Yiesha — anak kecil yang Irin perkirakan berusia empat atau lima tahun ini hanya fokus melihat pemandangan dari luar kaca mobil. Sebagai orangtua baru, tentu agar bisa mendekatkan diri dengannya, Sandi maupun Irin dengan kompak mengajak bicara ke anak ini. Namun respon yang Yiesha berikan justru membuat Irin overthinking. Entah kenapa Yiesha atau kerap memanggil dirinya sendiri dengan sebutan, "Esha" itu hanya membalas seadanya. Mengangguk, dan menggeleng. Sandi yang melirik istrinya pun lagi-lagi tersenyum. Otomatis Irin yang mengetahui itu mau tidak mau ikut tersenyum juga.
"Esha, Sayang." Lamunan Irin menjadi buyar karena Sandi kembali memanggil anak mereka. Dan seperti sebelum-sebelumnya juga, Esha hanya diam tidak bersuara. "Eum.. kamu lapar, Nak? Ayah dan Bunda rencananya mau ajak kamu makan diluar."
Irin yang sepakat sebelum di hari pernikahan mereka mau dipanggil dengan sebutan, "Bunda" itupun, reflek menoleh kearah Esha dan menatapnya penuh semangat. "Esha mau makan apa, Sayang? Seafood? Pizza? Sushi? Pasta?"
Dan lagi, anak ini hanya diam. Rasanya Irin ingin menangis saja. Walaupun dalam dunia kerja wanita ini berprofesi sebagai dokter anak yang terkenal ramah dan pintar mengambil hati anak-anak, tapi sepertinya keberuntungan tidak memberkati Irin ke anak adopsinya itu.
"Susah~~"
Sandi yang baru selesai mandi mendengar rengekan istrinya yang terduduk lesu diatas tempat tidur.
"Apanya yang susah, Sayang?"
Irin menghela nafasnya perlahan, "Yiesha.." ucapnya. "Aku pikir akan mudah mengambil hatinya karena pekerjaan aku kan dokter anak. Tapi aku nggak sangka kalau untuk ambil hatinya sesusah itu." Irin mengeluh, membiarkan sang suami mendengarkan keluh-kesahnya.
"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini selagi kita mau berusaha, Sayang." Sandi memberikan nasihat. "Coba deh kita mikirnya dari sudut pandang Esha. Bertahun-tahun dibesarkan di panti asuhan, lalu bertemu dengan kita dan langsung diadopsi. Mungkin Esha sama seperti kita. Butuh waktu."
Dagu berbentuk V milik Irin diangkat dengan jari telunjuk Sandi. Membiarkan mata miliknya beradu pandang dengan mata milik sang suami. Jika Irin tenggelam dengan mata miliknya, maka Sandi justru tenggelam dengan paras cantik milik istrinya. Pernikahan mereka sudah enam tahun terjalin. Dan sama seperti diawal ia mengenal Irin, Sandi seperti membiarkan dirinya tenggelam didalam kecantikan yang Irin punya.
Tidak ingin membuat Irin semakin berpikir negatif, jari-jemari Sandi mulai bergerak untuk mengusap lembut kepalanya. "Biarkan Esha mencerna semuanya. Sama seperti kita, Esha juga butuh waktu untuk menerima." Sandi tersenyum, setelah melihat Irin dengan perlahan menganggukkan kepalanya.
"Pelan-pelan, ya? Sama-sama kita belajar, untuk menjadi orangtua yang baik."
⛔⛔⛔
"Suka dengan kamarnya, Sayang?"
Tubuh kecil Esha sedikit tersentak. Sandi menjadi tidak enak karena tidak sengaja membuat anaknya itu terkejut.
"Maaf," wajah penuh sesal milik Sandi terlihat jelas. "Ayah kesini mau ajak kamu makan malam. Esha mau kan, makan bersama Ayah dan Bunda?" Sandi bertanya raut wajah penuh harap.
Esha hanya diam seperti biasa. Sandi yang berpikir kalau anak ini menolak itupun hanya mengulum senyum pasrah. "Kalau nggak mau, gapapa kok, Nak." Sandi tersenyum, dengan mata yang melengkung seperti bulan sabit itu menyamakan tingginya untuk memberikan elusan di kepala. "Kamu pasti capek banget, kan? Sekarang bobo, yah."
Esha—anak kecil ini spontan memegang ujung piyama Sandi ketika laki-laki itu berdiri. Dengan kepala yang menunduk, Sandi dengan sangat jelas mendengar jika anak barunya ini telah mengucapkan beberapa kata yang membuat hatinya menghangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
INDIGO {RV}
HorreurRed Velvet & EXO lokal. Iriana Rahayu Atmajaya - mulai berkecil hati ketika dokter kandungan yang sudah kesekian kali mereka datangi mengatakan jika ia benar-benar tidak bisa memiliki anak. Namun Sandi Tri Lukman Dewangga - sebagai sang suami tentun...