Bab 1. Kabut Misterius

6 0 0
                                    

Kota Duskmire adalah tempat yang tidak pernah ditemukan di peta. Populasi penduduknya hanya 100 jiwa. Terletak di lembah terpencil yang diapit oleh pegunungan yang menjulang tinggi menyuguhkan keanggunan, keindahan alam dalam temaram cahaya Matahari yang bahkan beberapa kali muncul dalam sebulan dan hutan yang tampaknya tidak berujung, dengan pohon-pohon tingginya, daun-daun lebatnya, serta ranting-ranting yang membentuk tudung menjelma sedemikian cantik juga menyeramkan. Setiap hari, kota ini tenggelam dalam kabut tebal yang menyelimuti jalan-jalan berbatu dan bangunan-bangunan bersejarah. Dalam beberapa tahun ini kabut tebal ini nyaris tidak pernah tipis, sehingga masyarakat sekitar hanya memiliki jarak pandang 2 meter. Orang-orang yang tinggal di Duskmire hidup dalam dunia sendiri yang terasing dari peradaban luar. Mereka dengan sengaja enggan berinteraksi dengan masyarakat manapun di luar Duskmire, hanya patuh dengan aturan yang telah dibuat oleh Walikotanya. Jarak antara kota berikutnya terbilang sangat jauh bisa mencapai 200 mil.

Elena Morris, perempuan berusia 25 tahun, berparas cantik dengan warna iris mata coklat, rambut panjang terurai, senyum yang selalu merekah dan seorang arkeolog dengan mata yang penuh keingintahuan, telah lama terpikat oleh misteri yang menyelubungi kota itu. Dia sengaja berkelana mencari keberadaan kota Duskmire dari cerita-cerita anak kecil yang dia dengarkan dalam sebuah siaran radio amatir. Kala itu Elena tanpa sengaja mendengarkannya saat dia sedang asyik duduk menunggu sang Kakek tercintanya pulang dari memancingnya. Namun naas, sebelum Elena bertemu, sang Kakek mengalami kecelakaan, perahu milik kakek Elena tenggelam saat badai datang. Hingga saat ini pun belum ada kabar pasti tentang keberadaan Kakek Elena. Akhirnya Elena memutuskan untuk pergi dari rumah, berkelanan dengan jiwa petualangnya dan pikiran-pikiran kakunya akan budaya lampau. Karena, jika dia tetap berada di rumah, ketidakpastian akan kabar tentang kakeknya merongrongnya tanpa henti. Jadi, Elena kemudian berpamitan kepada tetangga sebelah rumahnya, menyampaikan beberapa maksud dan tujuannya. Tidak lupa dia menyampaikan untuk meletakkan segala informasi surat atau pun kiriman ke dalam kotak berukuran sedang di samping garasi rumahnya dan Elena memberikan kunci kuno kepada madam Berliana. Elena pamit dengan senyum, dengan harapan tinggi tentang cerita kota Duskmire.
Perjalanan panjang dimulai, hari berganti hari, bulan berganti bulan sampai akhirnya Elena telah berada di kota Duskmire. Selama bertahun-tahun, dia telah mempelajari sejarah kota ini, mencari petunjuk tentang asal-usulnya yang hilang. Beberapa orang di kota itu menganggapnya aneh, karena mereka tidak dapat memahami obsesinya terhadap masa lalu mereka yang terlupakan.

Pada suatu pagi yang dingin dan berkabut, kelembaban di atas normal, Elena memutuskan untuk memeriksa reruntuhan sebuah gereja tua yang dikenal sebagai Gereja Bayangan. Konon, gereja ini adalah salah satu bangunan tertua di Duskmire, dan legenda mengatakan bahwa ada rahasia tersembunyi di dalamnya. Warga sekitar telah meninggalkan gereja tua itu, menggantinya dengan bangunan lainnya tepat di pinggir kota Duskmire.

Sambil mengenakan mantel berwarna coklat, setelan celana kain berwarna senada, syal putih terlilit di lehernya dan tak ketinggalan Elena membawa tas ransel berisi peralatan arkeloginya, Elena memasuki gereja yang usang. Dengan degub jantung yang tak beraturan, Elena terus memantabkan hatinya untuk meneruskan intuisinya sebagai Arkeolog. Geraja tua di pandangan mata Elena adalah sebuah arsitektur gagah dalam puing-puing yang runtuh. Megahnya bangunan yang ditinggalkan dan mungkin dulunya dicintai, tapi sekarang menjadi bangunan yang tak lagi ramai.

Cahaya remang-remang masuk melalui jendela-jendela yang penuh debu, menciptakan suasana misterius. Kilauannya berpendar memantul tipis ke wajah Elena yang ayu. Suasana yang sedikit hangat dan seram. Udara yang masuk pun terasa sesak. Tiba-tiba, dia merasa ada yang aneh dalam udara, seperti getaran yang lembut namun menegangkan. Menekan napas manusianya dan membiusnya dalam hitungan detik. Sedetik kemudian dengan cepat Elena mengambil napas dalam lalu membuangnya perlahan. Mengatur ritme polanya dan mengusap dadanya. Kini Elena memasang alarm awas untuk sekitarnya.

"Apakah aku pengejar misteri ataukah misteri ini yang mengejar aku?" Pikirnya sambil merenung, sembari mengamati area sekitarnya. Elena melanjutkan aktivitasnya lagi. Elena terkagum-kagum akan kemegahan di dalamnya, tulisan yang terukir di tiang-tiang tuanya, beberapa lampu usang dan tua yang tak berfungsi dan sederet dudukan tepat di sebelah kanan sudut ruangan yang agak lembab dipenuhi lumut. Elena menuju ke deretan bangku kayu yang tersusun rapi, dia mengamati setiap reruntuhan yang ditemukan mata cantiknya. Lalu berbalik lagi menuju tengah ruangan. Menengadah melihat langit-langitnya yang tinggi yang kini telah berlubang dengan diameter 1 meter-an. Elena tersenyum. Kemudian dia melanjutkan merapikan bongkahan batu yang berserakan di lantai marmernya. Sekelabat mata, ada pantulan seperti kristal dibaliknya. Dia mengambil beberapa bongkahan kecil, dengan cepat dia mengeluarkan pembesar kacanya untuk mengamati batu itu. Matanya agak menyipit, dia merasa ada sesuatu di dalamnya. Dia lalu duduk bersila, mengangkat sejajar dengan bahunya sambil agak miring ke kiri memperjelasnya di bawah sinar temaram Matahari. Elena sedikit bergumam, "Ada sesuatu yang tak bisa aku lihat sepenuhnya."

Elena menyukai beberapa bongkahan batu itu, dia mengambil satu lalu menyimpannya di dalam tasnya. Kemudian dia beranjak dan menyusuri beberapa buku-buku tua berdebu di dalam rak yang menarik matanya. Elena membukanya dengan hati-hati, dengan wajah tegangnya, jiwa ingin tahunya semakin tinggi. Elena memilih buku dengan sampul berwarna merah, tampak berbeda dengan yang lainnya, dimana semua buku berwarna hitam gelap. Elena menariknya perlahan keluar dari barisan rapi buku. Wajahnya sedikit santai, buku telah ada di kedua tangannya, dia meniup debu tebal yang menyampulinya sembari mengusap lembut menggunakan tangan kirinya kemudian duduk di bawah dengan anggun. Dia tidak memperdulikan sekitarnya. Meskipun firasat hatinya mengatakan, seolah dia sedang diamati. Elena membuang perasaan yang kalut itu. Menenangkan jiwa dan pikirannya yang berkecamuk bagai pacuan kuda. Selama dia aman, Elena tidak terlalu memikirkannya.

Elena membukanya lembar demi lembar, halaman per halaman buku itu. Dia terkagum-kagum dengan isinya, total dia tidak mengetahui bahasa apa yang dulunya digunakan di gereja ini. Apakah semacam buku mantra atau yang lain. Menarik. Elena mengambil buku di ranselnya, mencoba menuliskannya ulang di buku catatan miliknya. Cekatan tepatnya, Elena menggoreskan pensilnya sangat kokoh, percaya diri dan hati-hati menulis ulang beberapa kalimat dan simbol di setiap judul per halaman buku merah itu.

Dengan berani, Elena melanjutkan eksplorasinya di dalam Gereja Bayangan, tanpa menyadari bahwa langkah pertamanya ini memicu rangkaian peristiwa yang akan mengubah hidupnya selamanya.

-N-

Cahaya di Antara Bayangan : Saga Vampir TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang