JALUR KETUJUH

18 3 0
                                    


Menyepelekan waktu itu adalah kebiasaan buruk, tapi Zea tidak melakukan itu. Yang Zea tahu bahwa Azka akan tiba sekitar pukul tujuh pagi, baru jam tujuh kurang pria itu sudah datang.

Zea yang baru bangun lalu merasa lapar tidak bisa berpikir lebih jernih, akhirnya memilih makan lebih dulu daripada mandi.

Beruntungnya, Azka mau menunggu. Tepat jam tujuh lebih tiga puluh menit. Zea membuka pintu gerbang depan kosnya.

"Maaf lama, maaf banget." Azka malah tersenyum, membuat Zea salah tingkah.

"Gak masalah, perlu di bantu angkat barang? Sepertinya kamu habis buru-buru, ya?"

Haruskah Zea jujur? Menjelaskan situasi yang seharusnya tidak boleh terjadi. "Bodoh banget gue!" batinnya mengutuk.

"Ze?"

"I-iya, Kak. Eh, maksudnya Azka. Bantu aku, mau ya?" Oke, Zea gugup. Lidahnya kelu karena Azka terus menatap dan senyum di depannya. Seluruh badan Zea lemas, tidak bisa di kontrol otaknya sendiri.

Azka melihat Zea lucu, perempuan di depannya terlihat sekali gugup. "Ya, Zea. Kan aku udah nawarin diri!"

Tidak lagi mengatakan sesuatu, Zea hanya mempersilahkan Azka masuk melalui jalur yang sama. Memang, ini kos khusus putri. Tapi beberapa dari penghuninya pernah membawa masuk pacar atau teman lelaki mereka.

Mungkin karena rumah pemilik kos yang lumayan jauh, di tambah CCTV yang hanya dipasang tanpa adanya teguran dari pemilik kos.
Zea baru hari ini membawa lelaki masuk kamarnya, kalau tidak karena satu koper dan dua kardus akan di bawanya keluar. Zea tidak akan meminta bantuan.

"Eh, maaf!" Lagi, kecerobohannya terlihat. Roti yang tadi Zea santap belum terkemas kembali. Sialnya Azka sudah melihat dari pintu kamar.

"Luas juga kamarnya, bersih pula!" Pujian yang seharusnya membuat Zea bangga. Ya, kalau tidak karena akan meninggalkan kamarnya sepuluh hari kedepan. Zea tidak akan berkemas.

"Ini yang harus di bawa?" Tunjuk Azka pada dua kardus yang tersusun di samping pintu.

Zea menatap Azka, melihat lelaki itu tidak melangkah masuk dan hanya berdiri di depan pintu. "Masuk dulu, pakai aja sepatunya!"

"Jangan dong, nanti kotor. Aku ambil aja, ya? Langsung taruh bagasi?" Zea mengangguk.

Sesak, Zea menatap pintu dimana Azka berdiri tadi. Napas Zea tidak teratur, membuatnya harus menarik napas panjang saat Azka meninggalkan dirinya sendiri.

Bahaya, jantung Zea berdegup kencang. Menenangkan diri, Zea menatap cermin kecil yang ada di meja.

"Oke, lo bisa. Tujuan lo hanya satu, bisa pulang kampung." Menyemangati diri sendiri, meski Zea tahu dia gugup di samping Azka. Tapi Zea harus bisa, agar ia tidak melewatkan berlebaran bersama keluarganya.

Tidak ingin lebih lama merenung, Zea bergegas memakai jaket dan tas selempangnya. Memakai sepatu, sambil meneliti adakah barang yang tertinggal.

Nihil, Zea membereskan sepatu dan sandal yang tadinya tersusun di depan kamarnya. Menutup pintu, Zea menguncinya rapat lalu memasukkan kunci itu ke dalam tas.

"Sini!" Zea terkejut, Azka sudah berdiri di belakangnya. Pria itu mengambil alih koper dan membawanya keluar.

Setelah memastikan pintu gerbang tertutup rapat, Zea menyusul Azka yang masih membereskan bagasi belakang mobilnya.

Zea baru menyadari, Azka berpakaian santai hari ini bukan kemeja yang terlihat rapi. Pria itu hanya mengenakan kaos pendek berwarna hitam, bawahan celana denim lalu di lengkapi sepatu. Rambutnya juga tidak segitu rapi seperti di kantor.

"Beres, ayok berangkat!"

Bukannya membantu, Zea malah melamun dan membiarkan Azka menata barang-barangnya. Tidak ingin lagi bersantai, Zea bergegas menyusul Azka masuk mobil.

"Oh iya, Ze. Aku lupa bilang semalam...." Sambil mengenakan sabuk pengaman, menjeda kalimat sama saja membuat Zea berdebar tidak karuan. "Aku rencana gak lewat tol, jadi perjalanan kira-kira lebih lama. Selain karena macet pastinya, Aku ada niatan pergi ke beberapa tempat wisata yang ada di sekitar jalur perjalanan kita."

Zea menerima ponsel yang Azka berikan padanya, ia mengamati layar dan menemukan beberapa nama tempat di beberapa daerah.

"Itu list yang aku susun semalam, kemungkinan kalau ada waktu kita bakal kunjungi semua. Itupun kalau kamu setuju. Mengingat aku gak sendiri, tentu saja aku gak akan paksa kamu buat ikuti keinginanku."

Tetapi di sini Zea merasa tidak enak, ia mengembalikan ponsel itu dan berkata, "Kenapa harus menunggu persetujuanku? Aku sudah merepotkan kamu, kalau di tambah harus melarang keinginan kamu. Jahat sekali aku."

"Bukan gitu, Ze. Perjalanan ini kan punya kita berdua. Kalau kamunya gak enjoy berwisata sama aku, buat apa aku senang-senang sendirian. Gak asik!"

Zea mendengar kalimat manis terselip di sana, Zea tersenyum lalu mengangguk. "Aku setuju, kok."

Azka berteriak senang, dia menatap Zea yang sedang tersenyum pelan. "Tambahin saja wisata yang mau kamu kunjungi!"

"Gak ada, wisata dari kamu belum pernah aku tau."

Ada beberapa wisata di catatan ponsel Azka tadi, yang terdengar asing bagi Zea. Selain karena tidak pernah merencanakan liburan, Zea lebih suka bertamasya dengan keluarganya.

Destinasi wisata Kota Malang, sudah Zea beri tanda pernah mengunjunginya. Baik yang telah lama terbuka, sampai yang baru grand opening.

Malang penuh dengan wisata, baik alam maupun bangunan uniknya. Dan Zea sebagai anak asli kelahiran kota itu, bangga mengakui Malang penuh cerita.

Dari sebelahnya, Zea bisa melihat Azka yang bersenandung sejak tadi. Mobil masih berjalan santai, jalanan pagi ini lumayan ramai dan terik. Matahari sedang bersemangat mengawali hari dengan menyapa dunia lebih kuat.

"Jangan malu-malu, Ze. Anggap saja kita udah lama berteman. Karena selama perjalanan kita akan bersama terus, biar gak canggung," pesan Azka. Lelaki itu nampak sangat senang karena Zea menyetujui rencana mendadaknya.

===BERSAMBUNG===

841

12.59 WIB, 09 Sept, 2023

PuMa

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang