Bab 4

171 37 0
                                    

Matanya mengerjap dan hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit berwarna putih. Sepertinya masih di ruang yang sama.

Beranjak dan merubah posisi nya menjadi duduk. Matanya menyesuaikan cahaya jingga yang memenuhi ruangan.

Duri masih memproses apa yang ia ingat. Terakhir kali, ia menangis lagi dan kemudian tertidur tanpa sadar di sofa.

Mengedarkan pandangan ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan dibalik kaca dan gorden yang tertiup angin. Perasaan nostalgia segera membanjiri pikirannya.

"Sudah sore? Jadi aku benar-benar tidak mengikuti pelajaran seharian ini," gumamnya dengan menatap kosong ke arah luar.

Angin sepoi-sepoi terasa melewati kulit nya dan menerbangkan anak-anak rambutnya.

Hanya terdiam sembari memutar memori masa lampau yang paling diingatnya. Membuyarkan lamunannya ia segera keluar dari ruang UKS tapi sebelum itu, Duri mencari obat di laci dan menemukan yang ia cari.

Tidur sama sekali bukan pilihan terbaik untuk meredakan sakit kepala atau pun menghilangkan pikirannya yang sedang kacau.

Entah karena salah memilih posisi tidur atau sedang banyak pikiran, sakit kepalanya masih bertahan sampai ia bangun.

Beruntung setelah meminum obat dan beberapa menit kemudian sudah terasa ringan.

Langkah kakinya bergema di lorong, menyisakan keheningan nyata dengan beberapa kelas kosong yang masih dihuni oleh beberapa anggota OSIS, atau murid yang tinggal sedang bercengkrama.

Teringat akan Halilintar, Duri menghentikan langkahnya dan merogoh kantong seragamnya. Menggulir aplikasi dan menemukan beberapa pesan dari kakaknya.

Kembali mengantongi ponselnya, ia berjalan dengan pikiran kemana-mana. Benar-benar hanya ditemani cahaya senja berpendar melalui jendela kelas kosong maupun di koridor.

Terlalu tenggelam dalam pikirannya sampai tidak sadar ada orang yang berjalan di depannya dengan membawa setumpuk kertas yang aku tidak tahu apa itu, alhasil mereka bertabrakan (seperti kebanyakan adegan).

Semua kertas berakhir berserakan dilantai dan keduanya mengaduh sambil mengelus bagian tubuh yang bertabrakan langsung dengan lantai.

Panik, Duri langsung bangkit dan mengumpulkan apa yang ditangkap matanya dan memberikannya dengan menunduk sembari meminta maaf.

"Maaf kak, nih!" katanya sembari menyodorkan setumpuk kertas pada orang yang ditabraknya.

Sedangkan orang yang ia tabrak hanya memasang wajah bingung dan menggaruk kepalanya.

"Sama-sama?"

Tak butuh respon lanjutan remaja di depannya mengambil alih tumpukan kertas. Beranjak dari duduknya dan terjadilah keheningan selama beberapa saat. Kemudian, di pecah oleh seseorang yang memanggil remaja itu dari balik pintu ruang OSIS.

"Arvin, mana berkasnya eh- kenapa kalian?" tanya seorang siswa.

Ia memiliki iris mata berwarna emas. Tengah memandang keduanya dengan heran.

Sontak saja hal itu membuat keduanya menggeleng spontan dan siswa yang dipanggil Arvin langsung masuk ke sana sembari mengucapkan permisi padanya.

Duri yang diam mematung merasa penasaran memberanikan dirinya memasuki ruangan setelah meminta izin masuk.

Langkah kakinya menjejaki ruangan OSIS. Dan hal pertama yang menjambutnya adalah berkas dokumen yang berserakan meskipun berjejer rapi di meja.

Duri bukanlah orang yang pandai dalam hal ini, ia tidaklah mengerti tentang hal-hal berbau organisasi atau pun klub karena tidak terlalu berminat mengikuti.

Silent Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang