Boss and Secretary - 47

1.5K 124 8
                                    




Nilaa menyantap makan malamnya tanpa berselera sama sekali. Seharusnya, dia tidak perlu datang ke rumah Emma. Untuk apa dia datang kalau hanya untuk dipertemukan dengan Arthur? Dia tidak mau berurusan dengan Arthur lagi. Rasa sakit hatinya begitu dalam hingga dia tampak bodoh kalau harus mengingat percintaannya dengan Arthur di mobil.

"Arthur cerita semuanya tentangmu, Nilaa." Emma tersenyum dengan bibir miring.

"Cerita apa?" Wajah Nilaa kaku seperti robot.

"Tentangmu. Kamu dan Arthur sempat dekat kan? Bahkan sempat bercinta dengan Arthur lalu tiba-tiba kamu menikah dengan Julian?"

"Emma." Arthur mencoba menegur kakaknya itu. Tapi, Emma mengabaikannya. Dia hanya membalas teguran Arthur dengan tatapan sekilas.

"Tidak apa, Nilaa. Tidak apa sungguh. Itu hal yang wajar. Apa Julian tahu seberapa dekat kamu dengan Arthur?"

Nilaa menatap tajam Emma. "Kalau Anda mengundang saya hanya untuk pertanyaan-pertanyaan sialan ini, saya beritahu kalau saya dan Arthur tidak saling menyukai. Kami hanya melakukan kesalahan. Hanya itu."

Setelah menatap tajam Emma tatapannya beralih ke Arthur. "Apa kamu begitu lemah, Arthur, sampai hal seperti ini saja kamu ceritakan pada kakakmu."

Nilaa bangkit dari kursinya dia berdiri sebentar menatap Emma. "Terima kasih atas makan malamnya, Bibi Emma." Dia meninggalkan rumah Emma dengan kekesalan yang dikulumnya. Keprotesan yang ditelannya.

***

Jasmine menelepon Nilaa kalau dia ada di depan apartemen Julian. Nilaa melangkah dengan malas saat melihat Jasmine berdiri di depan pintu apartemen. Julian belum pulang dan rasanya kaku saat harus berbicara dengan Jasmine.

"Ada apa?" tanya Nilaa dengan raut wajah dingin.

"Boleh aku masuk?" Jasmine berkata dengan hati-hati.

Saat di dalam rumah dia menceritakan semua tentang Sarah pada Nilaa berharap belas kasih kakak tirinya itu untuk membawa Sarah dari rumah Justin. "Justin itu pria berengsek. Dia sangat baik saat mommy punya uang tapi sangat jahat saat mommy tidak memiliki apa-apa."

"Pernahkah kamu berpikir kalau mungkin apa yang terjadi pada ibumu itu adalah karma?" Nilaa berkata dengan santai sebelum menyesap teh melatinya.

Jasmine menatap Nilaa. Dia ingin menyangkal perkataan Nilaa tapi dia sadar kalau dia tidak punya apa-apa. Dan Nilaa... saat ini tinggal di apartemen mewah bosnya. Membuat Jasmine makin tidak bernyali.

"Apa yang terjadi pada mom dan dad di masa lalu itu mungkin memang sudah takdir."

"Ya, aku tidak membahas soal itu, Jasmine. Tapi soal bagaimana kalian bisa berfoya-foya dengan uang hasil hutang yang harus aku lunasi. Aku bekerja keras dan berhemat sekeras mungkin agar aku bisa melunasi hutang yang terus-terusan bertambah belum dengan bunganya yang mencapai lebih dari 10%."

"Maafkan aku dan ibuku, Nilaa. Aku benar-benar ingin memperbaiki hidupku. Aku ingin bekerja dan membawa ibuku untuk tinggal di apartemenmu sampai aku punya apartemen sendiri."

"Kalau kamu yang anaknya saja tidak bisa mengajak ibumu pergi dari rumah pacarnya apalagi aku."

"Ada tamu rupanya." Julian melepaskan jaket kulit cokelatnya dan dilempar di atas sofa. Lalu dia duduk di sebelah Nilaa. Mengambil cangkir the Nilaa dari tangan istrinya dan menyesap tehnya.

Pria ini bau wine lagi.

"Ada apa?" Tanya Julian menatap Jasmine dan Nilaa secara bergantian.

"Jasmine ingin aku pergi ke rumah kekasih ibunya dan mengajak ibunya pergi dari sana." Nilaa bercerita dengan ekspresi wajah agak malas.

"Ibuku dikasari oleh Justin, Julian."

"Siapa Justin?"

"Kekasihnya. Mantan kekasihku."

"Oh ya, aku lupa." Julian mencoba mengingat-ngingat cerita Jasmine.

Justin menoleh pada Nilaa dan bertanya, "Kamu mau?"

"Jasmine yang anak kandungnya saja ditolak Sarah apalagi aku." Nilaa menunjuk dirinya dengan senyum kecil.

"Ya, mungkin kalau kamu yang datang ibuku mau pergi dari sana."

"Urusan Sarah bukan urusanku, Jasmine. Aku menampungmu karena kita masih ayah kita sama. Tapi soal Sarah, aku tidak ikut campur." Nilaa mengangkat kedua tangannya.

Julian mengangkat bahunya saat mata Jasmine melirik ke arahnya. "Ibumu sudah dewasa, Jasmine, dia pasti tahu konsekuensi punya pacar yang kasar seperti Justin."

"Dia lebih kekanak-kanakkan daripada aku."

"Ya, biarkan saja. Mau bagaimana lagi kalau dia tidak mau pergi dari rumah kekasihnya." Tangan Julian menggenggam tangan Nilaa seolah mencoba menguatkan Nilaa. Padahal yang sebenarnya butuh diberi kekuatan itu Jasmine.

***

Setelah kepergian Jasmine, Julian menatap Nilaa lekat seolah sedang mencoba memasuki dunia Nilaa yang masih belum bisa dijangkaunya.

"Apa?" Tanya Nilaa khawatir tatapan itu akan mengarah kemana-mana.

"Aku bergairah setiap melihatmu, Nilaa."

Nilaa menelan ludah. Wajahnya mulai panik. Pertama kali berhubungan dengan Julian dia tidak mengenakan pengaman. Dan saat Julian mengatakan hal yang—mungkin saja Nilaa juga tidak bisa menghindari seperti malam itu, maka di rahim Nilaa akan tumbuh janin. Nilaa belum siap dan bukan hanya itu—masalah pernikahan mereka adalah pernikahan sementara yang berakhirnya pun Nilaa tidak tahu kapan.

Lalu sekejap kemudian Julian tertawa. "Kenapa kamu panik begitu?" Tanyanya di sela derai tawanya.

Wajah Nilaa yang panik berubah kesal. "Sialan!"

"Aku rasa kita perlu merevisi kontrak kita dengan menambahkan hubungan badan dan anak." Julian mengatakannya dengan nada serius.

"Hahaha! Lucu sekali leluconmu, Julian!" Nilaa kembali tertawa hambar.

Julian tersenyum tipis. Sangat tipis seperti kulit pangsit. "Aku serius."

***

Boss and Secretary (Adult 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang