Kala Rindu Mengganggu.

6.8K 810 44
                                    

Prisha seharusnya sudah berangkat menuju stasiun. Namun, Nur Ami yang pamit untuk membeli pembalut ke mini market sayangnya belum juga kembali setelah hampir tiga puluh menit dia pergi.

Mau memaksa mengeluyur saja, tapi rumah benar-benar dalam kondisi lagi sepi. Entah ke mana raibnya para pegawai Paradikta hingga Prisha lihat cuma tersisa satu security yang sedang duduk-duduk di pos jaga depan.

Well, Prisha tak akan ragu angkat kaki sih andai tadi Nur Ami tidak terlanjur menitipkan Naga kepadanya.

Lalu, bicara soal Naga, anak itu sudah diperbolehkan pulang pagi tadi. Hanya saja, seperti anak hilang dia lagi-lagi ditinggalkan.

Prisha tidak tahu cara hidup rata-rata orang kaya. Tetapi, dengan melihat Naga saja dia tahu betapa sepinya hari-hari mereka—actually, Paradikta dulu pun situasinya tak jauh berbeda, dia cuma bergaul bersama orang-orang yang sekiranya bermanfaat untuknya, maka tak sekali-dua kali dia mengintili Prisha bila diterpa rasa hampa.

Di ruang tengah rumah gedongan Paradikta yang praktis sudah dua kali ini Prisha singgahi, saat ini dia berdiri kaku dengan mata yang diam-diam terus bergerilya mengawasi Naga yang sedang duduk di sofa sambil memainkan robotiknya menggunakan satu tangannya yang tak berbalut gips.

Sayup-sayup telinga perempuan itu yang menajam juga bisa menjaring suara lirih Naga yang bermonolog:

"Tssh tssh tssh lapor lapor! Kapten Mbi dan pesawat siap terbang!"

"Segera meluncur ke langit cerah!"

"Kata Opa, di langit ada Mama Aga. Tolong nanti Kapten Mbi main gantiin Aga ke tempat Mama dulu, ya?"

Prisha sontak mengernyih. Tak kuasa membayangkan apa saja gerangan yang tengah dipikirkan oleh kepala kecil itu.

"Ah, Kapten Mbi-nya jatuh!"

Prisha sedikit tersentak sewaktu mendengar seruan tersebut. Pun, ketika mengecek dia melihat robot pesawat kuning yang barusan sibuk dimainkan oleh Naga kini justru telah meluncur di lantai.

Naga bahkan sampai berusaha menggapai-gapai. Namun, tangan pendeknya kesulitan. Membuat Prisha yang semula ingin abai—well, jujur saja, dia nggak ingin berdekatan dengan anak itu, bukan sebab dia benci Naga gara-gara dia putra Paradikta, tapi karena kata-kata yang di sepanjang hidupnya melabeli bahwa dia pembawa sial sedikit banyak bikin Prisha takut kalau dia betulan bakal membawa mara bahaya untuk Naga yang padahal sudah lebih dari cukup tertimpa banyak masalah.

Akan tetapi, Prisha akhirnya toh menyerah terhadap suara-suara bising sarat peringatan yang berteriak di seantero batok kepalanya kala Naga hampir-hampir memaksa untuk turun sendiri dari duduknya di sofa.

Setengah berlari Prisha kontan menyerok pesawat yang punya sepasang mata bulat itu untuk lantas dia angsurkan ke hadapan wajah Naga yang sekarang cuma mendongak bersama netranya yang berkedip-kedip antara mungkin bingung dan salah tingkah.

"Te-teri-ma ka-sih." Anak itu lantas mencicit nyaris tak terdengar malah sambil menunduk malu-malu ketika meraih robotnya yang segera dia peluk.

Berikutnya, hampir dua menitan Prisha berdiri di sana. Mengamati puncak kepala Naga yang sesekali memutar ragu-ragu ke arah meja.

Biarkan. Anggap nggak lihat apa-apa, adalah kalimat-kalimat yang setia Prisha gaungkan dalam hati sebagai bentuk prohibisi.

Sayangnya, ingat kan? Prisha punya bibit people pleaser sehingga mencuaikan orang yang jelas-jelas butuh pertolongan merupakan satu hal yang rasanya sungguh mengekang.

Maka, selepas berdeham singkat Prisha pun kalah. "Mau?" tanyanya kemudian melalui suaranya yang sekaku kanebo kering.

Naga yang sepertinya tidak mengerti hanya berlama-lama menatapi Prisha. Merasa gerah sebab bak tengah diselidiki perempuan itu kontan menunjuk botol minum yang masih penuh di meja.

"Haus?" lanjut Prisha straight to the point.

Dan, Naga pun mengangguk membenarkan. Membikin Prisha buru-buru meraih botolnya. Dia menyerahkannya selepas terlebih dahulu memasang sedotan. Tetapi sesaat sadar bahwa sekarang tangan Naga penuh dua-duanya—well, satu terang kondisinya macam lontong lalu sisanya sedang menyayang-nyayang robot pesawatnya. Jadi, Prisha memutuskan kilat guna mengambil tempat untuk ikut duduk di sofa. Dia menyejajari Naga sambil mengasuransikan botol itu ke mulut anak itu.

"Saya pegangin," ucap Prisha.

Naga tak protes. Anak itu minum beberapa teguk dengan tenang.

"Terima kasih em—" Bola matanya yang bersorot lebih santun dari milik Paradikta bergerak tak tentu arah sebelum takut-takut membisik, "Nte?"

"Ya, Tante boleh." Prisha tak merasa keberatan atau perlu merevisi. Lagi pula, masa dia mau disebut Ibu? Bunda? Mama? Atau malah Mami? Meski Prisha istri sah ayahnya, tetapi gelar-gelar tersebut rasanya sungguh terlalu prestisius untuk disematkan padanya. "Kamu kangen?"

"Sama Mama?" timpal Naga melengkapi tanya Prisha melalui intonasi yang masih ajeg rendahnya.

"Memangnya ada yang bikin kamu rindu lagi?"

Naga tak langsung menjawab. Bocah laki-laki kecil itu tampak meremat-remat badan robot pesawatnya. Gayanya betul-betul seperti orang dewasa yang larut menimbang sesuatu.

Prisha tengah memerhatikan bibir Naga yang terlipat persis milik Paradikta kalau pria itu sedang serius berpikir saat anak itu tahu-tahu mengujar pelan, "Papa?"

Walau reaksinya samar, tapi keterkejutan sempat sekejapan mencuat di wajah datar Prisha. Namun, dia tentu segera menguasai diri untuk kemudian berkata tanpa sedikit pun nada menggurui, "Kalau saya kangen Bapak saya biasa lihat langit kalau malam. Banyak bintang di atas."

"Bin-tang?"

"Hm. Karena, bintang lebih dekat ke langit dia mungkin bisa bisikin kangen saya ke Bapak atau kangen kamu ke Mama."

"Iya, Nte?"

Prisha mengedik. "Biasanya anak-anak suka percaya dongeng-dongeng sejenis itu." Toh, tadi Naga juga sempat memonologkannya bersama mainannya kan?

Naga mungkin benar-benar menganggap serius ucapan Prisha. Raut lesunya tersingkirkan. Binar di muka tampan Naga pun belum sirna kala dia berharap, "Terus kalau ke Papa pakai bintang juga bisa ya, Nte?"

"Papa?" Prisha balik menggumam. Well, merindukan orang yang bahkan berada dekat di depan kita rasanya memang sungguh ironi. Prisha sudah lebih dulu mengalaminya belasan tahun di hadapan Ibu. Well, Ibu yang lama hilang serta ternyata mengirimnya pesan kemarin sore hanya saja dia sedang tak ingin membahasnya sekarang.

Dan, mengenai Naga ....

"Kalau nanti Papa pulang kamu bisa langsung bilang kangen." Ya, jangan seperti dirinya yang pengecut di mana bila pun ada Ibu bukannya langsung merapal apa yang termuat di hatinya secara jujur, tapi memilih menghindar supaya mereka tak bertengkar.

"Tapi, Papa nggak balik kangen Aga, Nte," adu Naga pundak mungkilnya bahkan terpindai langsung terkulai lemah.

"Dia kangen cuma malu."

"Benar, Nte?" Demi diyakinkan Naga sampai mencari-cari mata Prisha yang kini tengah lurus-lurus memandangi figura besar berisi potret pernikahan Paradikta dan Saniya yang menggantung hingga nyaris memenuhi tembok di ruang keluarga.

Serta ya, Prisha tak tahu. Namun, bagaimana mungkin Paradikta masih bisa percaya diri mengaku-ngaku amat mencintai Saniya, kalau darah daginya bersama wanita itu saja sebegitunya berusaha terus dia abaikan?

Lagi, jika ditodong secara langsung kemungkinan Paradikta tak punya pilihan lain di luar menanggapi kan?

"Tanya sendiri nanti kalau tidak percaya," ujar Prisha.

Sayangnya, Naga mungkin harus menunda tanya dan kangennya untuk terobati karena yang sore itu datang bukanlah Paradikta yang pulang dari kantor, atau pun Nur Ami yang jelas sudah amat Prisha tunggu-tunggu melainkan Awidya yang begitu tiba singkat saja sontak melempari Prisha dengan tas-tas belanjaannya dan berisik marah-marah.

***

Gimana perasaannya?

Terima kasih masih bersabar mengikuti Mbak Prish ❤️

Udah sampai bab 45 di sebelah. Update cepat lagi kah?

Terima kasih sudah membaca ya.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang