28 | The Hardest Fact

793 102 20
                                    

Sesuai janji, aku mengantarkan Build ke kampus. Sudah biasa bagiku ketika beberapa mahasiswa dari fakultas kedokteran menatapku dan Build. Yah, as usual—selalu ingin tahu apa yang orang lain lakukan di depan gedung fakultas kedokteran, padahal aku dan Build hanya berbincang kecil—berciuman sebentar sebelum berpisah.

Build mengusap bibirku, "Okay, aku masuk dulu."

Aku mengangguk, melambaikan tangan pada Build yang berlari menaiki anak tangga, Build sesekali menoleh sambil melambaikan tangan lagi, lalu—menghilang dari pintu besar berwarna coklat.

Karena jadwalku kosong, aku memilih untuk pergi ke swalayan. Membeli beberapa bahan makanan untuk makan malamku dan Build, atau mungkin langsung membeli untuk dua hari ke depan. Aku berpikir untuk menunjukkan skil memasakku pada Build. Agar dia terkesan—memiliki kekasih hebat sepertiku.

Sesekali melihat layar ponsel, mencari bahan apa saja yang kubutuhan untuk beberapa menu. Lumayan pusing karena sebelumnya, aku belum pernah melakukan hal ini. Banyak macam sayur-mayur yang tertata rapi di rak membuatku semakin kebingungan. Dalam keranjangku juga sudah ada dua macam sayur segar, mungkin aku perlu mencari ikan, ayam, atau cumi-cumi.

"Eh, Bible, bukan?"

Aku mendadak menoleh, menatap dua wanita secara bergantian—berharap aku mengenal salah satunya. Merasa tidak enak, aku tersenyum tipis. "Iya, Tante."

"Wahhh, benarkan!!" Wanita lebih tua bersorak riang, mendekat ke arahku dan memelukku erat. "Aku tidak salah, wajahmu mirip sekali dengan Pak Maxime, si tampan ituuu."

Sebentar, kalian ini siapa? Kenapa mengenal bajingan itu?

Aku tidak bergerak dari pelukan wanita yang mungkin berumur sekitar enam puluhan. Bibirnya tersenyum senang padaku, wanita lebih muda hanya terkekeh kecil, lalu menyadari ekspresiku yang bingung.

"Wajah Bible bingung tuh, Mama." Ucap wanita lebih muda itu, kemungkinan anaknya wanita tua karena memanggil dengan embel-embel Mama.

"Eh, masa iya?" Wanita lebih tua menghentikan aksi berlebihannya, kami menjadi pusat perhatian sekarang. Wanita di hadapanku membenarkan posisi kacamatanya. "Betulan tidak ingat?"

"Ya pasti tidak lah, kita menjadi tetangga saat Bible berumur tiga tahun. Saat aku baru masuk SMP." Wanita itu terkekeh, "Kita mengenalinya saja karena wajah Pak Maxime yang menempel padanya. Beruntung benar, tidak salah tebak."

Wanita lebih tua itu mengangguk paham, menjauhkan diri dari tubuhku dan menatap lamat-lamat. "Wah, lihat wajahnya begitu tampan,"

Aku hanya tersenyum tipis, tidak tahu apa yang harus kujawab.

Wanita itu mengetuk tanganku. "Apa seluruh tubuhmu ada lukisan juga? Seperti tanganmu?"

Aku mengangguk.

"Bagaimana kabarmu?" Wanita itu bertanya lagi, kali ini merangkul lenganku.

Aku menggaruk tengkuk, sebenarnya aku tidak nyaman ketika ada orang yang tidak kukenal dekat-dekat. Namun, saat mereka mengatakan mengenalku, aku mencoba menahannya. "Baik, Tante."

"Manisnya," aku terkinjat kaget ketika pipiku dicubit kecil oleh wanita lebih muda itu. "Dulu kita bertetangga saat di Desa, keluarga kalian baru pindah. Tidak sampai satu tahun, Pak Maxime jadi Kepala Desa dan hidup kami sebagai warga cukup sejahtera. Pokoknya keluarga kalian itu sempurna sekali lah."

Tentu aku tidak ingat cerita soal itu.

"Setelah masa jabatan Pak Maxime selesai, kalian malah pindah ke Ibu Kota. Kami kira akan mencalon gubernur. Rupanya malah membuka bisnis dan kabarnya sukses besar." Tambahnya lagi, mungkin maksudnya bisnis ilegal inikah? Aku masih senantiasa mendengarkan. "Bagaimana kabar Mamamu, sudah lama tidak berkabar."

Hilang Naluri [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang