Seorang gadis yang memiliki value yang acap kali membuat orang-orang kagum padanya. Bukan karena paras yang di sanjungkan, tapi katanya aku adalah warna yang memberi bahagia.
Nabila Anasera tengah menyesap matcha di tengah riuh pengunjung lain di sebuah cafe di kota Bandung. Cuaca yang cukup panas menariknya untuk duduk di sudut meja.
Matanya menatap keluar jendela tepat di sebelah kanannya. Senyuman bak bulan mencipta pesona dari ciptaan-Nya.
" Itu bukannya kak Zharfan ya, emm aku panggil aja kali ya." Monolog nya.
" Ka Zhar ". Panggil ku.
Lelaki yang di panggil itu melihatnya sembari mengulas senyum dan menghampirinya.
" Hai Nab, nyaman banget kayanya ngabisin waktu di cafe ini. "
" Iya Kak, Nab nyaman banget di sini. Kak Zhar ke sini mau ngapain ?"
" Udara Bandung kali ini cukup panas kan? Kayanya alasan aku dateng ke sini pun persis sama kaya kamu Nab. Benar kan ?"
Nabila mengangguk mengiyakan.
" Nab mau tanya kak. Salah gak kalo Nab merasa gak bisa senyaman itu buat bisa diem di rumah. Emm Nab ngerasa gak nyaman."
Zharfan mendengar suara Nabila diakhir ucapannya seperti sebuah gumaman. Nyaris tak terdengar. Zharfan mengulas senyum manis.
" Look at me Nabila Anasera, semua emosi atau perasaan yang kamu rasakan gak salah. Tapi kita harus tahu bagaimana cara kontrol emosi dan kontrol pikiran. Kamu gak salah Nab. " Zharfan mencoba menenangkan Nabila, tak lupa ia mengelus kepala Nabila yang tertutupi hijab.
Nabila merasakan dirinya merasa aman. Seorang lelaki yang tak sengaja Ia temui beberapa bulan lalu yang Ia anggap sebagai kakak itu selalu bisa menjadi telinga dan pundaknya.
____________
Nabila pulang menuju rumahnya setelah melaksanakan sholat magrib di masjid kampus. Melewati jalan Soekarno Hatta dengan hati-hati dan bergumam bersenandung bernyanyi.
" Rumah putih yang sederhana terlihat indah bak sempurna." Monolog sederhana tapi mengandung makna ini selalu Nabila ucapkan ketika sampai di rumahnya.
Baru saja memarkirkan sepeda motor Nabila sudah mendengar banyak gaduh. Menghela nafas panjang dan tersenyum adalah bentuk pertolongan pertama untuk menenangkan baginya.
" Assalamualaikum."
Satu pasang mata meliriknya sekilas. Perempuan yang di sebut Ibu itu tersenyum menyambut hangat.
" Waallaikumsallam, udah sholat Magrib belum Nab?"
" Alhamdulillah udah Bu, Nabila ke kamar ya Bu mau bersih-bersih."
Nabila melangkah menuju kamarnya. Bukan kali pertama datang ke rumah sudah di sambut gaduh. Nabila tersenyum.
________
" Nab, tolong beliin martabak manis di depan. "
Nabila menoleh ke pintu kamarnya. Mengangguk dan bergegas pergi. Menggunakan jaket malam hari ini seperti tak ada gunanya. Rasa dingin tak mempan di halau jaket bahkan tangan Nabila seperti kebas saking dinginnya.
" Mang, mau beli martabak manis yang coklat satu. "
Setelah memesan Nabila duduk di kursi sambil melihat jalanan yang ramai meskipun di tengah cuaca dingin ini.
Sayup-sayup Nabila mendengar ada orang yang tengah berbincang ada kata bahaya dan Jalan Batununggal. Nabila yang merasa identik dengan dua kata yang di sebutkan itu mengernyit heran apa yang sebenarnya di perbincangkan.
" Neng geulis kesini sendirian pake motor?." Tanya ibu-ibu yang duduk di sebelahnya.
" Iyaa Bu sendiri."
" Aduh hati-hati atuh ya Neng, barusan teh ibu liat di status wa orang ada banyak geng motor yang lagi nongkrong di daerah sana."
" Oh iya Bu, makasih ya Bu."
Geng motor? Ya Allah lindungilah hamba. Ucap Nabila lirih.
Saat tengah mengendarai motor menuju rumah yang berada di Batununggal Nabila merasa tetap berani meskipun tadi mendengar cerita.
" Ehh itu kenapa kok kaya di keroyokin gitu. Aduhh harus di tolong ini mah " ujar Nabila.
Bagaimana tidak berpikir untuk menolong lima orang mengeroyok satu orang yang sudah terjatuh di jalan yang tidak begitu ramai.
Nabila bergegas membunyikan sirine polisi dari handphonenya dengan kencang. Lima orang yang tadi terus memukul seorang lelaki bergegas lari menggunakan motornya masing-masing. Nabila mengehela nafas lega.
" Kak saya bantu bangun ya."
Seorang lelaki bermata tajam itu hanya mengangguk. Karena bagaimanapun ia tengah membutuhkan bantuan.
Nabila dan seorang lelaki yang berkisar berusia 22 tahun itu duduk di sebuah bangku pinggir jalan.
" Ini tangan kak, umm Mas, om luka. Nab izin bersihin ya."
Nabila berjalan menuju motornya dan membuka bagasi untuk mengambil p3k yang ia simpan sebagai persediaan jika sewaktu-waktu dibutuhkan, seperti sekarang.
Seorang lelaki bermata tajam itu memperhatikan seorang perempuan yang tengah mengobati tangannya. Seulas senyum sabit menghiasi wajahnya.
" Makasih Nabila. "
Nabila mengangguk dan tersenyum.
" Iya sama-sama. Tapi ko kamu tahu nama aku Nabila padahal gak ada name tag yang tertera."
Suara tawa terdengar indah di malam ini. Lelaki itu tertawa mendengar penuturan seorang Nabila.
" Tadi kamu bilang Nab kan? Aku nebak aja sih kalo nama kamu Nabila. "
Nabila menghiraukan perkataan seorang lelaki di sebelahnya. Ia menatap ke sepeda motor yang terbaring di jalan aspal.
" Nama gw Rony Revandra Parulian. "
Nabila menatap tangan yang telulur dan menerimanya. Nabila mengecium tangan itu.
Rony terkesiap dengan keadaan itu. Sedangkan Nabila tersenyum lebar setelahnya.
" Loh ko malah cium tangan sih Nab? Aku kan cuman ngajak kenalan. Aku gak setua itu loh."
" Tapi kan kalo kata Bu Titin kalo ketemu orang harus salim kak, apalagi ke yang lebih tua."
Rony tidak mengerti jalan pikiran perempuan cantik di depannya.
Upss cantik 🤭" Ya gak cium tangan juga Nab. "
Nabila mengangkat bahunya. Nabila terkesiap setelah menyadari sesuatu. Nabila menepuk jidatnya.
" Yaudah kak Rony, Nab duluan ya. Hati-hati."
Rony menatap punggung yang mulai menjauh. Sebuah senyum yang jarang sekali diperlihatkan itu terbit.
" See you Nab."
Gimana nih, part pertama ini?
Selanjutnya ada kisah gimana lagi ya? Penasaran?
See you in the next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
RONA
FantasyAku tak menyangka bisa jatuh hati. Di yakinkan dengan penuh tenang. Kau dapati ku penuh luka, sedang kau datangiku penuh warna. ~Nabila Anasera Kau selalu berharga, bukan aku yang memberimu warna tapi kita menjadi warna indah jika bersama bukan? ~R...