"Akhi Abim," panggil seseorang kepadaku. Aku memperbaiki posisi sarung yang tidak terpasang di pinggangku.
"Kiayi." Aku menelan salivaku berat.
"Ternyata antum di sini, ikut Kiayi ke rumah sebentar!" Kiayi pun berjalan yang mana ku mengekor di belakangnya.
Kakiku menapak lantai keramik berwarna putih dengan corak abstrak yang indah. Kiayi memintaku duduk di sofa menunggunya. Aku yang sendirian duduk di sofa ini pun menatap sekeliling, sesekali aku mencium bahu bajuku, khawatir aroma tubuhku yang belum tersentuh air dn sabun ini semerbak menjadi pewangi ruangan.
Rentetan piala bersinar indah, hiasan dinding dipenuhi dengan sertifikat piagam penghargaan yang menempel dengan susunan rapi berbaris di dinding. Aku teringat rumahku, ya meski tak sebanyak di sini namun aku juga punya beberapa piala dan piagam penghargaan dengan keberagaman prestasi; mulai dari cerdas cermat, menggambar, serta lomba voli juga ada.
Huh, sialnya aku teringat masa indah di bangku SMP, ya seperti yang orang bilang kalau SMP adalah masa-masa indah yang sulit dilupakan. Masa di mana awal mula menginjak remaja dengan perubahan isi kepala serta bentuk tubuh pastinya jadi loncatan pertama memulai semuanya.
"Akhi Abim. Maaf lama menunggu." Kiyai sudah kembali dengan selembar kertas yang ada di tangannya.
Aku tak begitu bisa banyak berbicara. Apalagi di depan kiayi, rasanya lidahku kelu jika berhadapan dengannya.
"Begini, Abim. Ada beberapa pertanyaan buat antum. Pertama, apa benar antum suka menggambar ?"
Aku tentunya langsung mengangguk. "Lebih tepatnya menggambar desain bangunan Kiayi," jawabku memberanikan diri. Aku juga bingung dengan diriku, jika lawan bicara membicarakan tentang hal yang aku suka rasanya bak magnet yang menarik diriku begitu saja.
"Jadi, apa benar antum yang menggambar ini?" Kiayi menaruh selembar kertas yang sedari tadi di tangannya itu ke meja.
Kutatap serius gambar tersebut dan otakku mengerjap ingatan kala di mana aku menggoreskan pensilku hingga terciptalah sketsa bangunan sederhana.
"Iya, Kiayi. Itu gambaran Abim. Kalau boleh tahu, darimana Kiayi mendapatkannya?"
"Ma syaa Allah, antum berbakat, Bim. Ana dapatkan dari kelas kemarin, antum meninggalkannya di atas meja."
Yap, benar sekali. Aku membuatnya waktu jam pembelajaran Kiayi kemarin. Rupanya aku lupa membuangnya ke tempat sampah.
"Maaf kiayi. Benar, Abim menggambar waktu Kiayi mengajar namun Abim tetap memperhatikan apa yang Kiayi terangkan. Beneran!"
Kiayi tersenyum ke arahku.
"Tujuan ana menanyakan hal ini bukan untuk menghukum antum, Bim. Jadi begini, pondok ingin membuat perpustakaan, cuman kami bingung dengan konsepnya apalagi kalau dilihat luas lahan yang tidak begitu luas di samping kantor. Sketsa bangunan yang antum buat ini ternyata pas sekali untuk bangunan perpustakaan. Jadi, ana berpikir untuk menggunakan sketsa antum ini sebagai referensinya jika antum mengizinkan."Senyumanku mengembang sempurna. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama sketsa yang aku buat akan menjadi bangunan yang sebenarnya. "Kiayi nggak bohong kan? Ini beneran kan?"
"Tentu, Abim. Ana nggak bohong. Jika antum membolehkan, ana bisa langsung meminta tukang untuk membuat perpustakaan kita."
"Tentu boleh, Kiayi. Sangat boleh."
Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Saking bahagianya, aku merasa saat ini aku sedang dikelilingi oleh taman bunga yang indah bermekaran wangi.
Semangat yang telah hambar kini kembali menggelora, setelah mengguyur seluruh badan dengan air dingin, aku menngoreskan pena pada kertasku, membuat setiap detail sesuai dengan request kiayi membangun perpustakaan dengan rancanganku.
"Silakan diminum tehnya!" Ada suara lembut yang baru saja datang dengan dua gelas teh di nampannya. Entah siapa, aku tidak begitu mengenal seluk beluk silsilah keluarga Kiayi yang aku tahu hanyalah Gus Adnan, kiayi dan nyai.
"Diminum dulu, Bim!" Kiayi mentaukidkan.
Aku mengangguk lalu meraih cawanku. Senyumku terukir kala seteguk es teh ini menyapa tenggorokanku.
"Es teh tawar, bagaimana? Apakah Sesuai dengan kesukaan antum?"
Es teh tawar adalah kesukaanku. Ini adalah kali ke dua aku kemari dan suguhan yang sama menyenangkan hati.
"Tentu Kiayi, syukron katsiran."
Jarang sekali lidahku merasa pas dengan buatan teh tawar orang lain selain buatan ummi. Tapi untuk di rumah kiayi, lidahku tak menolak sama sekali.
"Ara, syukron tehnya!" Kiayi berbicara pada perempuan yang baru saja menyuguhkan dua cawan teh ini, kemudian tanpa terdengar suara lahi darinya dia pun beranjak melenggang pergi.
"Tinggal tambah detail bagian depan mungkin akan sangat indah. Ya, perpustakaan pondok nanti akan jadi buah tangan pertamaku." Aku menerka-nerka bayangan bangunan yang akan berdiri kokoh nantinya.
"Akhi Abi." Suara ngebas menghampiriku.
Aku segera menengadah, posisiku saat ini sedang duduk di tangga. Hari ini adalah hari libur, para santri sibuk dengan kegiatan libur mereka; dari mencuci pakaian, tiduran, bahkan mendapat jengukan dari sanak taulan.
"Gus," ucapku langsung berdiri dengan takdzim.
"Tidak apa, Bim. Duduklah! Ana ke sini cuman ingin memberitahu antum pesan dari orang tua antum." Gus memintaku kembali duduk dan ia pun juga ikut duduk di anak tangga, aku turun satu anak tangga darinya agar tidak bersejajaran karena ia adalah guruku yang mana tak pantas jika aku duduk bersejajaran dengannya.
Aku belum menjawab apapun setelahnya.
Gus memegangi pundakku. " Abim, antum tak ingin memberitahukan kabar gembira ini pada orang tua antum?"
Aku menghela nafas panjang. "Tidak perlu, Gus." Aku masih belum ingin berbincang dengan ummi dan abi, setelah dimasukkan ke pondok aku belum ada berbincang dengan mereka meski hanya lewat panggilan telepon, aku selalu mrnghindarinya.
"Bim, ana memang tidak tahu apa yang terjadi dalam keluarga antum. Tapi ana berpesan, bicaralah dengan mereka dengan dingin kepala dan kelapangan hati. Tiada orang tua yang ingin anak mereka menderita ataupun terluka."
Aku masih menunduk pilu.
"Ana ingin menyampaikan amanah. Nanti malam datangi ana di pendopo tengah. Abimu ingin bicara." Gus menepuk pundakku pelan kemudian bangkit. "Assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam."
Kembali hening...
Aku mencerna perlahan nasehat Gus barusan, ada hal yang mengganjal seperti sekepal batu. Baiklah, nanti malam aku akan bicara pada mereka, mungkin saja itu bisa membuatku jauh lebih tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Az-Zahra
Teen FictionUstaz Abim telah menjalin hubungan dengan perempuan cantik bernama Aulia, mereka harus terpisah karna Abim mengemban ilmu di dalam pondok pesantren pimpinan Kiayi Ja'far. Abim adalah santri yang cerdas dan disiplin, sehingga dia mendapatkan beasiswa...