6. Welcome Back

65 7 0
                                    

Penerbangan yang berlangsung selama berjam-jam akhirnya selesai juga.

Sesampainya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, tiga pria itu langsung digiring oleh bawahan ayah menuju sebuah mobil sedan antik yang terletak cukup jauh.

Mobil berkendara selama empat jam, tanpa pembicaraan. Tiga pria itu akhirnya sampai disebuah apartemen yang berhadapan langsung dengan pelabuhan.

"Bos ada di lantai tiga pintu 17," ujar pria tersebut.

"Anda tidak mengantar kami pak?" tanya Jay.

Pria itu menggelengkan kepalanya.

Tanpa menunggu waktu lama, Jake, Jay, dan Steve keluar dari mobil dan memasuki apartemen menuju lantai tiga.

"Anjir, ngga ada lift ini?" keluh Steve.

"Berharap apa sih lo dengan tampilan apartemen kek gini?" sahut Jay.

Sesampainya di depan pintu bernomor 17, Jay mengetuknya. Terdengar suara berat yang sangat familiar menyahut. "Masuk."

Tiga pria itu membuka pintu dan melihat sudah ada sang ayah yang berdiri membelakangi mereka. Aura menakutkan itu kembali membuat nyali ketiganya menciut.

"Ngga perlu basa-basi lagi. Kalian sudah diberitahu alasan kalian datang kesini," ujar sang ayah. Suara datar dan dingin yang sangat mereka takuti kini harus kembali didengar oleh ketiganya.

Ayah mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dan meletakkannya di atas meja. "Dalam waktu tiga hari, sudah ada dua puluh anak yang diculik. Penculikan selalu terjadi sekitar waktu maghrib di wilayah stasiun Depok Baru. Bawa dalangnya ke hadapan saya dalam keadaan hidup!" Setelah menyelesaikan kalimatnya, ayah mengeluarkan sebuah kunci dari saku jasnya serta ID palsu untuk ketiganya dan menaruhnya diatas meja. "Ini kunci mobil untuk kalian dan gunakan ini untuk keperluan hidup kalian. Setiap bulan saya akan kirim kalian uang jika kalian tidak melanggar aturan dan menyelesaikan misi yang saya berikan. Ingat, yang terpenting dalam misi ini hanyalah pelaku! Jika kalian harus mengorbankan anak-anak itu, lakukan, paham?" Ayah menatap tiga lelaki ini dengan begitu menusuk.

Jake, Jay, dan Steve menganggukkan kepalanya.

"Baik, saya rasa sudah jelas. Waktu kalian tiga hari untuk menyelesaikan misi ini. Kalian bisa menelaah kasusnya lebih lanjut di dalam amplop coklat ini," ujar sang ayah. Ia kemudian bangkit dari tempatnya dan melangkah keluar dari apartmen.

Setelah tak terdengar suara langkah kaki yang khas dari sepatu pantofel ayah, Jake, Jay dan Steve menghela nafas lega.

"Anjir, ini lebih horror dari pada film horror," seru Jake.

"Dan lebih kejam dari pada film thriller," sahut Steve.

Ting!

Sebuah pesan masuk ke ponsel ketiganya. Dari sang ayah.
•> Hari Sabtu, pukul 19.30. Alun-alun Kota Depok. Jika penangkapan lebih cepat, segera hubungi saya. Jangan berpenampilan menarik perhatian.

Ketiga pria itu menghela nafas sesaat setelah membaca pesan tersebut. Jengah, Jay melempar ponselnya ke sofa, melangkahkan kaki menuju dapur untuk mengisi perutnya.

"Jake, do you think we can doing well without any mistake?" Ujar Steve ragu.

"I'm trying to not have an expectation for our first mission. Let's just trying to minimize the mistakes," jawab Jake berusaha menenangkan Steve dan juga dirinya sendiri.

Right Jake, let's just trying to minimize the mistakes.

•••

D-2

Jay, Jake, dan Steve berkumpul di ruang tengah, ketiganya dengan serius membaca laporan yang kemarin telah diberikan oleh ayah dan membuat startegi untuk menyergap markas pelaku.

Sudah berjam-jam Jay berkutat dengan laptopnya mencari tahu latar belakang si pelaku, namun hasilnya nihil. Ia tak dapat menemukan sosok lelaki berkepala gundul dengan tahi lalat dibawah mata kirinya.

"ARGH!!! Why i can't track this guy?!" Seru Jay frustasi.

"Are you sure? Maybe you missed something?" Sahut Jake.

"For real Jake! I've checked all of his social media, his transactions, or someone maybe know this guy but there is no answer! They don't know who this guy!" Kesal Jay.

"Should we go to that place? Well, maybe we will find something, who knows right? Ayah doesn't give his name, so i guess he also doesn't know who is he," seru Steve yang mendengar perseteruan antara kedua sahabatnya ini saat di dapur tadi.

"Shall we?" Tanya Jake ragu. Ia takut jika rencana yang sudah mereka buat akan hancur.

"Well, there's no way. Ayah give us just three days for this mission and want to be perfect. We have two days left," jawab Steve.

"He is right. It's already midnight. All we need just the name of this guy to make our plan perfect," sahut Jay mencoba meyakinkan pria yang saat ini tengah berkutat dengan pikirannya.

Jake berpikir sejenak. Menjadi seorang decision maker bukanlah hal yang mudah. Perannya dalam kelompok ini sangat penting, jika keputusan yang ia buat salah, maka hancurlah semuanya.

"Jake, we're running out of time! There's no way to think about it!" desak Jay. Steve menyikut pelan Jay, memberikan sinyal untuk tunggu beberapa saat. Jay membuang nafas kesal, menurutnya Jake terlalu banyak berpikir saat ini.

"Give me 10 minutes. I'll be back," pinta Jake. Ia membutuhkan waktu sendiri untuk saat ini.

Jake menuju ke kamarnya lalu duduk di meja dengan pulpen dan sebuah kertas di hadapannya. Tangannya mulai bekerja, menggerakkan pulpen diatas lembaran kertas membuat sebuah goresan-goresan untuk mendapat sebuah keputusan yang akan ia berikan kepada teman-temannya.

"Why'd you let him?! I told you we're running of time!" Omel Jay pada Steve sesaat setelah Jake memasuki kamarnya.

"Jay calm down okay? I know we're running of time, but he needs to think first. He is a decision maker. He knows the best thing for our move, so we can minimize the mistakes," Steve mencoba menenangkan Jay.

Steve dapat memahami Jay yang sedang begitu cemas. Bohong jika mental mereka dapat dikatakan baik. Hidup dibawah tekanan dengan segala pergerakan yang selalu di monitor dan di tuntut menjadi sempurna sangatlah membebankan. Mental mereka lelah, namun mereka tidak bisa melakukan apapun selain bersandar satu sama lain. Dalam hal ini, Steve harus berusaha keras untuk menjaga mentalnya tetap waras dan aman untuk kedua sahabatnya.

"Inhale-exhale understand?" Suruh Steve yang kemudian dilakukan oleh Jay.

Jake akhirnya keluar dari kamar dan memandang kedua sahabatnya. "Let's go to that place, but Jay you have to stay. You have to monitoring us in here. We'll immediately tell you if we found something necessary," titah Jake.

Tanpa banyak membantah, Jay menyetujui keputusan Jake.

Sebelum mereka menuju tempat yang menjadi markas tempat penculikan, Jay memberikan sebuah in-ear kepada Jake dan Steve untuk mereka berkomunikasi, beserta beberapa perlengkapan lain yang sekiranya dibutuhkan, seperti alat perekam suara dan kacamata yang memiliki kamera kecil untuk berjaga-jaga.

••••

B-SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang