Biarkan tetap seperti ini, jangan usaha untuk merubah apapun lagi. ujung cerita yang sempat abu-abu, kini biar aku yang memutuskan titik temu
__________
"Kenapa?" tanyanya terjeda. "Kenapa secepat itu melupakanku?"
Ketukan ballpoint pada meja sontak terhenti. Dadaku terhenyak, bola mataku bergerak— menemukan atensinya yang berdiri hampir tak berjarak.
Wangi musk maskulin menyeruak memenuhi indera penciuman, wangi yang selalu ku tunggu acap kali kita menjanjikan pertemuan, wangi yang membuatku tahan memeluknya lama dalam dekapan.
Adrian Kaisar.
Lagi-lagi menghujani ku dengan pertanyaan yang sama, dengan urutan kalimat yang sama, dan dalam kurun waktu tiga hari lamanya.
Pria itu menarik kursi, setelahnya ia mendudukkan diri. Masih dengan tatapan yang ia pertahankan, kuputuskan untuk mendongak menatap tepat pada manik hitam legam milik Adrian.
"Harusnya kau sadar, jika ternyata selama ini peranmu tidak sepenting itu." Datar dingin atmosfer yang ku ciptakan, hingga mustahil jika pria itu tak merasakan.
Adrian menghela napas berat dengan sudut bibir yang terangkat. Bola matanya bergerak, menatapku lekat lekat. Satu hal yang mampu aku tangkap, Adrian sedang menahan kiat-kiat gejolak yang belum mampu ia ungkap.
"Jangan lupa, siapa yang lebih dulu melangkahkan kaki. Setelahnya, dengan tanpa rasa bersalah, kau menyuruhku pergi tanpa peduli akan rasa yang masih ku miliki."
Telak. Adrian diam dengan dada naik-turun gusar. Ia memalingkan pandangan, hirupan udaranya kian dalam. Terlihat gusar. Aku hanya memperhatikan, mati-matian menahan gejolak panas hingga mencipta sesaknya napas.
"Aku coba buat perbaiki, tapi kamu nolak dengan milih pergi tanpa kasih kesempatan sekali lagi."
"Jangan memutar fakta seolah aku adalah pemeran jahat disini." Aku sejenak diam, meredam amarah agar tidak meledak-ledak di tempat ramai. "Siapa yang pergi tiba-tiba lantas datang tanpa aba-aba, membawa beribu alasan yang sebelumnya telah kamu rangkai. Berusaha kasih penjelasan disaat aku udah putus harapan?"
Aku tersenyum hambar. Menutup buku berisi soal pelajaran yang sejak tadi ku abaikan. Dan agakanya Adrian paham kiat-kiat kemerah di pelupuk mataku dengan air bening kini mulai menggenang.
Pria itu menyandarkan tubuh, diiringi hembusan napas panjang yang sejak tadi ia tahan. Mengusak surai dengan gerakan kasar, kembali ia menatapku dalam tapi kali ini penuh kelembutan pun keteduhan.
"Ge, aku minta maaf. Aku ga bermaksud mematahkan semua harapan-harapan yang kamu ciptakan, yang selama ini kamu tanam dengan harap aku bisa membuatnya menjadi kenyataan." Sejenak Adrian diam, mencipta hening diantara kami. Membiarkan desau angin yang menemani. "Aku tau kamu sakit. Tapi, apa kita harus sejauh ini? seasing ini?"
"Aku ngga mau jadi perempuan plin-plan lagi, biar saja seperti ini. Aku ngga mau kamu salah paham lagi atas perlakuan-perlakuan yang ku lakukan seolah aku memberimu kesempatan."
Aku jahat Adrian, aku ingin dunia tetap tahu bahwa kamu yang memilih pergi dulu. Maka ku pupuskan semua harapan mu yang ingin memperbaiki semua kesalahan-kesalahanmu itu.
Satu hal yang aku sadari; manusia terkadang lalai dalam menjaga, manusia abai dalam memelihara. Mereka seringkali menuruti ego semata, demi buaian nafsu yang mereka kira akan membuahkan hasil bahagia dalam tenggat waktu lama.
Padahal itu semua hanya tipu daya. Itu semua hanya ilusi semata.
"Aku harap kali ini kamu faham akan kenyataan bahwa sekarang kita benar-benar selesai." Aku meraup udara, guna mengisi paru-paru sebelum melanjutkan, "Adrian, selamat menyambut perpisahan. Mungkin kemarin aku tak memiliki kemampuan untuk membuat keputusan, tapi kali ini dengan penuh kesadaran, aku putuskan untuk benar-benar kehilangan daripada hidup dengan bayang-bayang yang hadirnya tak mampu aku rasakan."
Pria itu mengaku kalah.
Tidak!
Aku sungguh tidak ingin menangis di depan Adrian, setidaknya untuk memberikannya keyakinan— bahwa keputusan ku kali ini tidak menjadikanku dihantui rasa penyesalan pun aku tidak ingin pria itu menawarkan dadanya sebagai tempat aku menumpahkan segala rasa untuk yang terakhir kali.
Cukup kali ini aku membiarkan luka itu menganga lagi, dan setelah ini aku harap tak akan pernah ada lagi pertemuan-pertemuan lain diantara kami.
"Pergi saja sejauh yang kamu bisa, jangan muncul hanya untuk menanyakan kemana perginya semua rasa yang dulu sempat aku punya."
Jangan tanyakan reaksi Adrian sekarang. Pria itu masih mempertahankan diam, sambil memperhatikanku yang sudah merapikan semua barang bawaan. Ia tersenyum, entah senyuman apa, yang mampu ku artikan adalah senyum itu ia cipta sebagai bentuk kekalahan.
"Agaknya kali ini, kamu teguh pendirian." Bibirnya terangkat membentuk senyuman kian lebar, Adrian bangkit lebih dulu sebelum aku. "Ge, untuk yang terakhir penuh harap dan penyesalan, aku minta maaf atas pengkhianatan yang ku lakukan."
Pria itu mengusak suraiku pelan. "Salam perpisahan. Terimakasih atas segala cinta dan rasa yang kamu punya, aku merasa layak untuk dicinta dan mendapat hak bahagia di dunia karena sebelumnya aku selalu merasa ga pantas mendapat itu semua. Jika memang ini jalan yang kamu pilih, harapku semoga kita sama sama bahagia terlepas aku atau kamu yang lebih dulu mendapatkannya."
"Lama bahkan ketika masih ada kata kita, aku sadar sepenuhnya jika menduakanmu adalah hal yang seharusnya tidak pernah aku coba. Tapi ternyata usaha aku mempertahankan kita sia-sia, karena kamu terlanjur putus asa."
Inilah yang membuatku takut bertemu Adrian, aku takut usahaku melupakannya selama ini berantakan. Aku takut langkahku membawaku kembali pada pelukan Adrian, aku takut tanganku menerima kembali uluran tangan Adrian, aku takut perasaan yang beberapa bulan belakangan mati-matian aku matikan tumbuh kembali kepermukaan.
Kini aku mengerti bahwa perasaanku tidak sepenuhnya benar-benar mati. Yang selama ini aku lakukan hanyalah mengalihkan segala macam pikiran tentang Adrian, bersikap seakan semuanya berjalan normal. Pada kenyataannya, aku membiarkan luka itu menganga tanpa berniat mengobatinya.
Adrian pergi meninggalkan dua kali usapan lembut pada bahu kananku. Punggung tegap dalam balutan kaos hitam pekat itu berlalu, aku dalam diam memperhatikan sampai sosok Adrian dengan motornya menghilang dari pandangan.
Kini kita hanyalah sebatas orang asing, orang asing yang memiliki kenangan dalam benak masing-masing.
Adrian,
Kalau saja aku mampu, aku ingin mengejar langkahmu agar kita selaras dalam tujuan. Kalau saja aku mampu, akan ku bersamai dirimu dalam keadaan apapun itu. Kalau saja aku mampu, ku kejar sosok mu saat itu agar tetep bertahan menemani hari-hariku seperti dulu.
Kalau saja aku mampu, naasnya aku tak pernah bisa melakukan itu.
Temukan sosok yang mampu memahamimu, menerima segala kurang dan lebihmu, menjadi rumah teduh yang kerap kau damba itu. Tapi semoga, dia tidak pernah lebih dari aku.
— Selesai —
.
.
.17 september 23
— pukul tengah malam
KAMU SEDANG MEMBACA
Asing lantas usang [1/1 END]
Short StoryTurut berduka atas kita. Ternyata memang benar bahwa kepunyaan, diluar kendali kita. Itu garisan Sang Maha Kuasa.