Sebuah kotak rokok tergeletak di atas meja. Hendak aku raih benda itu, namun gerakan tangan ku terhenti melihat ada sepucuk surat di samping kotak rokok itu.Surat keterangan dokter tentang diagnosa penyakit ku, tercantum di sana aku mengidap Kanker paru-paru. Sehingga terpaksa aku harus menahan diri untuk tidak menyentuh gulungan tembakau itu lagi.
Untuk menghindari khilaf dan kecurangan, segera aku raih kotak yang masih berisi beberapa batang itu lalu aku buang ke jendela luar. Sembari menghela nafas panjang, aku sandarkan tubuh ku ke kursi yang kini aku duduki.
Pikiranku melayang jauh ke Negeri Tevaga dimana istriku berada. Kerinduan kembali mendera hati ini. Meskipun baru dua hari kami terpisah jarak, tapi rasanya satu menit saja aku tak bersua dengan nya hati ini sudah menggebu mengatakan rindu.
Oh, Asmara. Pikat mu sungguh candu bagiku.
Sialnya lagi, satu resah menggerogoti Sukma ku, manakala ingatan terpaku pada kenyataan yang cukup pilu. Tak lain tentang penyakit ku ini. Tuhan, setiap mengingat itu membuat ku merasa berdosa pada Asmaraku. Apalagi jika dia tau bahwa aku membawa dirinya dalam hidup ku yang singkat ini hanya demi kebahagiaan sesaat.
Betapa kejamnya diriku menjebak wanita yang aku cinta dengan garis takdir nestapa, tapi tuhan.... Aku juga ingin bahagia. Boleh bukan? tapi aku jahat pada Asmara, karena-
Aku tersentak, saat ponsel ku tiba-tiba berbunyi. Segera aku raih benda panjang yang tergeletak di atas meja dan melihat panggilan dari siapa itu. Senyuman di wajah ku terukir kala melihat nama yang tertera disana, itu panggilan rindu dari Asmara-ku seperti nya.
Segera aku raih telpon tersebut. Ku tarik antena dari ujungnya, lalu ku tempelkan ke telinga dengan senyuman bahagia. "Panggilan yang anda tuju sedang merindukan anda, jadi bisakah kita bertemu?"
Terdengar tawa indah dari negeri seberang sana, aku pun tersenyum mendengar itu.
"Harusnya aku yang berkata begitu," ucap Asmara.
"Oh, benarkah? Coba, bagaimana? Aku mau dengar," timpal ku memancing nya.
"Aku rindu suami ku, kapan ya bisa bertemu?" ucapnya begitu mendayu.
Aku terkekeh mendengar kalimat nya. "Kapan ya?" godaku dengan nada jail.
"Aku ingin tidur di pelukan mu malam ini..." rengek Asmara.
Bisa ku tebak saat ini dia pasti tengah cemberut lesu. Menunduk dengan wajah memelas menahan rindu. Betapa menggemaskannya Asmaraku.
"Alright, suamimu akan datang malam ini. Tunggu ya, sayang?" ucapku yang terlanjur luluh dengan rengekan lucunya itu.
"Benar ya, Zam?" tagihnya pula.
"Benar, sayangku. Aku akan datang dan memeluk mu, karena malam ini akan menjadi milik kita." Aku tersenyum membayangkan wajah gembira Asmara menyambut kepulangan ku nanti.
Bisa aku tebak lagi. Saat ini dia pasti tersenyum gembira hingga mata indahnya itu melengkung membentuk bulan sabit. Walaupun mata itu tak jauh berbeda dengan mataku, tapi bagiku mata Asmara begitu indah, lebih indah dari apapun.
"Terimakasih, sayang. Aku tunggu kamu di rumah. Aku tidak sabar ingin memeluk kamu," ujarnya pula.
"Iya, Asmara-ku. Aku akan segera berlari ke pelukan mu," balas ku pula.
Aku dengar dia terkekeh di seberang sana. "Kamu sudah makan?" tanyanya pula.
"Sudah, sayang. Kamu sudah?" balas ku pula.
"Aku nanti saja, masih kenyang."
Aku mengernyitkan kening mendengar jawaban Asmara, ini sudah pukul setengah dua siang. Bagaimana bisa dia belum makan juga?
"Kenapa belum, Mara? Ini sudah lewat waktunya," kataku memprotes.
"Aku tidak lapar, Zam," alibinya.
"Tidak lapa atau tidak nafsu makan?" tebakku yang paham akan kebiasaan istriku itu. Jika suasana hati nya sedang kacau, maka jadwal makannya juga akan berantakan.
"Entahlah. Mungkin keduanya," balas Asmara terdengar lemah.
Aku menarik nafas panjang sambil tersenyum tipis menarik satu sudut bibir ku. "Kenapa, istriku...? Kamu lelah? Atau ada yang menganggu hati dan pikiran mu?"
"Tidak ada, Zam.... Aku hanya-" Ku dengar dia menghela nafas berat diseberang sana.
"Hanya apa?" tanya ku sebab Asmara menggantungkan kalimatnya.
Terdengar pula suara tawa hambar tanpa hasrat dari sana. "Aku hanya merindukan mu. Cepat lah datang, sayang."
Lagi lagi aku di buat tersipu oleh kalimat rindu dari istriku itu. Ku tutup wajah ku dengan satu telapak tangan, menormalkan semburat merah yang menjalar. Asmara-ku selalu bisa membuatku tersipu.
"Baiklah. Aku akan terbang sekarang Asmara-ku, tapi ada syaratnya," kataku.
"Apa syaratnya?" tanya Asmara.
"Kamu harus makan dulu ya?" pinta ku padanya.
Asmara menghela nafas lagi. Mungkin dia sedikit terpaksa, tapi istriku tetap ingin aku kembali ke pelukan nya. "Baiklah, aku akan makan."
Aku tersenyum puas mendengar keputusan nya itu. "Makan yang banyak, sayang. Biar kamu tetap sehat."
"Iya.... Cepatlah pulang, Zam. Aku semakin rindu setelah mendengar suaramu," katanya pula mendesak ku.
"Ahahaha... iya, sayang. Aku pulang sekarang," balasku sambil tertawa malu.
"Oke. Aku tutup, ya? Sampai jumpa Azam-ku," ucapnya menutup pembicaraan kami.
Tak bisa aku tahan rasa bahagia yang membludak dalam dada mendengar panggilannya barusan. "Iya. Sampai jumpa istri ku, sayang."
Panggilan suara kami terputus sebab Asmara lebih dahulu menutup nya. Aku rasa dia sudah tidak bisa menahan gejolak renjana yang memenuhi rongga dada kala kami bersua. Tanpa menunggu waktu lama lagi aku segera berdiri dan mengambil tas ku di kamar. Bersiap berangkat menuju bandara setelah menyuruh manager ku mencarikan tiket secepatnya untuk terbang ke Tevaga.
Asmara-ku, aku akan segera datang padamu.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓
RomantikAku umumkan pada dunia, bahwa kisah ini tentang mereka yang mengikat cinta dengan sebuah ikatan suci di depan tuhan. Sayang, tuhan pulalah yang menarik raga salah satunya, hingga yang tersisa hanya secercah cinta dalam genggaman. Cinta yang akan men...