10

260 36 8
                                    

Hangyeom duduk dengan galau di sebuah kedai ditemani dengan beberapa botol soju dan juga beberapa macam cemilan ringan.

Sudah beberapa hari atau bahkan hitungan minggu ia mengacuhkan Jaehan. Tak mengajak berbicara, tak menemani tidurnya, bahkan tak pernah menyentuhnya. Hangyeom seakan sengaja membiarkan Jaehan menunjukkan apa yang benar-benar pria itu inginkan padanya.

Apa Jaehan akan berusaha mendapatkan kembali perhatiannya atau memilih berlari ke arah kekasih barunya?

Selama itu, Hangyeom agak kecewa karena Jaehan yang nyatanya hanya beberapa kali mengajaknya berbicara. Jaehan justru semakin terlihat tidak peduli padanya. Entah apa ini perasaannya saja atau memang begitulah adanya.

Hangyeom sudah cukup terluka dan itu menganga semakin dalam setiap harinya.

Jaehan tidak berbicara, tapi Hangyeom tahu jika pasangan sah-nya itu lebih sering bersama Yechan. Bahkan saat ke dokter untuk memeriksakan keadaan kandungannya pun, Jaehan lebih memilih ditemani oleh Yechan daripada suaminya sendiri.

"Kau terlalu sibuk bekerja. Pikirmu karena laki-laki, Jaehan tidak butuh ditemani?"

Hangyeom mendengus, memilih untuk pura-pura tuli.

"Yang seharusnya kau lakukan adalah terus bersamanya, ada untuknya, bukan malah membiarkan pria brengsek itu semakin masuk ke dalam hatinya."

Hangyeom yang sudah setengah mabuk mendongak. Tersenyum kecut, ia berkata, "Anak kecil sepertimu tahu apa, hah?"

"Aku tahu semuanya, hyung. Dengar, menjadi bodoh juga ada batasnya tahu."

Hangyeom tidak mengatakan apapun. Enggan mendebat juga. Padahal, ia biasa beradu mulut dengan adiknya. Akan tetapi, kali ini ia lelah rasanya.

"Kau masih mencintai Jaehanie hyung, 'kan?"

Hangyeom menunduk, melingkari bibir gelas dengan telunjuk. Wajah sendunya membuat sang adik merasa kasihan. Kakaknya yang biasa ceria jadi begini menderita hanya karena cinta.

"Aku akan selalu mencintainya, Xen. Kau tahu benar bagaimana perasaanku pada Jaehan."

"Kalau begitu jangan menyerah."

Adik sepupu Hangyeom, Xen ... bocah yang bahkan masih duduk di bangku kuliah, tapi sudah pandai berceramah.

Sejak kapan? Tidur saja kadang masih minta ditemani.

Hangyeom menarik napas panjang, namun seiring dengan embusan napasnya, ia menangis juga pada akhirnya. Tangisan pilu dan tersedu-sedu.

Isakan juga suara tarikan ingus membuat Xen mengernyit jijik. Tapi, demi kakaknya, ia harus berusaha membuat Hangyeom bangkit dan kembali berdiri.

"Menangis saja kalau itu bisa membuatmu lega. Hanya saja setelah ini kembalilah lagi. Seperti layaknya seorang suami, kau harus merebut hatinya lagi."

Xen mungkin benar, akan tetapi ...

"Jika dia tidak sampai mengandung anak Yechan, mungkin aku masih sanggup melalui semua ini, Xen."

"Aku tahu, karena itu rebut dia kembali. Kalian masih tetap sah di mata hukum. Tak ada alasan untuk berhenti, kecuali jika kau tidak menginginkannya lagi, maka relakan saja dia. Bercerai juga tidak akan membuatmu mati."

Kalimat terakhir, Xen mengatakan dengan pelan sekali.

Jika dalam keadaan biasa tanpa masalah, mungkin Hangyeom akan meledek Xen habis-habisan karena kata-katanya yang sok dewasa. Tapi, bocah ini kadang bisa masuk akal juga. Karenanya, Hangyeom memilih diam.

"Pulang sana! Aku belum memberitahu Bibi. Aku yakin Jaehanie hyung juga belum memberitahu keluarganya soal ini."

Menuruti apa kata adiknya, Hangyeom pun berniat pulang meski ada sedikit keraguan. Ia takut jika saat pulang, Jaehan tidak ada di rumahnya.

Affair✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang