Ia meninggalkan kami yang terpaku dalam kebingungan dan kembali menemui para biksu yang berada di ruangan dimana Makiko disekap.
"Apa ini semua belum selesai?" pikiranku berkecamuk dalam rasa takut. "Bagaimana jika ini memang takkan pernah bisa berakhir?"
Beberapa biksu datang dan kami sudah tahu apa yang akan mereka katakan. Kami akan mengulangi upacara tadi malam sekali lagi. Untunglah, kami tak diwajibkan untuk kembali ke ruangan mengerikan tempat kami menghabiskan malam saat itu. Kami disuruh mengadakan upacara itu kembali di ruangan ini, di kuil utama.
Suasana ruangan ini sangatlah berbeda dengan tempat kami berada malam tadi. Suasananya lebih nyaman. Dan lagipula, terdengar suara alunan dari para biksu yang berjaga di luar, sehingga kami merasa tenang mengetahui kami tak sendirian.
Peraturannya sama, kami tak boleh makan, minum, berbicara, maupun tidur selama malam itu. Semuanya kini terasa lebih mudah untuk kedua kalinya. Tanpa kami sadari, malam berlalu dengan cepat, dan pagipun menjelang.
Kami semua sangat mengantuk, namun lega ketika sang biksu masuk dan memberitahukan berita baik kepada kami. Ia mengatakan bahwa upacara kami telah selesai dan tak terjadi apapun semalam. Ini berarti hanya satu dari makhluk-makhluk itu yang "terikat" kepada kami dan ia telah benar-benar hilang sejak upacara tadi malam.
Kami sangat lega. Namun sebelum kami diperbolehkan pulang, ia mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemui kami.
Kami sangat terkejut melihat siapa orang itu.
Ternyata itu Ryuichi. Wajahnya sangat pucat dan ia membungkuk, meminta maaf pada kami. Semula kami memang sangat marah pada istrinya. Namun sekarang setelah melihat keadaannya, kami justru merasa iba. Kami juga merasa ini bukan salah Ryuichi. Bahkan ia sudah berusaha untuk menolong kami hingga sejauh ini.
Aku mulai mengerti apa yang terjadi. Ritual yang ia lakukan sepertinya sama dengan ritual yang dilakukan para ibu yang kehilangan anak mereka di laut itu. Namun mungkin ia mendengarnya secara samar dan dalam kesedihannya yang mendalam, iapun dengan putus asa mencobanya. Namun ia melupakan hal utama dari ritual itu.
Seharusnya sang anak yang membawa tali pusar itu, namun justru Makiko yang masih menyimpannya. Ini sebabnya, mungkin apa yang ia panggil bukanlah anaknya, melainkan "sesuatu" yang lain. itu sebabnya, ia tak mengenali Makiko sebagai ibu mereka, bahkan justru menganggap kami sebagai ibunya.
Aku mulai bisa merasakan apa yang dirasakan Makiko saat itu. Rasa pedih akibat kehilangan seseorang yang dicintainya. Aku mulai mengerti alasan tindakannya, walaupun tentu saja itu tak bisa dibenarkan.
Setelah menerima permintaan maaf Ryuichi, kamipun berpamitan dengan sang biksu dan juga orang-orang lain yang telah membantu kami selama berada di kuil. Sekali lagi, sebelum melepas kami, sang biksu meyakinkan kami bahwa kami sudah aman dan tak ada yang perlu kami khawatirkan lagi.
Pria separuh baya yang kami lihat saat kami pertama tiba di kuil ini memutuskan untuk mengantar kami hingga ke stasiun. Ternyata ia adalah pria yang sangat gemar mengobrol. Ia menceritakan banyak hal kepada kami, tanpa peduli kami mendengarkannya atau tidak. Kebanyakan yang ia bicarakan adalah mengenai hal-hal yang menimpa kami.
"Seorang anak memakan orang tuanya..." ia pasti berbicara mengenai tragedi bertahun-tahun lalu, "Seperti seekor laba-laba bukan?"
Ia tertawa, "Pokoknya jika kalian dewasa nanti, jangan sekali-kali coba ritual itu. Atau jika tidak, tanggung sendiri akibatnya!"
Aku belajar satu hal dari bapak yang banyak omong ini.
Bahwa selama ini sang biksu telah berbohong pada kami.
Ia menyembunyikan kebenaran dari kami. Ia mengatakan pada kami bahwa ia tak tahu menahu mengenai ritual itu dan satu-satunya sumber adalah catatan dari nenek moyangnya.
Dari cerita bapak yang mengantar kami ini, kami berkesimpulan lain.
Baik ritual maupun hasilnya diturunkan secara turun menurun di daerah ini. Semua orang di kawasan ini mengetahuinya.
Bahkan mungkin mencobanya.
Dan membuatku bergidik membayangkan. Anak-anak yang ada di sini ... apakah ada di antara mereka yang berasal dari ritual itu?
Pria paruh baya tersebut menurunkan kami di stasiun. Di sana, kami hanya terdiam menanti kereta sambil bertanya-tanya, apakah semua yang diceritakan sang biksu juga adalah kebohongan?
Sejak kami kembali ke Tokyo, tak pernah terjadi sesuatu yang aneh kepada kami. Suatu hari, kami bertiga kembali berkumpul, bernostalgia merenungkan kejadian mengerikan itu.
"Aku takkan mau kembali ke sana." Kata Shoji. Kami semua setuju. Ya, pengalaman itu memang cukup membuat kami trauma.
Bahkan sejak peristiwa itu, Shoji sangat ketakutan apabila melihat laba-laba. Aku tak bisa menyalahkannya. Aku sendiri sekarang sudah lulus kuliah dan bekerja. Namun sejak pengalaman itu, aku menjadi sangat takut akan gelap.
Hingga suatu hari, aku menjadi sangat penasaran. Apa yang terjadi dengan hotel itu? Apa tempat itu masih ada? Bagaimana kondisi Makiko dan Ryuichi saat ini?
Terutama, aku ingin tahu bagaimana kondisi Misaki sekarang.
Akhirnya, tanpa memberitahu kedua temanku, aku memutuskan menelepon hotel itu. Terdengar suara seorang wanita yang tidak kukenal di seberang telepon.
Namun yang tak bisa kulupakan, terdengar suara seperti kaokan burung gagak di belakangnya.
Sayup-sayup mulai kudengar pula suara desahan napas ....
" ........... huuuuuuuuuh ......................
huuuuuuuuuuuh ............"
Kemudian terdengar suara bisikan di telepon ...
".......... ibuuuuuu ......... apa itu kaaaaaauuuuuuu? "
Aku segera menutup telepon itu.TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
RESORT
TerrorProlog Kisah ini bercerita tentang tiga sahabat bernama Takumi, Shoji, dan Yuuki (sang narator). Mereka memutuskan untuk bekerja selama liburan musim panas di sebuah penginapan terpencil. Mereka menduga Makiko, sang pemilik penginapan menyembunyik...