Prolog

86 29 81
                                    

🍀🍀🍁🍀🍀

"Ini pesanannya, satu almond hangat dan satu mocktail melon."

"Terima kasih."

Pelayan itu pergi setelah melakukan tugasnya, dua orang sedang duduk berhadapan di bawah sebuah payung besar ciri khas cafe pinggir pantai. Mereka sama-sama tidak tahu akan ada waktu seperti ini, rasanya begitu canggung dan tentu saja keduanya tidak mengerti harus memulai dari mana.

"Emang nggak dingin malem-malem minum mocktail?" tanya perempuan yang sejak tadi sibuk membenahi anak rambutnya yang tertiup angin.

"Nggak, justru kalau lagi di luar biasanya emang butuh minuman dingin. Lo pesan itu, kayak tuan putri udah mau tidur. Jangan lupa cuci tangan dan kaki, ya."

Keduanya tertawa, pertukaran ramah pertama kali yang berhasil lelaki itu ciptakan. Dia mengajak perempuan ini keluar setelah sedikit banyak mendapat informasi dari teman kecil sekaligus tetangganya.

"Nara bilang ... lo mau bicarain sesuatu," ujar lelaki itu.

"Hah? Nggak kebalik, ya? Bukannya lo yang mau ngomong? Kan lo duluan yang ngajak ketemu."

"Dari kapan?"

Pertanyaan itu membuat jemari yang tadinya sibuk bermain di sekitar gelas seketika terhenti, kelopaknya terangkat dan menatap obsidian milik lelaki yang tengah berada di hadapannya.

"Apanya?" tanya balik perempuan itu dengan setengah gugup.

Tidak lucu tertangkap basah menyukai seseorang sejak lama, tapi dia sama sekali tak memiliki usaha. Bukan. Dia bukan tidak ingin berusaha, hanya saja begitu banyak pemikiran yang berhasil membuatnya mundur sebelum berjuang.

"Lo suka sama gue."

Napasnya tercekat, perempuan itu tidak menduga jika tebakan sahabatnya akan persis seperti apa yang dia alami sekarang. Bukan pernyataan cinta atau kalimat to the point yang lelaki ini sampaikan, tapi sebuah pertanyaan yang mungkin ia sendiri belum yakin akan jawabannya.

"Lo yakin mau ketemu sama dia beneran?" tanya Hasa.

"Iya lah, makanya gue siap-siap ini, 'kan," sahut perempuan yang masih sibuk dengan rambutnya. "Gue gerai atau iket aja? Di luar dingin nggak, sih? Gue biarin ini aja kali, ya?"

"Serah lo." Hasa tampak malas menanggapi.

Melihat sahabatnya sangat antusias, ia cukup heran karena lelaki yang beberapa waktu belakangan ini mereka bicarakan tiba-tiba saja muncul tanpa diundang.

"Lo ngga nembak dia duluan, 'kan, Len?" Hasa memicingkan mata, menatap sahabatnya yang masih fokus di depan cermin.

Bahu perempuan itu turun, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah logika Hasa bekerja.

"Kalau gue bisa, udah dari lama gue tembak dia duluan, Sa."

"Trus, lo nggak curiga gitu kenapa dia ngajakin ketemu?"

"Entah!"

"Trus ntar kalo dia nanya sejak kapan lo suka dan kenapa, gimana ngejawabnya?"

Perempuan itu tampak menggigit bibir, dia sendiri tidak berpikir sejauh itu. Sejak tadi euforianya hanya sekadar bertemu dan keluar bersama lelaki yang selama ini hanya bisa dilihatnya dari jauh.

"Nggak mungkin, Sa. Masa' baru pertama jalan udah gitu pertanyaannya," ujarnya berusaha mengelak.

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, Alinea. Lo harus nyiapin semua sebelum bener kejadian."

Benar saja apa yang dikatakan Hasa, lelaki ini rupanya sudah mengetahui perasaannya. Ia pikir akan ada penjelasan dari lelaki yang selama ini hanya dipantaunya melalui sosial media tentang perasaan mereka, baik itu sama ataupun berbeda pada akhirnya.

"Nara ngomongin apa aja sama lo?"

Alih-alih menjawab, perempuan itu balik bertanya mengenai sumber alasan sang lelaki mengajaknya bertemu. Ia tahu, curhatan tengah malam dengan mantan rekan sekelasnya itu sedikit banyak pasti sudah sampai. Hanya saja, perempuan ini ingin mendengar sejauh mana sang lelaki mendapat informasi tentang dirinya.

"Gue cuma disuruh maju, karena gue punya perasaan dan tujuan ke lo selama ini."

"Hah?"

"Iya, gue suka sama lo. Makanya gue cuma mau cari tahu, perasaan siapa duluan yang pertama jatuh."

Perempuan itu terpaku, bohong jika ia tidak senang dan ingin loncat kegirangan setelah mendengar pengakuan itu. Namun, ia berusaha menjaga sikap, hal yang paling dikhawatirkan tentu saja ia tidak ingin lelaki ini ilfeel.

"Gue suka sama lo dari lama, cuma nggak berani aja ngomongnya."

"Kenapa?"

"Gue takut nggak masuk standar kriteria lo, nggak lucu dong kalau gue maju ternyata ditolak."

Standar gue tinggi karena valuenya lo selama ini, batin perempuan yang mulai meraih gelas hangat miliknya.

°°°••°°°

A Piece of StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang