Part 8 - Cangkir Putih

5 2 1
                                    

Cappuccino

"Dika!! Tunggu akuu!!" Terdengar suara gadis di belakang ku.

  Lalu, aku memutar balik badan ku ke arah suara itu berada. namun saat aku berbalik, aku  malah di tabrak oleh nya. 

* BRAAAAKKKKK !! SFX *

"Aduh siapa sih yang nabrak!" Ucap ku kesal...

"Maaf Dika..." Ternyata yang menabrak ku adalah Nadia, si pianis yang sinis.

"Kenapa buru-buru sekali sih Nadia? Cafe tempat kita kerja kan dekat..."

"Iyah!! Aku tau kok, aku cuma mau bareng aja buat nyebrang jalan..." Ucap Nadia dengan nada seperti seorang yang tsundere.

Aku menggelengkan kepala ku sembari tersenyum. Nadia selalu punya cara unik untuk menunjukkan perhatiannya.

"Oke, ayo kita nyebrang bareng," ujarku.

 Kami berdua menyeberang jalan dengan aman, dan segera tiba di depan pintu kafe. Aku membuka pintu untuk Nadia, dan kami masuk ke dalam kafe yang sedang ramai dengan para pelanggan.

"Sepertinya cukup ramai hari ini," kataku sambil melihat sekeliling.

Nadia mengangguk. "Yup, sepertinya banyak orang yang ingin menikmati kopi dan suasana di sini."

"Yok mari kita bekerja!!" Ucap ku semangat.

 Setelah berganti pakaian, Kami berdua memulai pekerjaan dengan job masing-masing. Aku yang sebagai koki kedua meracik dessert untuk pelanggan dan juga seorang pelayan yang mengantarkan makanan-makanan itu ke pelanggan. Aku dan Chef Rafi bekerja sama dalam mengolah masakan, ia sangat membantu ku dalam hal apapun. Dia adalah guru yang terbaik dan juga teman terbaik.

Suasana di kafe semakin ramai ketika waktu pulang kantor tiba. Para pelanggan memadati meja-meja, dan aroma kopi segar dan hidangan lezat terisi udara. Aku  bergerak dengan cekatan, memastikan setiap pelanggan mendapatkan pesanan mereka dengan baik.

Sementara aku berfokus pada pekerjaanku sebagai koki kedua, aku melihat Chef Rafi yang sedang sibuk memasak hidangan-hidangan utama dengan ahli. Wajahnya yang serius menunjukkan dedikasinya dalam memastikan setiap hidangan terasa sempurna.

Beberapa saat kemudian, ketika ada jeda antara pesanan pelanggan, aku memutuskan untuk berbicara dengan Chef Rafi tentang perasaanku pada Safira.

"Chef, Aku boleh curhat tentang percintaan gak chef?"  Ucap ku dengan ragu saat pelanggan tak ada yang memesan dessert. 

"Percintaan? emang kenapa kamu baru putus ama pacar kamu?" Tanya Chef Rafi dengan rasa penasaran.

"Nggak bukan itu, malah aku belum punya pacar Chef." Ucap ku merendah kepadanya.

"Ah, begitu. Jadi ini pertama kali kamu merasakan hal ini," ucap Chef Rafi sambil tersenyum. "Yaudah jelasin semuanya, aku akan mendengarkan."

Aku merasa lega karena Chef Rafi bersedia mendengarkan ceritaku. "Serius chef? tapi jangan bilang siapa-siapa ya..."

"Nggak kok tenang aja, saya akan menjaga rahasia saya janji."

"Baiklah, aku akan cerita kan," sebenarnya aku masih ragu untuk menceritakan nya namun apa boleh buat. "Jadi gini chef, di sekolah aku punya kenalan dengan gadis cantik yang wajah nya gak bisa aku lupakan, dia itu masuk ke sebuah organisasi sekolah ku. Mungkin tiap hari dia selalu membantu ku pas lagi kesulitan, nah tadi saat pulang sekolah. Aku menya..ta..kan cin..ta kepada nya." Ucap ku dengan suara lirih.

"Aww, seperti itu. Jadi gimana di terima atau tidak?" Ucap Chef Rafi penasaran dengan cerita ku.

Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Hmmph, saya belum di kasih jawabannya Chef. Aku merasa sangat bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan." Ucap ku dengan suara lirih.

Chef Rafi meletakkan tangannya di atas bahunya. "Dika, cinta itu rumit. Terkadang, seseorang mungkin butuh waktu untuk memahami perasaannya sendiri. Jadi jangan terlalu khawatir,  biarkan waktu menentukan jalannya. Yang penting, kamu udah jujur dengan perasaanmu."

Aku merasa lega mendengar kata-kata bijak Chef Rafi. "Terima kasih, Chef. Aku benar-benar menghargai perkataan chef."

Dia tersenyum. "Tidak masalah, Dika. Sekarang, mari kita fokus pada pekerjaan kita. Kita punya banyak pelanggan yang menunggu."

 Kami berdua kembali ke tugas kami masing-masing, dengan semangat yang baru. Meskipun perasaanku masih berputar-putar tentang Safira, aku tahu bahwa aku bisa mengatasi ini dengan baik, terutama dengan dukungan sepert yang di lakukan Chef Rafi kepada ku. 

 Hari pun terus berlanjut, dan cafe semakin ramai. Aku berkeliling meja ke meja, mengantarkan minuman dan makanan kepada pelanggan. Aku kembali ke meja pelanggan membawa puding yang sudah siap berbarengan dengan menu-menu lainnya. Pelanggan yang memesan dessert itu tampak antusias saat aku meletakkan cangkir puding di depannya.

"Sangat menarik, terima kasih!" kata pelanggan tersebut dengan senyuman.

Aku tersenyum balik. "Selamat menikmati!"

 Setiap kali aku meletakkan hidangan di depan mereka, senyum dan ucapan terima kasih dari pelanggan membuatku merasa puas. Rasanya seperti memberikan sedikit kebahagiaan kepada orang lain.

 Saat itulah, pintu kafe terbuka lagi, dan aku melihat Safira berdiri di ambang pintu. Dia tersenyum manis saat memasuki kafe yang ramai. Aku merasa hatiku berdebar kencang.

 Safira masuk ke dalam cafe dengan senyuman manisnya, dan pandangannya segera mencari-cari tempat kosong. Hatiku berdetak lebih cepat saat dia melihat ke arahku, dan senyumannya semakin membesar ketika matanya bertemu dengan mataku.

Saat Safira duduk di salah satu meja yang kosong, aku berusaha untuk menjaga agar ekspresiku tetap wajar. Aku tahu ini adalah kesempatan bagiku untuk mendekatinya lebih jauh.

Setelah melayani beberapa pelanggan lainnya, aku akhirnya mencapai meja Safira. Dia tersenyum lembut begitu melihatku mendekat. "Halo Dika, kamu sangat cocok mengenakan pakaian itu."

Aku merasa hatiku berbunga-bunga mendengar suaranya. "Ha...lo, Safira. Apa yang ingin ka..m..u pesan di menu?"

Safira menatap menu sebentar sebelum menjawab, "Aku ingin cappuccino, tolong."

Aku mencatat pesanannya dengan cermat dan berjanji untuk segera mengantarkannya. "B..aik, tolong tunggu sebentar ya."

 Kemudian, aku memberikan catatan pesanan itu kepada Kak Rara yang memang tugas nya meracik segala minuman yang ada di cafe ini. Seperti ia tau gerak-gerik ku yang salah tingkah, Kak Rara langsung sigap membuat kan pesanan itu.

"Hmm... Jadi gitu, nih aku sudah buatkan." Ucap Kak Rara yang menyodorkan cappuccino yang sudah di buatkannya.

"Ken..nnapa sih?" Ucap ku salah tingkah yang tak karuan.

"Boleh juga, yaudah kamu deketin aja..."

"Ih... Udah ah..."

 Hatiku masih berdebar-debar setiap kali aku memikirkan keberadaannya di kafe ini, kemudian  aku menyusunnya dengan rapi di atas nampan dan melangkah menuju meja Safira.

 Ketika aku meletakkan cappuccino di depannya, dia mengangkat kepalanya dan tersenyum. "Terima kasih, Dika. Ini terlihat lezat."

Aku tersenyum kembali. "Senang kamu suka. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk memberi tahu ak..u ya."

Safira mengangguk, dan kami berdua terlibat dalam percakapan singkat namun terasa  menyenangkan. Waktu terasa berjalan cepat, dan aku merasa bahwa setiap momen yang aku habiskan bersamanya adalah momen yang berharga.

Ketika dia selesai dengan minumannya, aku mengambil cangkir kosongnya dan bertanya, "Ada yang mau dipesan lagi, Safira?"

Safira menggeleng pelan. "Tidak, terima kasih. Aku sudah cukup puas. Terima kasih ya telah melayani dengan ramah Dika, kamu adalah pelayan yang terbaik..." Ucap Safira memujiku.

"Hmmph, terima kasih kembali Safira. Aku senang kamu mampir ke Cafe ini, jika kamu ingin kembali ke cafe ini untuk melepas penat kami selalu membuka pintu untuk pelanggan seperti..." Ucap ku merasa tersipu malu saat ia memuji ku.

"Baiklah tapi ini sudah saat nya aku untuk pulang, kamu semangat kerjanya ya." Ucap Safira menyemangati ku.

 Aku merasa sedikit kecewa karena pertemuan ini harus berakhir begitu cepat, tapi aku mengerti bahwa dia mungkin memiliki urusan lain. "Baiklah, Safira. Semoga kamu bisa beristirahat. Sampai jumpa esok di sekolah."

Safira tersenyum dan berdiri. "Terima kasih, Dika. Sampai jumpa." Kemudian ia mendekat ke samping ku lalu ia berkata. "Kamu sangat keren hari ini, terima kasih ya." Ucapnya dengan suara lirih.

 Dia meninggalkan kafe dengan langkah ringan, dan aku melihatnya pergi dengan senyum di wajahku setelah ia mengatakan itu kepada ku. Ini adalah pertemuan yang singkat, tapi aku merasa setiap detik bersamanya membuatku semakin yakin bahwa perasaanku padanya adalah sesuatu yang istimewa.

 Sementara aku kembali ke pekerjaanku, aku tahu bahwa cerita antara kami belum berakhir. Ada banyak hal yang ingin aku ketahui tentang Safira, dan aku siap untuk mengetahui hal itu.


Until You Look At Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang