JALUR KESEMBILAN BELAS

12 1 0
                                    

"Makan saja, kalau lapar gak perlu ditahan, Ze!" Azka menyadari, bahwa Zea menahan lapar setelah bermain dengan ombak dan pasir pantai tadi. Azka tidak melarang, malah dia mengeluarkan beberapa snack yang sengaja dia bawa dari kosnya.

Tapi, gadis itu menolak. Hanya mengambil air mineral lalu meminta Azka memejamkan mata saat gadis itu meminumnya. Lucu, itu yang terlintas dalam pikiran Azka. Zea bertingkah layaknya Azka adalah bocah kecil yang akan tergoda untuk membatalkan puasa jika melihat orang lain minum atau makan.

"Aku tidak lapar!" tegas Zea membantah. Baiklah, Azka akan berpura-pura telah mendengar suara perut Zea tadi. Dengan begitu, ia tidak akan berjumpa dengan kemarahan seorang gadis kembali.

Tadi, mereka singgah di pantai hanya sekitar setengah jam. Zea yang lebih dulu mengajak Azka untuk kembali melanjutkan perjalanan. Bilangnya, "Panas, aku capek!" kata Zea dengan peluh di dahinya.

Gadis itu seakan mandi pasir dan air laut. Sekujur tubuh dipenuhi benda-benda yang tersedia di pantai tadi. Dengan sandal kecilnya, Zea berlari menuju bagasi untuk mengambil baju ganti. Hanya sekitar sepuluh menit, Zea sudah kembali rapi dan bersih.

Azka hanya menunggu, dan mempersiapkan mobil dengan mengeluarkannya dari parkiran. Zea yang baru selesai dari kamar mandi, langsung menuju mobil Azka yang telah siap berangkat.

"Maaf, karena aku jadi harus putar jalan lebih jauh!" Sambil mengoleskan body lotion, Zea mengatakan permintaan maaf pada Azka. Zea sadar, karena keinginannya yang berkata ingin mengunjungi pantai. Azka harus memutar kemudi keluar dari jalur.

Sekarang, waktu menunjukkan jam 14 30 waktu Indonesia bagian barat. Azka memaklumi dan tidak mempermasalahkan keinginan Zea yang terpenuhi karenanya. Bagaimanapun, Azka menikmati pemandangan dan angin semilir dari pantai yang baru pertama kali ia jumpa.

"Sudah, jangan khawatir," kata Azka menenangkan, "Aku jadi tau kenapa kamu ingin ke pantai."

"Indah, juga menenangkan, bukan? Kata Bapak, aku harus mencintai alam. Karena dari alam, kita bisa mendapatkan sejuta manfaat tanpa kita sadari. Contoh saja pohon, dia diam gitu aja menghasilkan oksigen untuk mahluk hidup." Pelajaran Biologi, Azka tertawa pelan ketika Zea menerangkannya.

"Kalau gitu, kamu juga suka mendaki gunung?"

Terlihat Zea meraba, pada otaknya yang mengira-ngira jawaban. "Mendaki, tidak. Tapi kalau lihat pemandangan gunung, suka. Tidak pernah ada yang mengajakku mendaki, kalau aku sendiri sepertinya akan melelahkan."

Sama, Azka juga belum pernah mendaki. Dirinya bahkan baru memulai menganggumi keindahan alam. Jauh tertinggal dengan Zea yang lebih dulu melangkah. "Soal Rere tadi, aku minta maaf. Karena aku meminta tolong, kamu jadi harus mendengar omongan buruk darinya."

Kepalanya memilah, berusaha mengingat kejadian tadi pagi. Tidak, Zea tidak terlalu marah setelah mendengar ucapan dari mantan Azka tadi. Dia sudah membalas, itu sudah cukup untuk menyamakan kedudukan.

Namun, detik kemudian. Zea mendapati ingatan mengenai perasaan yang terluka kembali ke permukaan. Ejekan Azka yang menggodanya dengan ajakan berpacaran seakan menghantam keras di kepalanya. Zea terpikirkan satu alasan, Azka memang tidak mengetahui perasaan suka milik Zea kepadanya.

Tentu saja, bagaimana lelaki itu mengetahui jika Zea tidak juga mengatakannya. Jadi, harusnya Zea tidak kesal pada Azka. Sebaliknya, Zea harus marah kepada dirinya sendiri karena terus menerus memendam perasaan.

Sekarang, saatnya! Tidak. Zea menolak untuk memulai dengan cara tidak terduga. Sejak tadi pagi, setelah bermalam dengan Azka. Zea menyadari dirinya tidak lagi canggung atau malu-malu. Zea merasa dirinya bersikap layaknya bersama dengan Hambar atau Sawo--teman -temannya.

Sikap Azka yang easy going membuat Zea nyaman bercengkerama tanpa menyadari perasaan terpendam dalam hatinya. Juga, Zea tidak akan memulai hubungan dengan orang yang belum usai dengan masa lalunya.

"Kalau boleh tahu, berapa lama pacaran sama dia?" Berani, Zea menanyakan itu karena penasaran.

"Kenapa tanya begitu?"

"Dia, sepertinya menyesali telah memutuskan hubungan dengan kamu." ungkap Zea. Hal itu ia sadari setelah mengingat rentetan kalimat yang Rere ucapkan.

Azka tidak menutupi, tapi juga tidak mengumbar. Dirinya memahami, bahwa Zea mungkin penasaran karena Azka sendiri yang menerjunkan Zea pada permasalahan ini.

"Dua bulan. Kalau aku sendiri, tidak merasakan penyesalan itu. Dia hanya mencoba menganggu, aku hanya perlu mengabaikannya mulai sekarang."

Zea langsung mengusulkan pendapat dari hatinya, seperti ini, "Cari pacar saja, dengan begitu dia tidak akan mengganggu kamu lagi!" Usulan yang menarik bukan?

Senyum tipis mengulas, gelengan kepala mengikuti kemudian. "Tidak, aku lebih ingin fokus bekerja. Itu lebih baik daripada para perempuan yang dekat denganku selalu marah atas kesibukan yang selalu aku lakukan."

Ya, Zea mengetahui itu. Azka tidak pernah meninggalkan meja kerja kala istirahat tiba. Lembur hingga dini hari tanpa takut letih menerpa.

"Dan sepertinya, aku akan memilih berteman dengan perempuan. Tanpa melibatkan perasaan, dia berani ku ajak berwisata tanpa mengeluh seperti mereka yang dulu-dulu!"

Hei! Zea tertawa menyadari Azka menggodanya. Kalimat Azka seakan menyentil sebagian perasaan yang aman tersembunyi di balik tulang dan kulitnya.

"Jangan membandingkan. Aku tidak akan terima kalau kamu melakukannya!" ancam Zea dengan ganasnya.

Namun, ketika ancaman itu terlontar. Hanya mengakibatkan tawa yang menggelegar. Tanpa pernah Zea sangka, ia akan tertawa lepas bersama Azka yang dengan tega menjadikannya teman perempuannya.

Baiklah, sejak awal Zea memiliki pendirian pada suatu pendapat. Apapun, bisa dimulai dengan cara berteman. Ya, Zea akan menjunjung tinggi dan mengharapkan akhir terbaik untuk perasaannya.

====BERSAMBUNG===

825 Kata

23.45 WIB, 20 Sept 2023

PuMa

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang