Jalanan desa sudah basah. Terbentuk genangan di beberapa titik. Sisa-sisa air hujan bersembunyi di ranting-ranting pohon. Awan di atas sana sudah mulai cerah.
Tidur 1 jam baru saja membuatku lebih segar. Kulihat jam di ponselku, pukul 15.30 WIB. Tak hanya jam yang kudapati, juga notifikasi pesan darinya. Pesan yang dia kirim 2 menit yang lalu.
"Sudah bangun?"
"Sudah, baru saja" balasku.
Baru kuingat, sebelum tidur tadi aku bilang jika mau tidur. Pun dia.
"Kalau kamu ada waktu luang, boleh aku menelponmu? Aku ingin berbicara denganmu," pintanya.
Aku membiarkan kursor itu berkedip-kedip sebentar sambil memikirkan jawabannya.
"Insyaallah," balasku akhirnya.
Aku segera menutup ponselku. Membiarkan balasan apapun yang dia kirim kemudian. Segera melaksanakan rutinitas setiap sore, bersih-bersih rumah dan bersih-bersih diri meskipun beberapa kali aku mendengar suara kling dari ponselku. Ku yakini itu beberapa pesan darinya.
***
"Apa aktivitasmu sekarang?"
"Masih di rumah atau sudah di pondok?"
"Aina?"
Beberapa pesan belum terbaca dari mas Albab. Mulai ku balas satu per satu.
"Maaf tadi bersih-bersih rumah. Aku sekarang masih di rumah. Insyaallah nanti malam baru ke pondok."
Aku masih sering pulang pergi dari pondok dimana aku dulu menuntut ilmu. Letaknya tidak jauh dari rumahku, masih satu kecamatan. Sekitar sepuluh menit perjalanan. Hanya ingin melanjutkan khidmahku juga masih membutuhkan ilmu dari para guru.
Dan tentang ini, aku sudah ceritakan kepada mas Albab."Teruskan khidmahmu, dan jangan pernah berhenti menyambung hubungan dengan kyaimu, Na. Aku sangat mendukungmu." Begitu jawaban mas Albab setelah ku ceritakan sedikit tentang aku dan khidmahku.
Lalu, setelah balasan yang kukirim tadi, tak ada lagi notifikasi dari mas Albab. Mungkin sedang sibuk atau sedang nongkrong dengan tentangganya di pos RT dekat rumahnya seperti yang dia ceritakan kala itu Selebihnya, aku kurang tau.
Drttt... Drttt.... Drttt....
Ponselku berdering sekaligus bergetar lama. Aku meletakkan mushaf yang sejak selesai sholat ashar tadi berada di pangkuanku.
Tertera nama Mas Albab di layar panggilan telepon. Hatiku berdebar tanpa ku rencanakan. Tidak segera ku angkat tapi aku masih terpaku menatap layar itu. Dia meneleponku tanpa izin terlebih dahulu. Aku canggung karena belum pernah mengobrol langsung dengannya.
"Halo, Assalamualaikum," ucapku akhirnya setelah kutekan tombol hijau bersimbol telepon itu. Hatiku masih berdebar-debar.
"Waalaikumussalam. Maaf mengganggumu, Na. Dan maaf juga tidak izin terlebih dahulu," suaranya terdengar tidak asing bagiku. Tegas tapi masih ada kelembutannya. Suaranya terdengar agak grogi karena memang ini obrolan pertama kita setelah hanya berhubungan lewat pesan watsapp saja.
"Ndak, apa-apa, Mas," jawabku, juga grogi.
Obrolan yang diawali dengan saling gugup itu berjalan asyik. Kita yang awalnya asing lalu tiba-tiba merasa dunia ini sempit karena beberapa hal yang ternyata kita saling mengetahui. Tentang orang-orang terdekat yang ternyata saling kita kenal.
Kita membahas tentang Lirboyo, pondok pesantren dimana tempat dia menuntut ilmu dulu. Pondok dimana ulama-ulama hebat lahir dari sana, salah satunya kiaiku. Pondok impianku yang sampai saat ini aku belum bisa mewujudkannya. Tapi hampir setiap tahun aku kesana dalam rangka sowan dan ngalap barokah.
Lirboyo, menjadi topik yang begitu indah dalam obrolan kita. Aku mendengarkan setiap kata-kata Mas Albab tentang Lirboyo, tentang masa-masa nyantrinya di sana. Dapat ku rasakan bagaimana beruntungnya bisa mendapatkan ilmu dari sana.
"Aku hampir setiap tahun ke Lirboyo, Mas," kataku sangat antusias.
Lalu ku ceritakan panjang lebar tentang perjalanan sowanku di sana bersama guru dan teman-temanku. Tentang kagumnya aku kepada setiap para santri yang kalau berjalan di lingkungan pondok pasti ada kitab pesantren di pelukannya.
"Aku rindu ke sana lagi karena kemarin sempat tertunda," sambungku.
Mas Albab terdiam mendengarkan aku bercerita. Sesekali memotong ceritaku dengan kata-kata penuh antusias.
"Aina..."
"Iya, Mas?"
"Suata saat nanti, kamu yang mendampingiku sowan ke Lirboyo. Lalu kamu aku tunjukkan tempat-tempat favoritku selama mondok," katanya. Suaranya begitu lembut masuk telingaku.
Deg! Aku bingung dengan maksud mas Albab. Otakku menolak berpikir terlalu jauh. Namun kata-kata mas Albab baru saja membuatku mematung seketika. Mulutku terpaku enggan mengeluarkan kata-kata apa pun membuat keheningan di antara kita.
"Aina?" Suara mas Albab memecah keheningan.
"Eh, Mas. Tahu Toko kitab As-Salam, kan?" Kataku mengalihkan arah pembicaraan dari yang sebelumnya.
"Ya, tahu lah, Na. Dekatnya pondokku. Kamu kok tahu?"
"Setiap ke sana selalu menyempatkan berkunjung ke As-Salam meskipun tidak sedang mencari buku apa-apa, hehehe," ucapku.
As-Salam adalah toko buku dan kitab di Lirboyo. Tempatnya di dekat asrama mas Albab tinggal. Menjadi salah satu tempat favoritku. Aroma khas buku yang menyambutku setiap masuk, memberikan sebuah ketenangan tersendiri. Kang-kang (santri putra) selalu siap melayani pembeli dengan begitu ramah. Dengan penampilan khas, kopiah dan sarungnya.
"Lirboyo selalu dirindukan, Na."
"Selalu, Mas."
"Na, Mas mau nanya, boleh kan? Hehe"
"Monggo, Mas."
"Lelaki seperti apa yang kamu inginkan?"
Deg! Mas Alba lagi-lagi membuatku bingung. Harus mikir dulu untuk menjawabnya.
"Perempuan itu, Mas, tidak butuh laki-laki yang banyak janji dan banyak rayuan. Dia hanya butuh laki-laki yang berani menemui orang tuanya dan menyatakan keseriusannya."
"Bolehkah aku menjadi lelaki itu, Na? Akan kutemui orang tuamu"