SKSB 20

667 140 26
                                    

Santi terdiam. Selalu seperti itu jawaban putrinya jika mereka tengah membicarakan soal pendamping hidup. Ketakutan Gendhis akan kegagalan demikian besarnya hingga dia selalu mempunyai jawaban yang selalu bisa membuat Santi bungkam.

"Ya udah, Bu. Gendhis istirahat dulu ya. Besok pagi sepertinya Gendhis bisa nemenin Rezki ke sekolah deh, Bu."

"Kamu izin atau ...."

"Gendhis tukar shift, Bu. Jadi Gendhis besok pulang malam."

"Gendis."

"Iya, Bu?"

"Lusa berarti Ibu yang hadir di rapat wali murid? Kamu, 'kan harus datang di acara Pak Dewa?"

Sejenak dia berpikir. Akan ada banyak pembahasan mengingat sekolah Rezki akan ada acara di luar sekolah yang berkaitan dengan outdoor learning. Tentu akan sangat melelahkan jika ibunya yang hadir. Rezki lebih penting dari apa pun. Lagipula dia hadir atau tidak di acara Dewa tentu sama sekali tidak ada bedanya.

"Gendhis?"

"Eum ... Gendhis aja, Bu."

"Loh kamu nggak ...."

Dia menggeleng cepat.

"Lagipula acara tunangan aja, kok, Bu. Mungkin nanti kalau mereka menikah ... Gendhis pastikan untuk datang."

Santi mengangguk membiarkan putrinya melangkah ke kamar.

Merebahkan tubuh di kasur melepas penat adalah saat paling ditunggu oleh Gendhis. Seharian tadi perasaannya seperti dicampur aduk. Bahagia mengetahui dia akan bekerja di tempat baru, sekaligus ada perasaan yang tiba-tiba hatinya merasa tercabik-cabik.

Meski dia mencoba terus untuk memahami siapa dia di mata Dewa, tetapi rupanya tidak dengan perasaannya. Rasa itu terus tumbuh subur bersama dengan rasa sakit yang tiba-tiba seperti menghunjam jantungnya.

'Tuhan ... hilangkan perasaan ini. Aku tidak ingin dia ada. Sadarkan aku jika ini adalah kehidupan nyata yang tidak bisa diubah seperti apa yang kita mau. Tolong, Tuhan. Jauhkan lenyapkan rasa ini dari hati. Sungguh aku tidak ingin jatuh cinta padanya.'

Batin Gendhis terus memohon agar desir halus yang indah itu menghilang dari hati. Karena dia merasa tak sanggup untuk bisa menghalau sendiri.

[Gendhis.]

Satu pesan masuk membuat dadanya berdebar kencang. Pesan dari Dewa. Tak seperti biasanya. Dulu jika ada pesan dari pria itu dia biasa saja. Sama sekali tidak ada debar atau desir yang memenuhi dadanya.

Akan tetapi, entah kenapa saat ini, di saat pria itu hendak bertunangan justru perasaannya seperti naik rollercoaster.

[Aku tahu kamu belum tidur.] Lagi pesan dari Dewa masuk.

Dengan tangan bergetar dia mencoba membalas pesan itu.

[Iya, Pak Dewa. Ada apa?]

[Kamu yakin membayar utangmu sebanyak itu?]

Masih dengan dada berdebar dia kembali mengetikkan pesan.

[Iya, Pak. Saya yakin sekali. Saya ingin utang saya segera lunas, jadi saya tidak lagi mengganggu Pak Dewa.]

[Menggangguku?]

[Iya, Pak. Maafkan saya, tapi saya janji bulan depan utang saya lunasi.]

[Apa aku pernah bilang kalau kamu mengganggu? Apa aku juga pernah menekannya untuk segera membayar?]

[Tidak, Pak. Tapi saya yang merasa tidak enak.]

Andai Dewa tahu, uang dua belas juta itu adalah gabungan uang gaji dan hasil menjual perhiasan ibunya. Santi yang memaksa agar Gendhis segera menjual perhiasan tersebut, karena dia tidak ingin Gendhis terlalu lama terbebani oleh utangnya.

Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang