.
.
.
.
.
.Lucu. Ketika seseorang datang padaku dengan segala beban pikiran mereka dan masalah yang berentetan panjang, mengharapkan empatiku. Bercerita dengan menggebu dengan keinginan supaya aku tau apa yang mereka rasakan. Tentu aku memberi tanggapan dan balasan sebisaku dengan sebuah jawaban yang relevan dengan masalahnya, jika tak didengar maka sudah bukan jadi urusanku.
Di sisi lain, tentu ada keinginan didalam diri yang paling dalam dari aku untuk melakukan hal yang sama pada seseorang tertentu. Banyak yang menawarkan diri dengan dalih "aku bisa mendengarmu".
Sungguh tak munafik aku juga ingin empati. "Ya aku paham apa yang kamu rasakan", sebatas itu, hanya sebatas itu yang ingin aku dengar. Tapi kenyataannya apa? Aku tak dibiarkan membuka mulut. Satu kalimat yang bisa kuucap dipatahkan dengan "ah kamu cuma gitu belum seberapa, aku pernah bla bla bla".
Aku sudah berusaha semaksimal mungkin menjadi pendengar, bahkan dua puluh tahun aku hidup kuhabiskan dengan mendengar cerita dari orang banyak. Lalu kapan giliranku?
Sekarang jika aku bilang, bagaimana kalau kamu jadi aku dipaksa bungkam dengan fakta-fakta yang terus menikam? Melihat sandiwara untuk menguntungkan diri mereka sendiri, dipaksa untuk menahan segala hal agar sesuai dengan apa yang mereka mau dan lupa akan diri sendiri. Selama ini aku belum pernah menjadi aku. Sejauh ini aku mendapat doktrin untuk mengikuti apa yang mereka mau. Lalu kapan aku bisa jadi aku?
Mengapresiasi hal kecil dan sederhana dibilang alay, sedih sedikit alay, senang dan bersemangat sedikit alay dan kekanak-kanakan. Sesederhana peduli saja mereka masih belum mampu, tapi menuntut empati orang lain terhadap masalah mereka dengan menggebu-gebu.
Lucu dan kecewa sedikit sebenarnya. Tapi apa gunanya, pada akhirnya aku tetap yang salah karena tak mengikuti kemauan mereka.
Ironi sampah.
KAMU SEDANG MEMBACA
keluh kesahku tentang semua
Randomhanya butuh tempat cerita, selebihnya apa saja