Lampu Hijau?

0 0 0
                                    

Obrolan kami semakin seru. Mas Albab menceritakan masa-masa nyantrinya di Lirboyo dulu. Juga teman-temannya semasa mondok yang ternyata hampir semua aku mengenalnya.

"Dulu aku anak ndalem, Na. Jadi kalau untuk ikut beberapa organisasi atau grup-grup pondok apa gitu, aku tidak sempat."

"Ooh ikut ndalem toh. Insyaallah Mas dapat banyak sekali barokah dari para Masyayikh, ya, Mas," aku kagum. Kagum sekali.

"Aamiin. Alhamdulillah, Na."

"Insyaallah idul adha besok aku ke sana, Na. Rindu suasana malam takbiran dan sholat id di sana soalnya," sambungnya.

"Wah, senang banget pasti," aku begitu antusias. Malahan dalam hatiku berteriak 'ikuuuuut' hehe. "Motoran apa nge-bis?" Maksudku naik bis.

"Naik bis, Insyaallah. Kamu mau ikut?" Mas Albab melirikku dengan tatapan agak meledek.

"Hehe, ya, Ndak mungkin toh, Mas. Belum waktunya."

Mas Albab menyeruput kopinya lagi. Tak merespon jawaban terakhirku.
Aku terdiam lagi. Menunduk.

"Mas, sudah berapa kali silaturahmi ke rumah perempuan seperti ini?" Maksudku, perempuan yang ingin mas Albab ajak serius.

"Untuk melamar?" Tanyanya. Aku hanya memberi respon dengan menaikkan kedua bahuku.

"Beberapa kali, Na. Tapi ya namanya belum berjodoh." Jawabnya. "Pernah ada orang yang mau menjadikanku menantunya, tapi anaknya yang Ndak mau. Beberapa juga karena aku yang tidak yakin. Jadi sejauh ini sudah banyak merasakan kecewa, hehe"

"Oh, begitu." Aku mengangguk paham.

Tak lama setelah itu, suara rintikan hujan tiba-tiba terdengar dari atas atap rumah. Hanya gerimis, tapi seketika membuat hawa menjadi sejuk. Kami menoleh ke arah luar secara bersamaan.

"Masih hujan, jangan terburu pulang dulu," ayah berteriak dari dalam. Mas Albab dan aku hanya tersenyum. Lalu kami melanjutkan obrolan di tengah syahdunya suara gerimis.

"Aina, bagaimana jika aku melamarmu segera?"

Deg!

"Ini baru pertama kali kita bertemu, Mas. Lantas apa yang membuat mas begitu yakin dengan saya?" Kataku. Suara kami agak berbisik ketika topiknya sudah agak seserius ini.

"Na, kalau kamu tanya alasanku yakin, Ndak ada jawabannya, Na. Yakin itu kata hati."

Aku terdiam. Mencermati kata-kata mas Albab.

"Mas, kalau untuk sekarang saya belum siap. Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan."

"Al-Qur'anmu?" Mas Albab langsung bisa menebak. Aku mengangguk.

"Insyaallah aku akan menunggumu sampai selesai, Na. Mendukungmu sampai akhir," ucap mas Albab menatapku begitu dalam. Aku segera menunduk, tak ingin jatuh pada bola matanya yang teduh. Aku diam. Mas Albab diam.

"Mas, jika dalam masa-masa Mas menungguku, lalu Mas menemukan perempuan yang lebih siap untuk menjadi teman hidup Mas, silahkan Mas. Abaikan aku. Karena aku tak ingin Mas terlalu lelah dalam menungguku. Aku tak apa-apa, Mas," kataku meskipun ada yang terasa sakit ketika aku mengucapkannya. Tidak tau dari mana datangnya rasa itu. Ada sebuah rasa ketidakrelaan.

"Jangan bilang gitu, Na. Kita sama-sama berdoa saja. Kita kan tidak tahu soal jodoh. Yang terpenting kita terus berikhtiar," katanya menenangkanku.

"Iya, Mas."

Obrolan serius kami membuat suasana yang seharusnya sejuk karena gerimis berubah menjadi agak hangat. Keringat sebiji jagung membasahi dahiku.

Gerimis baru saja berhenti. Aroma petrichor semerbak. Mas Albab pamit pulang. Meninggalkan kopi buatanku yang tersisa ampasnya saja.

AINAUL MARDIYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang