9. 'Cause You're Losin' Me

1 2 0
                                    

SOMEONE YOU LOVED


Dalam kamar rawat yang tenang, hanya terdengar bunyi mesin yang monoton dan detak pelan dari alat pemantau kondisi Dylan. Silvi berdiri di sisi ranjangnya, sementara Dylan terbaring lemah, matanya setengah tertutup, tampak lelah namun waspada. Suasana yang sebelumnya diisi dengan percakapan ringan kini berubah menjadi tegang. Keheningan yang menggantung di antara mereka terasa berat, seperti ada begitu banyak hal yang belum diungkapkan.

Silvi memecah kesunyian, suaranya bergetar di antara amarah dan kesedihan. "Why, Dylan? Why did you hide it from me... from her? Bahkan dari istrimu sendiri?"

Dylan mengalihkan pandangannya, menatap jendela, menghindari tatapan Silvi. Dia tidak langsung menjawab, dan hening sesaat kembali menguasai ruangan.

"Istrimu baru tahu setelah mendengar penjelasanku di telepon. Itulah alasan kenapa dia segera menghubungi rumah sakit di Chengdu, tempat yang biasa kamu dan istrimu melakukan pemeriksaan kesehatan rutin." kata Silvi lagi dengan nada yang kaku, campuran dari rasa sakit dan kemarahan yang terpendam.

Silvi lalu mengepalkan tangannya, menahan emosi yang membuncah. "At least you should've told my brother, he would've told me too! He knows how much I-" Suaranya terhenti, terlalu berat untuk melanjutkan. Mata Silvi berkaca-kaca saat ia akhirnya berkata dengan nada lebih tenang, "How much I care about you."

Dylan menelan ludah, mencoba mencari kata-kata. Dia tahu perasaan Silvi, tapi hubungan mereka selalu dikelilingi ketidakpastian dan kebingungan. Dia menatap Silvi untuk pertama kalinya sejak percakapan dimulai, melihat kesedihan yang tak pernah ia saksikan sebelumnya di mata sahabat lamanya itu.

"Kau tahu aku tidak pernah ingin menyakitimu, kan?" ucap Dylan pelan, suaranya serak dan lemah.

Silvi tersenyum kecil, tetapi pahit. "No, but you did, Dylan. By pushing me away."

Ruangan itu tiba-tiba terasa semakin kecil, dipenuhi dengan beban masa lalu mereka. Saat itu, Dylan terjebak dalam kilasan kenangan yang membawanya kembali ke Vegas-momen ketika semuanya berubah tapi tetap tidak diucapkan.

***

Las Vegas

Waktu itu, mereka sedang berada di tengah gemerlapnya malam di Vegas. Dylan dengan gaya rambut nanasnya yang khas dan Silvi yang tampak lebih bebas dari sebelumnya. Mereka berjalan menyusuri jalanan Vegas yang sibuk, dikelilingi oleh lampu-lampu neon yang mencolok. Malam itu terasa seperti mimpi, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

"Aku kangen rambut nanasmu," ucap Silvi sambil tertawa kecil, mencoba meringankan suasana.

Dylan menoleh, bingung. "为什么?"

(为什么 {wèishénme}: What?)

Silvi tersenyum, tetapi matanya berkata lain. "I miss the pineapple hair. And I guess... I guess I only and always saw you as Dàomíng Sì, not Dylan Wang. I was obsessed with that guy you played. After all, it was just a crush, right?"

Dylan menatap Silvi dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Di balik tawa itu, ada sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih rumit. Mereka berdua tahu, momen itu bukan hanya sekadar nostalgia tentang masa lalu. Silvi mencoba menjadikan perasaan itu ringan, hanya "crush" dan kekaguman, tapi mereka berdua tahu bahwa perasaan yang pernah ada di antara mereka jauh lebih rumit.

Dylan mencoba mengatakan sesuatu, tetapi kata-katanya tak pernah keluar. Vegas menjadi tempat di mana mereka seharusnya mengakui semuanya, tapi mereka malah memilih menghindarinya. Dan sekarang, bertahun-tahun kemudian, di ruangan rumah sakit ini, segala perasaan yang terpendam itu kembali menghantui mereka.

***

Silvi menghapus air matanya dengan cepat, menolak membiarkan emosi menguasai dirinya di hadapan Dylan.

Dia yang tadinya berdiri, kini beranjak duduk di samping ranjang. "It's funny, right? We never talked about that night again. I thought we could just forget it, pretend like nothing ever happened. But we both know it wasn't just a crush."

Dylan menghela napas panjang, suaranya semakin lemah. "I didn't want to complicate things, Silvi. You meant too much to me."

"Kau selalu bilang begitu," jawab Silvi, suaranya datar. "Tapi kenyataannya, kau selalu menarik diri saat aku mencoba mendekat. Dan sekarang, kau bahkan tidak memberitahuku soal penyakit ini."

Dylan tidak menjawab, karena di dalam hati dia tahu Silvi benar. Selama ini dia terus mencoba menjaga jarak, bahkan ketika hati mereka jelas saling terkait. Sekarang, di ujung segalanya, dia tak bisa lagi menghindar.

"Aku... aku minta maaf," akhirnya Dylan berbisik.

Silvi terdiam, menatap pria yang dulu ia kenal begitu dekat namun kini terasa begitu jauh. Dia tahu bahwa ini mungkin kali terakhir mereka bisa benar-benar berbicara. Closure yang dia cari selama ini ada di depan matanya, tetapi rasanya masih ada yang belum terselesaikan.

"Sebelum semuanya berakhir, Dylan..." Silvi menarik napas dalam-dalam. "Aku hanya ingin kau tahu, I loved you. Not Dàomíng Sì, not the character, but you. And that's something I could never say until now."

Dylan memejamkan mata, seolah-olah kata-kata itu adalah beban yang terlalu berat untuk ditanggungnya. Dia lalu kembali menatap Silvi dengan begitu dalam. "I know, Silvi. I knew it all along. And I loved you too. Sincerely. Also remember that I will always cherish all the memories we have. And I will forever remember a glimpse of us."

Mereka berdua terdiam, menyadari bahwa inilah akhir dari segala ketidakpastian yang selama ini menyelimuti hubungan mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mereka berdua terdiam, menyadari bahwa inilah akhir dari segala ketidakpastian yang selama ini menyelimuti hubungan mereka.

•••




Saturday,
October 19, 2024
Xx

SOMEONE YOU LOVED : DYLAN WANG [THE SHORT FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang