Hai
.
.
.
Selamat datang di cerita "Angkasa Yang Berbicara" yang diperankan oleh sepasang sahabat bernama Arunika dan Sagara. Ingin tahu bagaimana kisah mereka? Pantengin terus yah!
.
.
.
Btw, kalian tahu cerita ini darimana?
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan vote dan komen.
Selamat membaca***
Di tengah malam yang sunyi, terdapat seorang gadis yang sedang duduk di dalam kamar dekat jendela dengan mata yang menatap gelapnya malam dari luar jendela. Gadis itu menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan pikirannya yang melayang jauh mengingat kisah hidupnya yang berubah semenjak beberapa tahun yang lalu.
Huft
Helaan nafas keluar dari bibir ranum gadis itu. Di matanya terdapat genangan air yang sedikit lagi akan mengalir.
Bibir gadis itu melengkung ke bawah, sejak tadi gadis itu memegang kertas yang berisi beberapa kata. Kertas itu lusuh akibat rematan yang semakin lama semakin erat. Matanya terpejam membiarkan air matanya turun membasahi pipinya.
"Arun capek, Tuhan. Arun pengen nyerah," suaranya kian melirih seiring berjalannya waktu dengan air mata yang terus keluar dari manik mata indahnya.
Suara bentakan ayahnya terus terngiang-ngiang di pikirannya, bentakan yang menjadi awal dari perubahan hidup Arun.
"Kamu itu gimana, sih? Hanya meletakkan teh saja tidak benar," suara bentakan itu berasal dari Ayahnya.
Arun kecil yang pada saat itu masih berumur 7 tahun terkesiap mendengar bentakan Ayahnya, punggung kecil itu bergetar menahan tangis.
"Maaf, Ayah. Arun enggak sengaja." Arun kecil menunduk ketakutan.
Ayah Arun mengacak-acak rambutnya sendiri sebagai penyaluran rasa frustasi. Mata ayah Arun menatap Arun kecil dengan tajam. "Jika sampai Ayah dipecat, awas saja kamu."
Ucapan Ayahnya membuat hati kecil Arun tersayat, Arun hanya menatap Ayahnya yang berjalan keluar dari ruangan kerja tanpa menoleh ke arah Arun dengan air mata yang mengalir. Di dalam ruang kerja itu, tertinggal Arun yang menangis sendirian di sana.
Ingatan itu kembali melintas di pikiran Arun, hatinya merasa sesak mengingat kejadian itu. Kejadian yang tidak sengaja Arun berbuat kesalahan yang menjadi awal dari perubahan kasih sayang dari Ayahnya.
Lamunannya buyar ketika mendengar suara ketuka pintu dari luar kamarnya. Dengan cepat Arun menghapus air matanya dengan kasar sambil merapikan penampilannya agar tidak berantakan lalu berdiri.
Kakinya melangkah mendekati pintu lalu dengan pelan membukanya. Pertama kali yang Arun lihat adalah keberadaan Kakaknya yang membawa makanan ke kamarnya. Kakaknya tersenyum padanya, melihat senyuman itu Arun membalasnya juga dengan senyuman. Lita, Kakaknya yang menurut Arun menyayangi Arun dan selalu ada di samping Arun dikala bersedih.
***
"Mas, mau sampai kapan kamu benci Arun?" tanya seorang wanita yang duduk di samping Suaminya.
Melviano Adhitama, pria yang berperan sebagai Suami dan Ayah dari Arun. Dengan pakaian formalnya, pria itu hanya melirik istrinya sekilas lalu kembali membaca dokumen di tangannya tanpa menjawab pertanyaan dari sang Istri.
Imenda Putri Roselian, Istri dari Viano sekaligus Ibu dari Arun itu menatap Suaminya yang hanya fokus pada dokumen. Imel menghela nafas, dirinya sudah berusaha membujuk suaminya agar kembali menyayangi Putri bungsunya.
Imel menatap Viano sejenak lalu berkata, "Terserah kamu, Mas, tapi aku harap kamu hilangkan rasa benci itu dan kembali menyayangi Arun seperti kamu menyayangi Lita. Mau bagaimanapun Arun juga putrimu, Arun berhak mendapat kasih sayang yang sama dengan kakaknya. Kasih sayang dari Ayahnya."
Imel berdiri membelakangi Viano, "Aku harap kamu mau berubah."
Setelah mengucapkan itu, Imel melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerja Viano dengan perasaan kecewa. Imel selalu berusaha dengan berbagai cara agar Viano kembali menyayangi Arun meskipun usahanya tidak membuahkan hasil yang diinginkan.
***
Suara sendok dan piring saling bersahutan satu sama lain, keheningan melanda tempat itu. Di sana terdapat sepasang suami istri dan anak mereka yang tengah berada di meja makan dengan beberapa hidangan di depan mereka.
"Gara," panggil pria paruh baya pada anaknya.
Gara, anak itu mendongak ketika namanya di panggil. Di tataplah pria paruh baya itu yang tak lain adalah Papanya dengan alis terangkat.
"Iya, Pa, kenapa?"
Papa Gara menjawab tanpa tanpa menatap Gara, pria itu hanya fokus pada makanannya.
"Setelah makan makan malam selesai, temui Papa di ruang kerja Papa," pinta pria itu yang sering di panggil Papa.
Setelah itu hanya keheningan yang menemani suasana di meja makan itu. Dalam keheningan itu, wanita paruh baya yang sedari tadi diam melirik kedua pria itu secara bergantian lalu kembali fokus pada makanannya sendiri. Namun, gerak-geriknya diketahui oleh Suaminya yang memang selalu mengamati.
"Kenapa, honey? Ada yang ingin kamu katakan?" tanya pria itu pada Istrinya.
Anggini Lestari, wanita itu itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, sayangku. Aku tidak ingin mengatakan apa-apa."
Artha Gajendra atau biasa disapa Artha itu mengangguk kepalanya pertanda percaya. Ia kembali fokus pada makanannya. Setelah habis, Artha langsung bangkit lalu meninggalkan meja makan menuju ruang kerjanya.
Melihat Papanya sudah selesai makan, Gara segera menyelesaikan makanannya lalu menyusul Papanya ke ruang kerja. Di sana terlihat Artha duduk di sofa yang ada di ruang kerja dengan mata yang terpejam.
Gara mendekat, "Ingin bicara apa, Pa?" tanya Gara ketika sudah berada di samping Papanya lalu duduk.
Papa Gara membuka matanya lalu menatap Gara dengan tenang. "Papa ingin berpesan sama kamu. Apapun yang terjadi nanti dan bagaimanapun kondisinya, jangan membantah atau melawan perkataan Mama kamu, jangan tinggalkan Mama kamu sendirian."
Gara mengernyitkan kening mendengar perkataan Papanya yang terkesan berbeda, "Kenapa Papa ngomong kayak gitu? Papa ngomong begitu seolah-olah Papa mau pergi ninggalin Gara dan Mama."
Garis bibir Artha tertarik membentuk sebuah senyuman. "Kita tidak ada yang tahu apa yang terjadi ke depannya. Papa hanya mau pesan itu sama kamu, kamu janjikan sama Papa?"
Perasaan Gara tidak tenang dengan pembicaraan ini, "Gara janji."
Mata yang awalnya terpejam kini secara tiba-tiba terbuka dengan keringat yang membasahi wajahnya dan nafasnya yang terengah-engah. Gara segera duduk di tempat tidurnya lalu menatap sekeliling hingga terpaku pada satu objek. Foto keluarga yang terpajang rapi di dinding kamar Gara terus ditatap dengan tatapan yang penuh kerinduan dan kesedihan.
Bayangan ketika Papanya meminta Gara berjanji agar tidak meninggalkan Mamanya terus datang ke dalam mimpinya dalam beberapa hari terakhir. Gara yakin mimpi itu bukanlah mimpi biasa, mimpi itu seperti memberitahukan sesuatu tentang apa yang akan terjadi ke depannya.
"Papa, Gara akan menepati janji Gara." Senyum tipis tertarik di sudut bibirnya sambil menatap foto keluarga itu terutama foto Papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA YANG BERBICARA
RandomSepasang sahabat lawan jenis biasanya akan tumbuh rasa cinta dalam hati mereka, begitu pula kisah antara Arun dan Gara yang saling mencintai dalam diam sejak memasuki sekolah menengah pertama. Namun, hubungan persahabatan mereka kandas karena sebuah...