JALUR KESEMBILAN

17 4 0
                                    


Ternyata tidak seburuk itu menikmati perjalanan bersama Azka, lelaki yang ia sukai sejak lama.

Ya, Zea harus mengakui itu. Buat apa dia memperhatikan Azka hampir setiap hari selama di kantor kalau tidak menaruh hati padanya. Merepotkan saja yang ada.

Bisa di bilang, Zea bukan tipe perempuan yang agresif jika sudah menyukai laki-laki. Tidak ada tindakan mencoba mengkode Azka jika ia selama ini menyukainya.

Buktinya? Azka baru mengetahui jika Zea ada di kantor yang sama. Mereka baru kenalan saat di ruangan Pak Susanto. Itu bukti nyata yang tidak bisa di ganggu gugat.

Zea bukannya malas, dia enggan melakukan itu karena takut sia-sia. Yakinlah, kalau hati Zea berkali-kali patah mengetahui Azka menggandeng perempuan lain.

Ya, Zea sangat pintar memanipulasi ekspresi. Kesannya dalam hati ia patah sebelum bersama. Tapi Zea berhasil mengelabui sekitarnya sehingga tidak ada seorangpun termasuk Hambar atau Sawo yang merupakan temannya itu mengetahui rahasianya.

"Jadi, Hambar itu cuma panggilan dari plesetan nama?" Zea sejak tadi sedang menjawab pertanyaan Zea tentang teman kerjanya. Tanpa sadar, Zea tidak menduga bahwa Azka secuek itu hingga orang-orang di lantainya tidak ia kenali.

Pikirnya, Azka hanya belum mengenal Hambar dan Sawo. Padahal Azka memang hanya mengenal Pak Susanto di divisi keuangan.

"Sebenarnya bukan hanya itu, Hamzah Budianto itu plesetan awalnya Zanto. Dia sendiri yang bikin, tapi kata Mbak Dias. Hambar tiba-tiba mengubah panggilan yang di buatnya sendiri itu, karena Zanto adalah nama dari orang gila yang sering terlihat di daerah sekitar kantor. Hambar gak mau dia di mirip-miripin. Akhirnya dia ubah namanya sendiri!"

Sebentar, Zea sedang mengagumi ciptaan tuhan yang begitu indah. Baru kali ini, Zea melihat tawa lepas dari lelaki di sampingnya.

Matanya yang berubah sipit dengan suara tawa yang tidak bisa di bilang pelan itu terpampang jelas di depannya. Azka, apakah namanya yang ada di dalam takdir hidup Zea?

"Lepas cuti lebaran aku mau ketemu mereka berdua, jangan hapus kontakku ya, Ze! Kita harus terus berteman!"

"Iya," Karena perasaan itu bisa berasal dari pertemanan.

Zea mengikuti arah Azka menunjuk. Ternyata, sebelum sampai di Taman Cimanuk, tepatnya seberang sungai Masjid Agung Indramayu sudah terlihat. Kubahnya nampak megah dan berdiri kokoh.

Zea sekilas menganggumi dan ingin mengunjunginya. Tapi adab dari Bapaknya mengajarkan, jika sedang haid lebih baik tidak menginjakkan kaki ke dalam masjid. Itu tempat suci, dan semua orang wajib menjaga kesucian dari sebuah tempat ibadah.

"Ayo turun!" Sampai, Azka sudah selesai memarkirkan mobil di parkiran yang tersedia di Taman Cimanuk.

"Tidak terlalu luas, tapi sejuk." batin Zea mengomentari. Azka sejak tadi memotret beberapa spot. Semangat Azka tinggi, lelaki itu terus mengambil gambar melalui ponselnya dari beberapa arah.

"Ze, boleh minta tolong fotoin?" Zea mengangguk, "Pakai handphone kamu dulu, ya?"

"Oke!" Lumayan, Zea bisa punya foto Azka tanpa harus diam-diam mengambilnya.

Lelaki itu bersandar di samping ikon taman yang menuliskan identitas dari tempat ini. Zea membidik, mengikuti segala arah yang ingin Azka abadikan melalui potret foto.

"Giliran kamu, ayo!" Zea menolak, dia tidak terlalu pandai berpose dengan kamera belakang. Berkali-kali ia meminta bantuan orang lain untuk memotretnya, selalu gagal hasilnya.

Padahal Zea sudah mencoba dengan beberapa orang atau temannya. Tidak satupun hasil dari jepretan dirinya dari kamera belakang bagus. Sepertinya memang Zea tidak jago dalam berpose, bukan kesalahan dari sang fotografer.

"Kenapa? Mumpung ada disini!" Tetapi Zea tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya berdiri, "Ya udah, pakai handphone aku aja. Ayo!"

Zea bingung, bagaimana mengatakan alasannya yang enggan di foto pada Azka. Tetapi ya sudahlah, "Gak usah kelihatan wajah, ya! Aku gak tau makeup aku masih bertahan apa gak!"

Gadis ini merendahkan diri atau bagaimana, Azka sampai harus menahan tawa mendengar alasan Zea yang takut make up-nya luntur. "Masih cantik, Ze!"

Detik itu juga, Zea harus mengaku. Bukan hanya ekspresi Azka yang terlihat serius, tapi kata-kata Azka sudah membunuh jantungnya.

Kapan Zea bermimpi akan di bilang cantik oleh Azka. Haruskah Zea mentraktir orang-orang yang ada di taman ini? Untuk merayakan dirinya yang sedang berbunga hati.

"Gimana? Jadi foto gak?"

Jeda beberapa detik, Zea baru berhasil mengembalikan kesadarannya. Mengangguk, Zea mengikuti arahan Azka yang membimbingnya pada posisi untuk di potret lelaki itu.

Kaku, tetapi Zea akan menikmati momen ini. Momen dimana Azka menangkap siluet dirinya dalam sebuah gambar. Mengarahkannya berpose sesuai keinginan Azka. Tidak, Zea tidak akan menghapus foto hasil jepretan Azka.

Meskipun hasilnya tidak Zea yakini seperti apa, tapi itu adalah bukti bahwa ia pernah mengalami momen ini.

"Oke, sudah bagus. Nanti saling kirim aja lewat Whatsapp ya, Ze? Sekarang kita lihat-lihat tempat ini, sambil menunggu waktu sholat dhuhur."

===BERSAMBUNG===

739 Kata

12.33 WIB, 11 Sept, 2023

PuMa

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang