-detik berlalu dan rasa sakit gigil menyatu bagai jutaan jarum menusuk pori-pori. Pasrah Tuhan.

Perlahan-lahan, seketika tenaga kembali lagi bagaikan arus listrik yang menghangatkan rangkaian tubuh ini sekejap memberikan kekuatan. Seperti inikah jalan Tuhan? dengan sekejap penuh cara yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia. Aku mengikuti perjalanan rasa dingin kemudian hangat menghantarkan ke seluruh penjuru kulit. Aku berpikir "apakah aku mati?" Seperti apa rasanya? Bagaimana aku akan keluar dari tubuhku dan melihat postur tubuhku yang tergeletak bagaikan seonggok batang pisang? Dingin tak berguna. Melayang dan memandang iba pada tubuhku yang ringkih, sendiri dan kosong, tidak ada apa-apa atau siapa-siapa, hatimu kebas tidak ada rasa. Ya, mati rasa. Mungkin hanya aku yang menangisi tubuhku sendiri di pemakaman.

Apakah memang hidup kadang-kadang melakukan tugasnya sendiri sehingga kita tidak punya pilihan-pilihan? Mengharapkan sesuatu yang belum terang sama sekali sama saja berenang di lautan pasir. Menyakitkan.

Apakah cinta selalu membutuhkan kesepakatan? Benarkah cinta membutuhkan kata-kata sebagai media kelahiran? Para sastrawan sering mengatakan bahwa cinta hanya perlu dimengerti dan dimaknai. Mungkin sebaris pernyataan malah terlalu basi. Sebab cinta yang lahir dari sikap kadang mampu melahirkan jutaan kata-kata tak berhuruf. Justru cinta jauh terasa lebih bermakna daripada sekadar sebari kalimat. Cinta begitu kentara dan nyata.

Kadang-kadang hidup ini terasa aneh.

Tiba-tiba aku ingin memandangi langit. Jika warna birunya dihiasi kristal-kristal putih berbentuk rangkaian gugusan melati, pasti tidak ada hal lain yang mampu mengalahkan keindahannya. Kurebahkan tubuhku di atas rerumputan. Matahari begitu ramah di sore ini. Ya, langit ternyata masih biru, awan-awannya pun masih putih dengan gugusannya yang menyerupai rangkaian melati.

Langit selalu indah meskipun dari abad ke abad. Dia tidak pernah berubah bentuk. Langit sesungguhnya tidak pernah ada. Manusia menamainya karena keterbatasan mata untuk mencapai jarak tertentu. Warna biru itu sesungguhnya kosong belaka dan dengan keterbatasannya, manusia akhirnya menamainya langit.

Sambil berdiam diri memandang menatap langit yang kosong. Berdiam diri melepas jiwa sejauh mata mampu menangkap keadaan. Ah, sunyi yang sangat menentramkan. Hanya terdengar suara desir angin dan degup jantung yang perlahan hingga senja mengusir aku dari tempat itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 05, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The SoulsWhere stories live. Discover now