Dewa tersenyum mengucapkan terima kasih pada Dila, dia kemudian kembali menekuri ponsel, sesekali pria itu menyesap kopinya. Sementara entah kenapa Gendhis merasa sedikit kecewa karena Dewa sama sekali tidak menanyakan tentang dia pada Dila."Ehem! Lagi gelisah ya, karena nggak ditanya?" ledeknya.
"Apaan sih!"
"Nggak usah bohong deh! Aku tahu dari matamu, Gendhis!"
Gendhis menggeleng cepat lalu bangkit member isyarat ada pelanggan masuk.
"Apa perlu aku sampaikan kalau kamu hari ini kerja?" godanya lagi.
"Dila, diem nggak!"
Menahan tawa, Dila mengatupkan bibirnya sembari mengangkat dua jari. "Soriii."
Hari itu pengunjung di koffe shop lumayan ramai, seperti biasa jika akhir pekan ada pertunjukan live musik di tempat itu hingga malam. Sambil melakukan pekerjaannya masing-masing, Dila dan Gendhis sesekali mengobrol tentang apa pun termasuk cerita Dila soal kekasihnya.
"Jadi dia mau ngelamar kamu?"
"Iya, Dis!"
"Terus?"
"Terus apa?"
"Kamu nggak kerja lagi dong?"
"Kata siapa? Alu tetap kerja-lah. Setidaknya sampai alu menikah dan hamil!" jawabnya tergelak. "Dan itu masih sangat lama, Gendhis!"
Tersenyum lebar Gendhis menarik napas lega. Tentu dirinya akan sangat kehilangan partner kerja yang baik seperti Dila jika rekannya itu harus berhenti.
"Tapi aku ngerasa kamu deh yang bakal ninggalin aku, Dis!"
Menoleh sejenak, Gendhis kembali meracik kopi.
"Kenapa begitu? Kenapa kamu mikirnya seperti itu?" tanyanya.
"Kamu bilang kamu dipanggil interview di sebuah perusahaan periklanan, dan ada kemungkinan kamu diterima bekerja di sana, itu artinya cepat atau lambat kamu bakal ninggalin koffe shop ini dan ninggalin aku, 'kan?" Dila mendekat kemudian mengambil beberapa cangkir kopi pesanan pelanggan dan membawanya pergi.
Gendhis tersenyum tipis. Senin dia akan datang untuk menjalani wawancara. Entah kenapa dia tidak se-excited kemarin-kemarin. Mungkin karena dia merasa akan sulit untuk mendapatkan teman yang satu frekuensi dengan reman kerjanya saat ini. Karena biat bagaimanapun untuk membangun kedekatan antara rwkan kerja itu tidak mudah. Diperlukan banyak waktu hingga bisa merasa nyaman satu sama lain.
"Gendhis, Gendhis!" Dila datang tergopoh-gopoh setelah mengantar pesanan.
"Apa, Dil? Ada yang komplain? Atau ada yang salah dengan pesanannya?" Dia ikut panik.
"Bukan! Bukan itu. Semuanya oke, tapi ...."
"Tapi apa?" Tatapan Gendhis menyelidik.
"Pak Dewa!"
"Pak Dewa? Kenapa?" Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Matanya tak melihat sosok pria yang terkadang misterius itu.
"Kamu nggak lihat dia di tempat dia biasa duduk, 'kan?"
Gendhis menggeleng, sambil melipat kedua tangannya di dada, dia berkata, "Iya terus kalau dia nggak di sana kenapa, Dila?"
"Nggak biasanya, Dis. Dia tuh biasanya lama di sini, kadang temannya nyamperin gitu. Kamu kayak nggak tahu aja!"
Gendhis diam, Dila benar, tidak biasanya Dewa menghilang begitu saja secepat itu. Ada yang tak biasa pada Dewa hari ini. Selain pergi begitu saja, pria itu seperti melupakan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)
Ficción GeneralMemiliki trauma terhadap pria membuat Gendhis berusaha menutup hatinya meski sang ibu menginginkan agar Gendhis segera memiliki kekasih. Sang ayah yang meninggalkan dia, kakak dan ibunya begitu saja telah menorehkan luka di hatinya. Namun, hati tet...