Maret 2025
—Jati Samudra
Saya nggak akan tanya bagaimana kabarnya. Saya nggak akan tanya bagaimana perasaannya. Sebab hanya dengan sekali melihat, saya sudah tahu jawabannya tanpa perlu repot-repot bertanya.
Rissa di mata saya tetap perempuan cantik yang tahu bagaimana caranya berpenampilan dengan baik. Dia tahu jenis pakaian apa yang cocok untuknya, warna yang masuk untuk kulitnya, gaya rambut seperti apa yang bagus, dan makeup macam apa yang membuatnya kelihatan lebih mempesona.
Tapi satu jam yang lalu, ketika saya melihatnya untuk yang pertama kali setelah dua bulan berlalu, dia kelihatan sangat jauh berbeda. Berat badannya turun banyak, rambutnya kelihatan tidak terawat, wajahnya tampak jelas bahwa dia lelah dan sedih. Dia seolah hanya berpakaian ala kadarnya, apa saya yang penting membuatnya nyaman.
Dia tidak kelihatan terkejut melihat saya berada di kamar Dio, sebab sebelum saya datang, saya memang lebih dulu menghubunginya, menanyakan apa Dio sudah pulang dari rumah sakit atau belum.
Ada satu permintaan yang Rissa katakan pada saya ketika saya meneleponnya tempo hari.
"Jati, boleh aku minta tolong sesuatu sama kamu?" tanyanya dengan suara lemah.
Saya hanya membalas dengan gumam pendek, berusaha menebak apa yang akan dia katakan.
"Aku seneng banget kamu mau jenguk Dio, tapi kalau boleh ..., aku pengin kamu nggak cerita soal kita. Aku, kamu, Dio. Apa yang terjadi sama kita."
Ternyata itu. Saya nyaris menyemburkan tawa saat mendengarnya, dan nyaris mengurungkan niat untuk menemui Dio.
"Kasih aku satu aja alasan kenapa aku nggak boleh ngomong soal itu."
Lama hening di ujung sana sampai saya berpikir Rissa memutus sambungan telepon secara sepihak. "Sebelum Dio ke rumah kamu hari itu," dia berbicara setelah keheningan, "pernikahan kami udah nyaris batal."
Saat itu saya sedang menggiling biji kopi, dan kalimat itu berhasil membuat kopi di hadapan saya tak lagi menarik perhatian. Fokus saya seketika teralih sepenuhnya oleh suara Rissa di seberang telepon.
"Setelah kami pacaran sampai memutuskan buat menikah, Dio ternyata masih memendam perasaan bersalah sama kamu. Dio bilang, dia nggak bisa nikahin aku karena ... karena kamu ...." Terdengar isak tangis di sana setelahnya. "Dio punya rasa bersalah yang sebegitu besarnya sama kamu, Jati ...."
"Bukannya kalian berdua saling mencintai?" tanya saya. "Itu kan yang kalian bilang sama aku waktu baru pacaran? Kalian saling mencintai, dan bilang perasaan nggak bisa disalahin."
"Dio cinta aku, aku tahu dan aku percaya," sahutnya. "Tapi rasa bersalah itu bikin perasaan dia ke aku jadi terasa abu-abu."
"Dan kamu nyalahin aku karena hal itu?" Saya berdecih kecil. "Ris, yang tersakiti di sini aku. Bukan aku, bukan Dio, atau kamu."
"Nggak ... nggak .... Aku nggak nyalahin kamu sama sekali. Nggak .... Demi Tuhan, Jati. Nggak," balasnya dengan nada panik. "Aku cuma pengin Dio selama pemulihan ingatannya nggak diliputi rasa bersalah apa pun, terutama rasa bersalahnya sama kamu."
"Rissa," panggil saya dengan tenang. "Aku cuma pengin ketemu dia. Itu aja."
Saya berkata begitu, tapi kenyataannya setelah melihat bagaimana kondisi Dio dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana dia menatap saya dengan pandangan kosong, raut wajahnya yang datar, yang berjalan harus masih dibantu dengan kursi roda, yang tak tahu apa-apa, membuat saya sedih sekaligus marah.