BAB 9

249 18 1
                                    

Reders.. bentar lagi "The warm Sky" mau selesai nih..
Semoga kalian menikmati jalan ceritanya ya..
Jangan lupa vomentnya.. :D

===

"Mau makan bersama?" Tanya Rafael pada Hana yang tengah mengetik beberapa berkas. Di samping Rafael, Livia tengah berdiri sambil tersenyum hangat, meski sejujurnua perasaan Livia tidak enak karena Livia tahu persis bagaimana perasaan Hana pada Rafael.

"Oh, kalian berdua bisa pergi tanpaku. Aku masih banyak urusan." Tolak Hana sambil tersenyum kecil. Livia mengamati ekspresi Hana yang terlihat sedikit bersedih. Livia menghembuskan nafasnya perlahan, kemudian ia menarik tangan Rafael.

"Ayo pergi." Ajak Livia sambil tersenyum kearah Rafael. Rafael membalas senyuman Livia, kemudian bersama-sama mereka pergi ke kantin. Saat hendak keluar dari perusahaan, Livia berpapasan dengan Four yang tengah sibuk dengan teleponnya.

Mata mereka berdua saling bertemu, membuat darah Livia berdesir kembali. Kontak mata mereka sangat singkat, karena Four mengakhiri kontak mata mereka terlebih dahulu membuat hati Livia segera nyeri.

"Jadi, bagaimana menurutmu?" Tanya Rafel tiba-tiba membuat Livia terkejut dan segera tersadar atas lamunannya. Livia memaki dirinya karena tidak mendengarkan percakapan Rafael.

"Bagus." Komentar Livia sekenanya. Sebab sedari tadi, dirinya sama sekali tidak mendengarkan ucapan Rafael.

•°•

"Livia, kau serius mengenai hubunganmu dengan Rafael?" Tanya Hana tiba-tiba membuat Livia segera menghentikan aktifitas mengetiknya.

"Tentu." Gumam Livia dengan suaranya yang tercekat. Livia terkejut dengan suaranya sendiri, diliriknya Hana yang berekspresi sama terkejutnya dengan Livia. Livia berusaha melegakan tenggorokannya, dan mengulang kembali kalimatnya. "Tentu."

"Mungkin aku memanglah bukan Four yang dapat mengetahui kau bohong atau tidak. Tetapi tingkahmu barusan membuatku merasa
kau tengah berbohong padaku." Jelas Hana membuat Livia menghembuskan nafasnya dengan berat.

"Mengapa semua orang seakan-akan tidak suka dengan pilihanku?" Keluh Livia dengan merana, membuat Hana menatap Livia dengan iba.

"Karena kamu lebih pantas dengan Four. Kamu terlihat lebih serasi, lebih nyaman, lebih bahagia dengan Four!" Terang Hana dengan suaranya yang meninggi, mendengar ucapan Hana msmbuat air mata Livia segera menggenang. "Aku sudah mengamati hubunganmu dengan Rafael selama dua hari ini. Kau terlihat tidak bahagia." Ungkap Hana dengan suaranya yang melembut. Perlahan Hana meraih telapak tangan Livia dan meremasnya.

"Apa kau mau kehilangan Four begitu saja? Dia sangat mencintaimu Livia. Aku dapat melihatnya dengan jelas." Bujuk Hana dengan sorot matanya yang sungguh-sungguh. Membuat tangis Livia pecah kembali. Sekali lagi Livia berusaha menyelami memorinya dengan Four. Saat mereka berdua saling beradu argumen, adalah masa yang paling dirindukan oleh Livia sekarang. Bagaimana Four selalu berhasil mengajarinya dengan sabar, selalu berhasil menciptakan momen-momen indah untuknya. Hal yang selalu dapat Four lakuakan, dan tidak dapat dilakukan oleh Rafael.

"Tapi, tapi Livia. Rafael adalah pacarku dari SMA. Banyak kenangan dan janji yang tidak bisa aku ingkari." Bisik Livia membuat dahi Hana segera berkerut dalam.

"Alasanmu hanya karena Rafael adalah teman SMA mu?" Tanya Hana tidak percaya. Buru-buru Livia mengangguk meski ada kilatan amarah di hatinya.

"Hanya katamu? Itu sangat berarti!!" Seru Livia setengah berteriak.

"BERARTI!?" Teriak Hana membuat Livia menatap teman kerjanya dengan kesal. Kemudian Hana melembutkan suaranya. "Aku paham Livia, semuanya akan berarti jika orangnya tepat." Keluh Hana membuat Livia menatap Hana dengan keheranan.

"Apa maksudmu Hana. Apa kau tengah bermaksud mengatakan bahwa Rafael bukanlah pacar SMAku? Lihat saja nama dan wajah mereka sama. Matanya juga coklat pudar, semuanya cocok Hana." Terang Livia berusaha meyakinkan Hana, membuat Hana menatap Livia dengan sedih.

"Matanya menggunakan Softlens." Gumam Hana sukses membisukan Livia.

"Tapi namanya? Kemudian bentuk wajahnya?" Bela Livia kalap.

"Livia, sebenarnya kau mencari Rafael dalam sosok yang bagaimana? Rafaelmu yang masih SMA, atau Rafaelmu yang sudah lulus kuliah?" Tanya Hana dengan suaranya yang pelan, membuat Livia menatap Hana dengan tidak percaya. Entah mengapa ucapan Hana membuat Livia segera mengingat wajah Four.

"Hana, siapa nama asli Four!" Teriak Livia membuat Hana mengulum senyumnya dengan lembut.

"Nama lengkap Rafael, adalah Rafael Jordan. Dan kurasa kau tau nama lengkap Four yang asli." Gumam Hana membuat Livia membeku sesaat. 'Namanya mirip.. mirip..' Livia mengingat kembali ucapan Hana saat pertama kali Rafael bekerja di perusahaan, saat itu Livia memilih pergi meninggalkan Hana yang bergumam tidak jelas. 'Rafael mana yang kau maksud!?" Kemudian Livia mengingat Four yang marah-marah kepadanya, saat Livia mengaku akan berkencan bersama Rafael. Astaga!! Pantas saja Rafael tidak mengingat Livia, padahal Livia telah sengaja menyebutkan nama lengkapnya kepada Rafael saat di Lift.

"Sejak kapan kau tahu?" Tanya Livia kepada Hana dengan pahit. Sebab ia merasa sedih karena Four tidak memberi tahunya sama sekali.

"Sejak pertama kali Four berada di perusahaan ini. Begitu melihat namamu, Four segera meminta kepada CEO kita agar kau bekerja di bagian keuangan." Terang Hana sambil tersenyum kecil. "Aku ingat betul ekspresinya yang bahagia, dan senang saat melihat data dirimu. Dari itu, aku tahu betul bahwa Four memiliki perasaan padamu. Cintanya begitu tulus Livia." Bisik Hana dengan tatapannya yang sungguh-sungguh.

"Apa kau kira aku sedih karena kau berjalan berdampingan dengan Rafael Jordan? Tidak Livia. Aku sedih karena cinta tulus Four tidak tersampaikan. Padahal kalian berdua sangat dekat. Aku hanya tidak ingin dua orang yang saling menyukai terpisah hanya karena kebodohan mereka sendiri." Ungkap Hana membuat Livia segera memeluk Hana erat.

"Terimakasih Hana, aku mau pergi ke lantaimya Four sekarang." Bisik Livia tepat di telinga Hana.

"Tenang saja. Biar aku yang urus Rafael." Bisik Hana balik membuat Livia mengeratkan pelukannya.

"Astaga. Kau baik sekali." Pekik Livia tertahan yang segera Hana balasi dengan dorongan kecil.

"Lebih baik kau segera pergi." Usir Hana yang segera Livia patuhi. Buru-buru Livia berjalan keluar ruang kerjanya dan menuju Lift. Sebenarnya Livia sangat penasaran. Kenapa Four tidak memberi tahunya? Mengapa Four menyembunyikan identitasnya, kenapa Four tidak memberikan kabar padanya selama ini? Benak Livia terasa begitu penuh, dan dia tahu betul, hanya Rafael Andreson seoranglah yang dapat memberinya jawaban pasti.

Ting.. Lift berbunyi, Livia segera masuk dan menekan tombol 27. Di lantai 26, Lift berhenti sebentar dan CEO Livia masuk kedalam Lift. "Sore Nona Livia. Mau menemui siapa dilantai 27?" Tanya CEOnya ramah dan basa-basi. Membuat Livia tersenyum kecil, karena tidak dapat mencegah rasa bahagianya yang hampir tumpah ruah.

"Ke ruangan Pak Rafael Andreson." Jawab Livia dengan sopan. Diamatinya ekspresi CEO yang terkejut dan terlihat bingung. Atau sedih? Livia tidak tahu pasti.

"Loh, kamu tidak tahu? Pak Andreson kan sudah pergi ke Amerika." Terang CEOnya, bersamaan dengan denting Lift yang berbunyi dan pintunya yang terbuka.

"Apa?" Tanya Livia linglung.

"Pak Andreson mau fokus sama perusahaan minyaknya di Amerika. Rencananya dia akan pergi besok, tapi karena ada kerabatnya yang meninggal, Pak Andreson memutuskan untuk pulang sekarang." Jelas CEOnya membuat Livia menatap tembok di hadapannya dengan kosong. Perlahan Livia menekan tombol untuk menutup pintu lift, kemudian ditatapnya tombol-tombol di hadapannya dengan bingung, seakan ia telah kehilangan tujuan kemana dia akan pergi.

"Perasaan saya ketemu Pak Andreson tadi waktu istirahat siang." Bisik Livia masih berusaha menyangkal.

"Iya, dia baru saja pergi 1 jam yang lalu. Sekarang pasti masih di pesawat pribadinya." Jelas CEOnya kembali membuat harapan Livia pupus. Apakah masih bisa jika Livia mengejar Rafael?

"Pak," panggil Livia sambil perlahan menghadap CEOnya. "Boleh saya tanya nama perusahaannya?" Tanya Livia kemudian. Kali ini Livia telah sungguh-sungguh. Dia tidak ingin kehilangan Rafael lagi

•°•

The Warm SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang