SKSB 22

741 164 30
                                    

Menarik napas dalam-dalam, Gendhis menatap dirinya di cermin. Hari ini Dewa dan Karina resmi bertunangan. Dia dan rekan lainnya diundang, tetapi ada hal yang lebih penting daripada menghadiri undangan itu.

Menghadiri rapat di sekolah Rezki adalah hal penting. Mungkin Santi bisa datang, tetapi karena pembahasan kali ini tentang bepergian ke luar kota, tentu dia ingin lebih detail tahu pembicaraan dewan guru dan pihak wali murid.

Lagipula, menurut Gendhis, hadir atau tidaknya dia, tentu sama sekali tidak akan berpengaruh pada kelancaran acara tersebut.

"Gendhis." Suara Santi di pintu kamar membuatnya menoleh.

"Ya, Bu? Masuk, Bu."

"Kamu yakin nggak datang?"

Gendhis menggeleng. "'Kan Gendhis sudah bilang ke Ibu. Ini cuma acara lamaran, bukan pernikahan."

"Tapi Pak Dewa mengudangmu dan ... dia sudah begitu banyak membantu kita." Santi duduk di bibir ranjang.

Gendhis menarik napas dalam-dalam.

"Biar Ibu saja yang hadir di rapat itu. Kamu sekarang siap-siap ke acara Pak Dewa."

"Bu, tapi ...."

"Jangan berlindung di balik Rezki soal perasaanmu, Sayang. Ibu tahu apa yang ada di kepalamu, kamu bisa hadapi badai sebesar apa pun, tapi kamu terlihat lemah saat menghadapi perasaanmu sendiri. Bangkit! Kamu sudah sekuat ini, Ibu yakin kamu bisa hadapi apa yang ada di depan!" Santi tersenyum. Dia bangkit lalu mengusap puncak kepala putrinya. "Setidaknya Ibu tahu kamu sudah mulai membuka hati meski mungkin kali ini pada orang yang salah," imbuhnya.

Gendhis tak lagi menyangkal seperti yang sudah-sudah. Toh seperti apa pun usaha dia untuk mengelak, Santi tetap ibunya yang paling tahu bagaimana dia dan seperti apa hatinya.

"Tapi Gendhis nggak punya gaun untuk ...."

Perempuan paruh baya itu menggeleng sambil tersenyum.

"Mungkin kamu lupa kalau pernah bilang dress code-nya dusty pink, 'kan?"

Dia mengernyit menatap sang ibu.

"Coba kamu buka lemari, semoga kamu suka dengan gaunnya!"

"Bu? Maksudnya?"

"Buka! Ibu sengaja membelikan gaun buat kamu supaya bisa dipakai ke acara Pak Dewa."

Gegas dia bangkit menuju lemari. Matanya berbinar melihat gaun panjang berwarna dusty pink dengan aksen pita berwarna  abu-abu di pinggangnya. Gaun dengan potongan leher sabrina itu begitu indah saat ditempelkan ke badan Gendhis.

"Makasih, Bu," bisiknya lalu menghambur ke pelukan Santi.

**

Acara berlangsung meriah, seluruh undangan mengenakan baju sesuai dengan yang disyaratkan. Tak terkecuali dengan para pria. Berkali-kali Dila menghubungi Gendhis, dia resah karena rekannya itu belum juga hadir.

"Gendhis mana, Dil?" Jonathan tiba-tiba muncul di sampingnya.

Bosnya itu terlihat berbeda dengan setelan pink dusty dan jas hitam yang membungkus tubuh jangkungnya. Sejenak Dila mencoba mengingat aktor Korea idolanya yang selalu tampil di layar kaca.

"Dila?"

"Oh, katanya sebentar lagi sampai, Pak, tapi kok belum juga ya?" jawabnya lebih pada intonasi  balik bertanya.

"Tapi dia datang, 'kan?"

Dila mengangguk dengan kening berkerut.

"Bapak nungguin Gendhis?" selidiknya.

Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang