"Reatha, lo pasti bisa. Lo itu hebat, lo wanita kuat, lo yang paling sempurna, lo bisa segalanya. Kesedihan itu ibarat bumbu penyedap rasa kehidupan. Sementara bahagia adalah bagian dari pelengkap rasa itu pula. Entah senang atau sedih, itulah harga mati yang harus lo telan mentah-mentah sebagai manusia. Dan sekarang, kehidupan yang sesungguhnya sedang menunggu lo di depan mata. Lo nggak boleh kalah, lo nggak bisa nyerah gitu aja, lo harus terlihat bahagia, lo harus bertahan, apapun resikonya nanti."
Sambil berkaca, Reatha menatap dirinya di depan cermin. Membiarkan segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Apapun itu akan ia terima dengan....lapang dada?
Tidak. Tidak pernah ada kelapangan dada untuk sebuah kemalangan yang sedang bertumpuk di hidupnya. Tetapi selain bertahan, memangnya ia bisa apalagi sekarang.
Sejak kecil, Reatha selalu dipaksa untuk terlihat kuat. Dipaksa untuk menebar senyuman walau sebenarnya hatinya sedang sakit dan terluka.
"Reatha, ayo senyum."
"Reatha, jangan menangis."
"Reatha, jangan menyerah."
"Reatha, ayo bertahan."
"Reatha, harus sabar."
"Reatha, harus ikhlas."
"Reatha, selepas sedih pasti akan ada bahagia."
"Reatha, kamu percaya Ayah kan?"
Dan masih banyak Reatha, Reatha yang lainnya. Tanpa pernah sekalipun ia diberi ruang untuk menampakkan segala kesedihannya.
Apakah sedih itu sebuah dosa?
Apakah menangis adalah bagian dari perbuatan yang sangat hina?
Kenapa ayahnya tidak pernah sekalipun membiarkannya untuk menangis jika memang itu yang sedang ia perlukan.
Apa untungnya kuat di depan orang lain jika sebenarnya hati dan tubuhnya merintih kesakitan di dalam diam?
Apakah kehidupan orang dewasa begitu rumit dan sulit hingga menangis ketika sedang merasakan sakit pun seolah dilarang dengan sangat keras di dalam kehidupannya.
Reatha ingat ketika dulu ia pernah jatuh dari sepeda dan pulang ke rumah dengan wajah berlumur air mata. Saat itu, ayahnya marah besar. Bukan karena Reatha tak hati-hati mengendarai sepedanya. Bukan karena luka di lutut Reatha yang membuat ia kesulitan berjalan. Bukan pula karena Reatha membuat sepedanya hancur dan tak bisa digunakan lagi. Tetapi, karena Reatha menangis.
Ayahnya bilang, Reatha tidak boleh menangis. Sesakit apapun lukanya. Ia harus bertahan dengan senyuman. Karena katanya, senyuman membuat segalanya menjadi mudah.
Dan Reatha melakukan itu. Berhenti menangis sambil menggigit bibir bawahnya karena harus menahan rasa sakit di lututnya.
Juga ketika Reatha berumur sepuluh tahun, berada di pengadilan dan menyaksikan kedua orang tuanya harus bercerai. Reatha menangis karena tak ingin pisah dari ibunya. Tapi, ayahnya kembali bersuara. "Reatha tidak boleh menangis. Ikhlaskan, maka Tuhan akan ganti ibu kamu yang hilang dengan sosok yang jauh lebih baik dari yang sebelumnya."
Meski hingga kini, Reatha tidak pernah satu kali pun melihat ada orang baru yang dikenalkan ayahnya pada Reatha sebagai pengganti ibunya yang pergi. Ayahnya masih betah sendiri, sedang ibunya entah sudah berapa kali berganti suami.
Reatha tersenyum miris jika kalimat-kalimat itu kembali berputar di dalam benaknya. Potongan kata penyemangat yang selalu Reatha dengar dari ayahnya telah menjelma menjadi mantra paten dalam hidupnya. Itulah yang membuat Reatha tumbuh menjadi Reatha yang sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...